Tiba-tiba saja maduku mbak Damai bertanya demikian, dengan wajah datar sambil menyuap sarapannya, seolah yang dibicarakan bukanlah suaminya sendiri. Aku tak habis pikir. Bisa bisanya ia bertanya seperti itu.
Aku yang sempat tersedakpun segera meneggak segelas air kemudian mengangguk malu-malu memberi jawaban jujur pada wanita itu. "Trus kamu berhasil dapat apa, Ruko, Mobil, atau Rumah?" tanya Lena menambahkan. Ekspresi wanita itupun sama, yaitu biasa saja. Padahal kemarin-kemarin mbak Lena mengaku sangat mencintai mas Azka, sebagai istri ke-2 cinta seperti apa yang dimaksud, jika responnya sebiasa itu saat tahu sang suami baru saja menikmati malam pengantin dengan wanita lain? Akupun menggelengkan kepala, "Saya tidak minta apa-apa sama Mas Azka!" jawab ku kemudian. Sonia yang merupakan istri pertama tiba-tiba menghentikan makannya lalu menyipitkan mata kepadaku. "Kamu ini bodoh atau apa, masa iya seorang gadis menyerahkan keperawanannya tanpa minta imbalan!" tanya Sonia tak percaya. "Me-memangnya saya harus minta sesuatu? dia kan suami saya!" tanyaku heran. "Tentu saja, jangan terlalu murah, tunjukkin kalau kamu punya harga, jangan mau rugi hanya gara-gara dia menarik dimatamu!" Mbak Sonia berpesan. "Tapi mbak, entah kenapa aku merasa jika bersikap seperti itu malah kesannya aku seperti ..." aku yang tak setuju pun mencoba menjelaskan. "Len, kamu gak kasi tau kalau mas Azka itu pelit?" Sonia beralih bertanya pada mbak Lena. "Mungkin lupa dia!" sambar Mbak Damai seolah mewakili jawaban Lena. Terlihat Mbak Damai dan Lena saling adu lirikan sinis. "Trus obatnya gimana, lupa juga?" tanya Sonia lagi, masih pada Mbak Lena. "Obatnya sudah kutaruh kok, iya kan El?" Mbak Lena mulai meminta dukunganku. Untungnya aku segera paham, karena mungkin saja obat yang dimaksud adalah botol berisi kapsul yang tadi pagi ditunjuk Mas Azka. "Iya, ada mbak!" sahutku lekas. "Sudah kamu minum, kan?" tanya Sonia lagi dengan tatapan selidiknya. "Su-sudah" sahutku berbohong. Kali ini, aku tidak ingin memperpanjang perkara dan terpaksa kuiyakan saja daripada aku diultimatum lagi. Masa bodo kedepannya, lagipun aku belum tahu obat itu untuk apa, tak mau juga aku terlalu patuh jika akan menimbulkan malapetaka untukku sendiri. Terlihat wanita itu diam duduk tenang kembali setelah mendengar jawabanku yang sudah menjalankan rencananya. "Elva, khusus hari ini kamu saya kasi libur. Tapi ingat, besok kamu harus tetap masuk kerja seperti biasa!" beritahu Lena sebelum bangkit dari duduknya memecah keheningan. "Iya mbak!" akupun kembali mengangguk patuh. Mau bagaimana lagi, aku memang masih bekerja ditempatnya karena biarpun aku sudah menikah dan sekalipun kebutuhanku akan dicukupi Mas Azka, namun belum ada keterangan siapa yang akan menanggung kelangsungan bapakku nantinya, apalagi beliau kini tinggal sendirian. Dan bukankah tadi katanya Mas Azka itu aslinya pelit? Mengetahui hal itu, sudah pasti ku tak bisa mengharap uluran tangan dari suami, aku harus tetap bekerja, setidaknya aku bisa menyisihkan gaji hasil keringat sendiri itu untuk orangtuaku. "Yasudah saya permisi, kerjaan di gerai menumpuk gara-gara kamu libur." ucap sang owner laundry yang akhirnya berlalu menyisakan aku dan kedua maduku. Krieet Decitan kursi yang didorong mundur oleh Mbak Sonia, pun hal itu mengalihkan perhatianku, wanita itu sepertinya juga akan meninggalkan kursi yang ditempati. "Mbak Sonia juga mau berangkat ke kantor?" tanyaku sopan pada istri pertama suamiku yang paling cantik. "Hemm, jadwal saya bertemu klien sangat padat, jadi tolong jaga rumah!" jawab sang wanita karier itu dengan elegan, terlihat wajahnya pun mulai mencoba berdamai. Karena ia masih mau menjawab pertanyaanku dengan baik, maka akupun inisiatif memberikan perhatian padanya demi keakuran kami kedepan. "Oh gitu, sini mbak saya benerin dulu syalnya! Ada kotoran juga!" ucapku menghampiri sang istri pertama. Iapun terlihat pasrah dan menerima bantuanku. "Cari muka!" gumam mbak Damai menyindir perhatianku yang tulus. Mbak Sonia dan aku hanya melihatnya sambil bergeleng kepala. Terlihat istri ketiga yang usianya paling tua diantara kami itu belum selesai makan, padahal ia sudah sarapan lebih dulu daripada aku. Selain itu, hal yang membuatku heran adalah caranya duduk dimeja makan, serampangan karena sebelah kakinya sudah naik ke atas kursi demi menghabiskan makanan. Setelah syal dilehernya aku rapikan, Mbak Sonia terlihat mendengkus meraih tas mahalnya, iapun berlalu tanpa banyak bicara karena sepertinya ia kesal melihat kelakuan Mbak Damai. "Huaaah, habis ini kamu cuci piring dan cuci pakaian, soalnya pembantu disini sedang cuti!" ucap Mbak Damai meninggalkanku tiba-tiba, lalu kembali mengunci pintu kamarnya. Dengan pergerakan yang masih tak normal akibat ulah Mas Azka semalam, aku tetap melaksanakan tugas dari maduku dengan suka rela. "Gak ditempat kerja, dirumah suami, kerjaanku tak jauh jauh dari sabun dan mesin cuci, ih bosannya!" walau nyatanya akupun tetap menggerutu juga. Praang Aku terjengkit kaget saat sibuk berkutat dengan cucian lalu terdengar suara sebuah benda yang jatuh menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Aku yang penasaran akhirnya melangkah menuju dapur bersih tempat kami sarapan tadi, dari kejauhan kulihat kulkas mewah disana sudah terbuka dan disekitarnya berserakan serpihan gelas kaca yang pecah ditimpali susu segar yang tumpah. Akupun perlahan mendekat untuk melihat siapakah pemilik kaki mungil yang sedang berjongkok dibalik pintu kulkas yang sudah terbuka. "Mommy!" teriak seorang anak lelaki, dengan mulutnya yang cemong, ia bangkit menghadapku sehingga aku kembali terjengkit. "Astagfirullah!" ucapku memegang dada. "Mommy, yapay!" ucapnya dengan pelafalan yang tak sempurna, sambil menjilat-jilat selai kacang yang berasal dari kulkas dengan rakus. "Mom onya!" ucap si anak lelaki itu lagi, dengan tampilan yang berbeda dari anak-anak lain pada umumnya. Setelah ku teliti, bocah dengan perkiraan usia lima tahunan itu ternyata adalah anak yang istimewa, menurutku dia adalah anak berkebutuhan khusus, apalagi ketika mendengar caranya berbicara dan dari tatapan polos dimatanya saat mengajakku berinteraksi. "Mom!" aku reflek mengikuti ucapannya sambil mengedarkan pandangan di sekitar. Apakah disini ada orang selain aku, yang dia panggil mom? "Mana Mom ... Mom Onya mana Mom!" ucapnya lagi heboh, melihatku yang asing, bocah itu seperti merasa terancam. "Shhuut ... jangan berteriak!" pintaku hati-hati. Walau anak itu terlihat waspada dan menjaga jarak, tapi ia cukup patuh pada peringatanku dan mulai tenang. "Boleh aku tahu, siapa Mom onya?" tanyaku mencoba berinteraksi, sebab disini tak ada siapa-siapa. "Huaaammm, mom?" rengeknya ketakutan. "Kau tidak boleh menangis, aku akan membawamu pada Mom Onya, tapi beritahu aku dulu, siapa dia?" pelan-pelan kucoba kembali menyelidik sembari mendekati perlahan, karena aku mulai khawatir pada langkahnya yang terus mundur sementara ada beling dilantai. "Apa Mommy mu tinggal disini?" "Heemm!" bocah lelaki itu tiba-tiba mengangguk membenarkan. "Loh, katanya ketiga istri mas Azka belum ada yang bisa hamil, lalu ini?""Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.