"Maaf Mas, bukannya aku menolak maksud baik mu, tapi, aku bukanlah perempuan yang cocok untukmu."
Mas Alex meraih dan menggenggam tanganku. Dia menatap mataku begitu dalam, tatapannya begitu tajam laksana pedang menusuk kalbu.
"Dengarkan Mas, Silvi! Mas mencintai kamu," ucapnya dengan nada rendah nan lembut.
Kutarik tangan dari genggamannya, dan kulipat dipangkuan. Ada rasa tak nyaman saat dia menatapku, aku sadar diri, aku ini wanita buruk dan kotor, aku bukan perempuan yang tepat untuknya.
"Tapi, Mas, kamu tahu kan. Aku ini perempuan seperti apa? Bahkan aku kini sedang mengandung anak dari pria lain,"
"Mas gak peduli, status kamu! Mas sangat mencintai kamu,"
"Jangan memaksa Mas! Aku gak mau membuat kamu menjadi anak durhaka, hanya demi aku, yang tak berharga ini," jawabku seraya menundukkan kepala.
"Mas, akan bicara sama ayah dan ibu dan meminta restu pada mereka! Kalau ayah dan ibu Mas gak setuju, terserah apa kata mereka. Yang pasti Mas sudah bertekad untuk menikahi kamu, anak itu butuh Ayah! Tak mungkin kan, kamu sendirian mengurus dan menanggung beban hidupmu," ujar Mas Alex begitu yakin.
"Iya Mas, aku tahu itu, yang seharusnya bertanggung jawab adalah Devan! Bukan kamu, dia yang sudah merenggut semuanya dari aku, aku benci sama dia, Mas!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, dan menangis tersedu-sedu, meluapkan rasa pedih di hati ini.
"Udah jangan nangis! Tar ibumu dengar, khawatir dia akan tahu so'al ini." Mas Alex mengusap bahuku, untuk menenangkan diriku.
"Iya Mas," gegasku usap air mata dengan tissue yangku ambil dari dalam tas selempang yang tergeletak di kursi sampingku. Namun mata ini terus saja mengeluarkan bulir bening yang tak bisa kubendung.
"Hm ... em ...." Mas Alex mendehem. "Baru kali ini saya bertamu di anggurin, eh kemarau ini tenggorokan," ujar Mas Alex sembari menelan ludah, tangannya mengusap-usap lehernya.
Aku terkekeh mendengar ucapannya, dia memang selalu menghiburku, di kala aku bersedih dan merasa luka di hati ini timbul kembali.
Kuangkat wajah sembari menyeka kembali air mata, dengan jemari tangan dan tissue. "Iya Mas Ma'af!" jawabku sembari menarik nafas panjang, melonggarkan pernapasan. Aku bangkit dan masuk ke ruangan di samping kiri Mas Alex.
"Mau minum apa Mas?" tanyaku sedikit berteriak, dari dalam ruangan yang penuh dengan berbagai macam sembako dan di meja terdapat beberapa jenis sayuran beberapa ikat kangkung dan bayam. Ada juga beberapa bungkus plastik bening ayam dan ikan juga ceker, didalam freezer.
Jualan ibu begitu lengkap untuk keperluan dapur pelanggan, aku senang melihat ibu tak kesusahan seperti dahulu, meskipun kegadisan dan harga diriku sudah lenyap dirampas Devan. Setidaknya aku bisa meringankan beban keluarga.
"Yang seger dan manis aja, kaya wajah kamu." Mas Alex melongok dari bingkai pintu. Aku menoleh seraya mengulas senyuman, wajahku mungkin merah saat ini, aku begitu malu mendengar pujian dari mulut Mas Alex.
"Kamu, bisa aja Mas." Kuambil dua botol kemasan Jasmine tea dari lemari pendingin. Tak lupa dua bungkus makanan ringan untuk teman minum.
Aku beranjak dari kamar utama yang kini disulap menjadi warung sembako, kedua tanganku membawa makan dan minuman.
"Sini, Mas bawain!" Mas Alex mengambil alih kedua botol minuman dari tanganku.
"Terima kasih Mas." Kami berlalu menuju ruang tamu dan duduk kembali di kursi.
"Silahkan, diminum tuan putri!" seru Mas Alex seraya membuka segel tutup botolnya dan meletakkannya di meja.
"Terima kasih banyak." jawabku membuka tutup botol dan segera meminumnya.
Kami berdua bercengkrama ada gelak tawa kecil terselip disela aku dan Mas Alex bercerita. Rasanya beban di hati ini sedikit berkurang dengan adanya Mas Alex di sampingku.
"Eh, lagi asyik ni, kalian emang cocok," ujar ibu yang baru datang dari dapur sembari membawa goreng pisang. Wajahnya begitu semringah melihat keakrabanku dengan Mas Alex.
"Ibu ...." Aku menundukkan wajah, dari tatapannya yang membuatku gugup.
"Ini udah jadi pisang gorengnya, di makan ya mumpung masih hangat! Buat teman ngobrol, biar gak bosen," ucap Ibu, meletakkan piring berisi pisang goreng yang masih mengepul, lalu ia duduk di sampingku.
"Sil, mata kamu kok sembab, kamu nangis ya?" tanya ibu menatapku, membuatku gusar, rupanya jejak air mata di pelupuk masih tersisa.
"Gak, Bu. Aku gak nangis, tadi kelilipan, makanya ke luar air mata dan sembab," ucapku bohong. Ibu menarik napas perlahan, apa mungkin ibu tahu aku ini berbohong, dan ia bertanya-tanya kenapa aku menangis. "Ya, sudah. Dimakan dulu gih! Untuk mengganjal perut, sambil menunggu makan siangnya siap!" seru ibu menyodorkan piring ke hadapan Mas Alex. "Terima kasih Bu, gak usah repot-repot," jawab Mas Alex, mengangguk sembari mengulas senyuman. "Oh, iya Nak Alex, sudah lama kenal Silvi?" tanya Ibu menoleh ke arah Mas Alex yang duduk di seberangku. "Selama. Silvi di sana aja Bu, ya ... Sekitar lima bulanan, lah," jawabnya santai sembari mengambil pisang goreng. "Sering ketemu Silvi, di sana?" Ibu menatap serius pada pria berjaket kulit hitam dan celana jeans biru Dongker. "Sering Bu, kebetulan tempat kerja Silvi tak jauh dari tempat kerja saya, jadin
"Ya, ibu senang melihat badan kamu sekarang, tidak begitu kurus seperti dulu, kamu sudah banyak berubah, Sil," ucap ibu. Namun, dari sorot matanya seperti menyimpan sejuta tanya untukku, yang tak bisa ia ungkapkan. "Aku kerja di kota Bu, sebagai asisten bos, masa tak ada perubahan sedikitpun, lagipula, Pak Devan menjamin semua kebutuhanku," ucapku memuji lelaki itu, padahal di dalam hati ini sungguh mengutuknya. "Uhuk." Mas Alex tersedak tiba-tiba, seolah ia tak terima jika aku memuji Devan, karena ia sangat tahu, apa yang sudah Devan lakukan padaku. "Kenapa, Nak Alex?" tanya ibu cemas. Lelaki berjaket hitam itu menggeleng seraya mengusap bibirnya, "Gak Bu, cuma keselek," kilah Mas Alex melirik d
"Ya, masih dong ... apalagi sekarang warung kita semakin banyak pelanggannya. Kalau nasi uduk itu kan, memang khas jualan ibu sedari dulu, semenjak Ayahmu sakit dan tak bisa mencari nafkah untuk kita. Niatnya ibu gak jualan nasi uduk lagi, cuma gorengan sama sayur mayur, tapi ya … tetangga pada nanyain. Ya, sudah, ibu jualan lagi, kasian pelanggan ibu mereka setiap pagi kesini cuma untuk cari sarapan," ucap ibu panjang lebar. "Tapi Bu, jangan dipaksakan, kalau ibu sudah capek dan gak sanggup, nanti ibu sakit," ujarku, sambil mengelus punggung tangan wanita berbalut daster batik dan kerudung bergo itu, kutatap wajahnya yang berbinar menyiratkan bahwa dia begitu gembira bicara tentang dagangannya padaku yang kian hari semakin laris. Mas Alex hanya menyimak percakapan kami, sambil menikma
"Ibu … ibu percaya kan sama aku! Kenapa ibu tanya itu lagi?" "Ibu hanya khawatir. Sil, kamu paham kan," "Tentu ibu, aku tahu perasaan seorang ibu seperti apa terhadap anak gadisnya. Tapi, aku tahu batasan dalam pergaulan. Bu," "Terima kasih ya. Nak, kamu sudah menjaga amanat ayah dan ibu, untuk menjadi gadis yang baik, meskipun kamu jauh dari pantauan ibu," ucap ibu menatapku, lalu menarik nafas panjang sebelum berucap kembali. Aku hanya diam mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Ibu percaya sama kamu, dan ibu yakin kamu tak mungkin melakukan hal serendah itu. Kadang ibu cemas, mendengar ucapan tetangga yang suka menjelek-jelekkan kamu, melihat perubahan hidup kita yang drastis, mereka mengatakan
"Silvi, ibu. saya ada urusan, mesti ke Bandung sekarang juga, besok sebelum kembali ke Jakarta saya akan mampir lagi kesini, melihat Silvi," ujar Mas Alex, sambil merapikan jaketnya. Namun, tatapannya tetap fokus padaku. "Tapi Mas." Aku bangkit lalu melangkah dan berdiri di samping Mas Alex. Pria ini menggenggam tanganku, menatap wajahku penuh kasih. "Mas pergi dulu, ya. Kan tadi waktu di perjalanan Mas sudah bicara sama kamu, bahwa Mas tak bisa lama-lama, setelah mengantarmu pulang ke rumah, dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Sesungguhnya Mas tak ingin meninggalkan kamu. Namun, ada urusan penting," ucapnya, tangan Mas Alex mengayun dan mengusap bahuku. Ibu berdiri dan menatap kami dengan wajah berbinar. "Ibu yakin kalian punya hubu
"Gak apa-apa. Mas serius, ingin memuliakan kamu, sebagai istri Mas, kamu begitu berharga di hati Mas, Silvi. Meskipun banyak perempuan cantik, yang ibu jodohkan, dan ibu tawarkan untuk menjadi calon istri Mas. Tapi, tak ada satupun yang Mas suka, cuma kamu. Silvi," "Mas, seharusnya kamu menerima perempuan yang ibumu pilihkan, mereka pasti gadis terhormat, pilih salah satunya, bukan aku!" ucapku memalingkan wajah dari tatapannya. Mas Alex meraih tanganku kembali, "Hati tak bisa dipaksakan, apapun yang akan ibu lakukan. Mas tidak peduli. Hanya kamu yang Mas inginkan, dan Mas cintai," "Tapi, mas," "Jangan berpikir tentang ibu, lagi! Kita yang akan menjalani hidup, bukan orang lain. Percaya Silvi, pada cinta yang Mas miliki untuk, kamu!" "Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku, Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan padaku, aku sangat beruntung sudah mengenal lelaki sepertimu," ucapku, dengan tangisan haru. Entah kenapa mata ini selalu
Kulakukan 10 "Tunggu Mas, ya! Lusa Mas pasti kembali, dengan janji dan membawa segenap cinta untukmu. Mas akan segera menikahimu," ujarnya yakin dan mantap. "Iya Mas, aku pasti akan menunggumu." Aku tersenyum menatap, wajahnya yang tampan. Mas Alex merogoh saku celananya, yang berada di belakang. "Oh, iya. Susu, masih ada kan?" tanyanya. Membuat ku mengernyit. "Ada, masih banyak, kan kemarin kita belanja segala kebutuhan untukku, sehari sebelum kita kesini, masa Mas sudah lupa, kamu sendiri yang mengantar aku, bahkan Mas yang pilih semua barang keperluanku. Memangnya kenapa, Mas?"
"Iya Mas, aku akan jaga anak ini demi kamu. Tapi, kenapa Mas, kamu begitu menginginkan anak yang ada di dalam kandunganku ini? Padahal kamu tahu ini bukan anakmu," tanyaku ingin tahu. Mas Alex menyunggingkan senyumnya. "Karena Mas mencintai kamu, Mas akan menerima dia sepenuh jiwa, sebagai anak Mas sendiri, tak ada alasan untuk tidak menerima kalian berdua," ungkap Mas Alex, tanpa sedikitpun ada keraguan, dari sikap dan semua ucapannya, membuatku semakin yakin pada kesungguhannya. "Terima kasih Mas, atas cinta yang telah kau berikan padaku, dan segala kebaikanmu." Aku merasa malu pada Mas Alex, dia sudah memberikan segalanya untukku, kasih sayang dan cintanya yang begitu besar. Dia juga selalu memberikan apapun yang aku butuhkan, memang, aku tak pantas untuknya, tapi, aku begitu mencintainya. Aku juga merasa malu padanya, karena aku tak bisa menjaga kehormatan, sebagai seorang wanita. Hanya penyesalan yang terus menggelayut