"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!"
"Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan.
"Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian.
"Baik Bu."
Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.
Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.
Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan oleh Bu Elia, sang kepala bagian.
"Permisi Mas! Ini pesanannya," ucapku seraya meletakkan piring berisi kentang goreng saus keju, dan minuman Kiwi Punch Soda, yang sangat segar.
"Iya, terimakasih," sahutnya singkat tanpa menoleh padaku, tatapannya fokus ke layar gawai yang berada dalam genggaman nya.
Aku pun berlalu dari hadapan Pria berjaket kulit hitam celana jeans warna senada itu. Aku kembali ke dapur untuk mengambil lasagna pesanan dua Pria tadi.
"Bu, udah beres?" tanyaku pada Ibu Elia.
"Iya, ini tinggal di antarkan! Kamu segera kesana ya!"
"Baik Bu."
Aku berlalu dari dapur, keluar melewati kursi dan meja-meja tamu, semua tempat duduk hampir penuh, pagi menjelang siang cafe ini sangat ramai dengan pengunjung, Pria maupun Wanita juga anak-anak muda ada di sini, dari mulai yang datang dengan pasangan nya, hingga dengan keluarga nya.
Mungkin karena hari ini hari Sabtu waktunya orang-orang menghabiskan hari liburnya, walaupun sekedar untuk makan-makan dan minum, atau nongkrong sambil menikmati secangkir kopi.
Para waiters dan waitress semua sibuk dengan pekerjaannya mengantarkan pesanan kepada setiap pelanggan, ada pula yang menyambut tamu kami yang baru tiba, ada juga yang sedang mencatat pesanan.
Sama halnya seperti aku yang mulai sibuk di hari pertama ku ini. Aku berjalan sambil membawa nampan dengan piring berisi lasagna, kali ini aku tidak terlalu kaku tak seperti tadi. Aku pun sampai ke meja yang aku tuju.
"Permisi Pak! Ini pesanannya." Aku meletakan dua piring keramik putih berisi lasagna ku tata dengan rapi.
"Terimakasih Nona!" jawab Pria berjas abu-abu wajahnya sangat tampan dan maskulin.
"Sama-sama Pak." Aku mengangguk sambil mengulas senyuman.
"Nona." Dia mendongak.
"Iya, ada apa Pak?"
"Bawakan kami, dua minuman dingin!"
"Baik Pak! Apa ada lagi yang mau di pesan?"
Dia menggeleng pelan sambil tersenyum, namun tatapan matanya tak lepas memandangi wajah ku. Aku merasa jengah dengan sorot matanya yang tajam, ku palingkan wajah ini.
Aku tak suka bila ada lelaki memandang ku seperti itu. Ku melihat ada sesuatu di balik senyum nya, Dia meraih tangan ku dan meremasnya, gegas ku tarik tangan ku dari genggaman nya.
"Yang manis, dan segar seperti kamu," desahnya membuat aku jijik.
"Maksud Bapak apa?"
"Eum... 2 gelas jus buah," ujarnya sambil tersenyum miring.
"Ada lagi?" ketus ku.
"Tidak untuk sa'at ini! Mungkin nanti, kami akan memesan sesuatu lagi padamu!"
Hm... kata itu lagi yang dia ucapkan. Aku menghela nafas kesal. Ku menghentakkan kaki kiri ku sedikit, hatiku benar-benar dongkol dengan dua Pria aneh ini, dari tadi mereka memesan tak sekaligus malah satu persatu, seperti sengaja ingin mengerjai ku, lebih lagi Pria berjas abu-abu membuat aku jijik, dia sudah berani menyentuh tanganku.
Entah apa yang ada di dalam otak orang-orang ini, ingin sekali aku melempar nampan stainless yang aku pegang ke lantai, agar dia tau betapa jengkelnya aku pada dua Pria aneh yang di hadapan ku ini, namun aku harus tetap sabar dan bersikap ramah tamah, jika aku tak ingin di tegur oleh atasan ku.
"Saya permisi dulu ya Pak!" ucapku sambil memaksakan bibir ini untuk tersenyum, walau hati ini panas, aku pun beranjak dari hadapan mereka, tanganku mengepal sambil memeluk nampan.
Aku berjalan dengan langkah cepat, ingin segera ke toilet dan mengguyur kepala ku ini.
"Mbak!" tiba-tiba ada yang memanggilku suara laki-laki. Aku pun menoleh ke arahnya.
"Iya Mas, ada apa?" sahutku berbalik badan lalu menghampirinya.
"Mbak, ini dompet nya, tadi jatuh, setelah mengantar makanan pada saya," ucapnya sembari menyodorkan dompet berwarna coklat.
"Terimakasih Mas," jawabku seraya mengambil benda yang sudah usang dan lusuh.
"Itu, dompet Mbak kan?"
"Iya Mas, ini dompet saya."
Aku sangat yakin ini adalah dompet ku, tak mungkin orang lain mempunyai benda yang sudah jelek seperti ini, dan masih menggunakan nya, mungkin sebagian orang sudah mengganti bahkan membuangnya.
"Mbak, coba cek dulu! Takutnya uangnya ada yang hilang,"
"Gak usah Mas! Saya percaya, gak mungkin orang seperti Mas buka-buka dompet orang lain," sergahku.
"Nama mu Silvi kan?"
"Loh, kok bisa tau?" Aku menautkan alis.
"Iya, saya minta Ma'af! Tadi saya buka dulu, cuma mau lihat KTP nya untuk memastikan, ternyata benar ini milik Mbak,"
"Oh, terimakasih Mas, saya permisi dulu, harus ke dapur lagi! Dan mengantarkan pesanan pelanggan lain." Aku kembali berbalik badan dan beranjak.
"Mbak, gak pengen tau nama saya?" ucapnya sedikit berteriak.
"Gak Mas, lain kali aja!" sahutku sambil berlari.
Tak berselang lama aku kembali mengantarkan dua jus jeruk untuk Pria aneh tadi, mereka hanya memesan jus buah dan tak memberikan keterangan, namun aku berinisiatif sendiri, mungkin dia ingin meminum jus jeruk yang manis dan segar seperti yang mereka katakan.
Aku membungkukkan badan seraya meletakkan dua Orange jus di meja hadapan mereka.
"Terimakasih Nona!"
Aku mengangguk tanpa berkata.
"Nona, bisa duduk sebentar di situ!" pinta Pria berjas biru navy rekanya. Aku menggeleng tak menjawab.
"Duduk!" pintanya lagi.
"Gak mau!"
"Kenapa?" tanya Pria berjas biru navy lagi.
"Saya masih banyak kerja'an,"
Pria itu melempar lirikan aneh pada rekannya yang berjas abu-abu, aku tak tau apa yang mereka mau?.
"Nona, saya cuma meminta anda untuk duduk! Tak lebih, saya hanya ingin kamu menemani kami makan!"
"Saya gak mau!"
"Hm..." Dia menarik nafas, aku masih berdiri mematung.
"Nona, saya ini tidak lapar, dan satu porsi lasagna ini takkan ada yang memakan, sayang kan, nanti Mubadzir, nah... Kamu duduk di sini! Temani bos saya makan!"
"Gak mau Pak! Nanti saya di marahi oleh Bu Ema,"
"Kata siapa Bu Ema akan marah? Dia pasti akan mengizinkan kamu,"
"Gak Pak,"
"Ya sudah kalau kamu tidak mau." Pria berjas biru navy itu meraih dan mengambil nampan yang aku pegang, lalu dia meletakkan sesuatu, kulirik ternyata beberapa lembar uang kertas berwarna merah.
"Buat apa ini Pak?" tanya ku terheran.
"Ini uang tip untuk kamu, karena kamu sudah melayani kami dengan baik,"
"Tidak usah Pak!" sergahku sambil meletakkan kembali uang itu. Dia mengangguk sambil mengedip, isyarat agar aku tak menolaknya.
"Tapi,"
"Jangan menolak! Ini dari bos saya, kamu terima saja! Angap ini sebagai ucapan terimakasih kami."
Aku menggigit bibir sambil mengangguk.
"Terimakasih Pak,"
"Sama-sama,"
Aku beranjak meninggalkan meja tamu dan kembali ke dapur, aku tak tau apa maksud mereka memberiku uang tip, aku bekerja sesuai yang di perintahkan oleh atasan ku tak lebih dari itu.
Aku menghampiri Bu Maya owner di sini, dia yang sedang mengawasi dan mengecek keadaan di dapur, apakah terkendali dengan baik, karena mengingat pengunjung sangatlah ramai.
"Bu," ucapku pada perempuan berbalut blouse tunik dan celana bahan warna hitam.
"Iya," sahutnya. "Ada apa Sil? Gak ada masalah kan?"
"Gak ada Bu, semuanya baik-baik saja, saya sudah mulai bisa melayani tamu dengan baik, dan membuat para pelanggan nyaman,"
"Bagus, terus ada apa memanggil saya?"
"Ini Bu, ada orang memberi uang di luar penjualan, katanya uang tip," ucapku ragu, ku sodorkan nampan berisi 5 lembar uang kertas berwarna merah ke hadapan Bu Ema.
"Silvi, ini untuk kamu! Rezeki kamu, gak usah di tolak!"
"Terimakasih Bu."
Aku menaruh uang itu ke dalam saku celana jeans ku, dan kembali membawa pesanan untuk di antarkan pada pelanggan yang menunggu pesanannya.
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"