“Hai, Maura! Aku punya hadiah untukmu!”
Alih-alih menjawab, Rosaline tiba-tiba memberi anak Gemintang dua buah coklat dalam bungkusan emas.
“Thank you, Aunty.”
“Ah, sama-sama, Sayang!” Rosaline mengusap pipi Maura. “Lucunya! Mata, hidung dan bibirnya sangat mirip dengan Mas Janu," puji wanita itu.
Namun, Maura malah menjauh.
Gemintang sadar anaknya tidak terlalu nyaman dengan orang asing. Jadi, dia menyuruh Maura untuk pergi sesaat ke playground yang tersedia di kafe.
"Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi. Kenapa kamu membiarkan Mas Janu mendua?" ujar Gemintang kembali pada Rosaline.
Jika tadi wanita itu menampilkan senyum yang ramah pada sang putri, kali ini Rosaline kembali menatap sinis Gemintang.
"Mas Janu tidak sebrengsek yang kamu kira, Gemintang," ucap Rosaline begitu tenang, "Dia pria yang baik. Dia menerima diriku ini apa adanya dan tidak pernah ingin menikahi wanita lain. Justru aku yang meminta dan memaksa Mas Janu menikahimu."
Deg!
Walau hatinya sedang kecewa, Gemintang setuju dengan ungkapan Rosaline.
Selama menikah, Janu tidak pernah menuntut banyak hal darinya. Dia menyayangi Maura dan dirinya, sekalipun kehidupan mereka terkesan sederhana. Bahkan Gemintang tak pernah berhenti bersyukur mendapatkan suami baik dan tampan seperti Janu. Namun, sekarang, haruskah dia mengucap syukur?
"Lalu, kenapa?" Gemintang bertanya dengan suara parau, air matanya semakin deras. "Apa alasan Mas Janu menikahiku? Apa alasan kalian sepakat? Kenapa kalian melakukan ini?"
Jemari Gemintang gemetaran menggenggam cangkir kopi di hadapannya.
Sesekali matanya mengawasi Maura yang sedang asik dengan coklat pemberian Rosaline tadi.
Tak bisa dipungkiri hatinya kacau.
Sampai sekarang, Gemintang masih tidak percaya.
Lima tahun ia hidup dengan Janu semuanya berjalan normal seperti pernikahan orang-orang pada umumnya. Mereka berpacaran, menikah, kemudian memiliki anak.
Bahkan, Gemintang selalu berpikir bahwa dia hanyalah satu-satunya wanita dalam hidup Janu. Namun, ternyata justru dialah sang wanita kedua. Sementara wanita di hadapannya ini yang lebih berhak atas Januartha.
“Minum dulu, Gemintang. Kamu tampak pucat. Atau mau aku pesankan air mineral?”
Tawaran Rosaline untuk minum terasa seperti ejekan pahit bagi Gemintang.
Di dalam hatinya, dia tertawa getir, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menusuk ulu hati.
Dia baru saja dihadapkan pada kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana tidak pucat? Jika tidak memikirkan Maura, mungkin Gemintang akan runtuh saat itu juga. Namun, demi Maura, dia harus tetap tegar, apapun yang terjadi.
“Aku tidak perlu minum! Jawab dulu pertanyaanku, Rosaline!” Gemintang sengaja menaikkan nada bicaranya agar Rosaline segera bicara. “Kenapa kalian tega melakukan ini?”
“Mas Janu dan keluarganya butuh keturunan. Dia butuh anak untuk meneruskan bisnisnya.”
Dada Gemintang kembali bergemuruh hebat. “Jika dia butuh keturunan kenapa harus menikah denganku? Kalian suami istri! Kalian sudah menikah lebih lama seharusnya—”
“Karena aku tidak bisa hamil, Gemintang,” tukas Rosaline memotong ucapannya, “aku mengidap kanker ovarium stadium dua. Rahimku sudah diangkat, aku tidak akan pernah bisa memiliki anak.”
“Keluarga Mas Janu tidak setuju jika mengadopsi dari keluarga lain. Mereka meminta darah daging Janu. Akhirnya, itu kesepakatan yang aku buat dengan Mas janu dan keluarganya. Aku mengijinkan Mas Janu untuk menikah denganmu sampai mendapatkan keturunan. Aku rela dibagi dengan syarat waktu yang aku dapatkan harus lebih banyak.”
Fakta yang diucapkan Rosaline mampu melumpuhkan seluruh syaraf Gemintang.
Seketika, Gemintang mengingat segala tingkah sang suami selama pernikahan mereka.
Janu memang tidak setiap hari di rumah, terkadang dia hanya memiliki waktu luang saat sabtu dan minggu. Atau … lelaki itu pulang begitu larut.
Namun, semua itu tidak pernah membuat Gemintang curiga. Dia hanya tahu jika suaminya banyak bekerja di luar kota.
Bodohnya Gemintang, dia tak pernah bertanya atau cemburu. Dia terlalu percaya dengan kata-kata dan kalimat manis Januartha yang akan selalu kembali padanya.
Oh, Tuhan! Mengapa Janu jahat sekali padanya?
Dari sekian banyak wanita mengapa harus Gemintang yang mengalami hal ini?
Apa diam-diam pria itu menertawakan kebodohannya?
“Satu lagi,” ucap Rosaline memecah keheningan, “perjanjian kami tidak hanya sebatas itu. Setelah bayimu berusia satu tahun, Mas Janu akan menceraikanmu dan anakmu akan hidup bersama kami. Tetapi … sampai hari ini Mas Janu tak kunjung melakukannya. Karena itu aku menemuimu, mengatakan hal yang sesungguhnya. Aku ingin suamiku kembali!”
Boom!
Memikirkan bahwa dia bukanlah satu-satunya istri Januartha saja sudah membuat dunianya runtuh. Bagaimana jika benar ia akan dipisahkan dari Maura, putri kandungnya sendiri?
Seketika Gemintang memegang telapak tangan Maura dengan erat.
“Kenapa kalian membuat permainan tanpa peduli dengan perasaan orang lain?” lirih Gemintang, pedih.
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s