Share

2. Mencurigakan

last update Last Updated: 2022-02-20 23:22:38

"Assalamualaikum ...."

Ketika langkahku memasuki rumah, terdengar derit engsel pintu kamar depan terbuka, itu ialah kamarku. Langkah seseorang seperti berlari ke arah dapur. Pintu kamarku menghadap ke bagian belakang rumah, itu sebabnya aku tak bisa menjangkaunya dengan mata.

Kian penasaran sebab salamku juga tak dibalas, aku mendapati Mas Arman sedang menyisir rambutnya yang berantakan di dalam kamar.

"Eh, Ibu udah pulang!" Dia nyengir tak jelas.

"Aku tadi salam. Emang Mas gak dengar?" Aku meraih tangannya dan kucium. "Mana Nurul?"

"Tadi dia main ke luar sama teman-temannya."

"Ajakin pulang, Mas. Hari udah mau Magrib." Aku meminta Mas Arman mencari Nurul sambil melangkah ke dapur.

Suara keran tempat cucian piring menyala. Ada Mbak Yuli sedang mencuci piring-piring kotor. "Lho, Mbak?" Aku agak terkejut. Tak biasanya dia datang sewaktu tidak ada aku di rumah.

Mbak Yuli adalah sepupuku. Dia anak dari kakak perempuan ibuku. Rumahnya juga tak jauh dari sini. Terpisah hanya beberapa rumah saja.

"Udah pulang, Li? Mbak barusan nganterin bubur kacang ijo buat Nurul. Kebetulan lagi bikin. Lumayan banyak. Nurul senang. Dia habisin sampe gak ada sisa." Tanpa kutanya dia memberi alasan. Gerak-geriknya seperti orang yang baru saja tertangkap basah, tertawa cengengesan dan tak mau menatap wajahku.

"Gimana kabar Mas Burhan, Mbak?"

"Yah ... masih gitu lah, Li. Gak ada perubahan. Mbak capek ngurusin dia. Rasanya pengin mbak pulangin aja dia ke rumah ibunya. Udah nyusahin, gak bisa ngasih nafkah pula." Raut Mbak Yuli berubah kesal.

"Jangan gitu, Mbak. Mbak harus ingat setiap kebaikan Mas Burhan sebelum dia sakit. Dia sosok suami pekerja keras, kan. Bukan pilihan dia jadi lumpuh dan tak berdaya kayak sekarang." Aku mencoba menasihati sepupuku yang berkulit sawo matang itu.

"Udah, ah, jangan bahas dia." Mbak Yuli mengibas kesal.

Aku diam. Percuma jika aku berbicara lagi. Sebab aku mengenal sifat sepupuku yang usianya tiga tahun di atasku ini. Dia keras kepala dan susah dinasihati.

Eh, sebentar. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakan Mbak Yuli terlalu terbuka. Baju tanpa lengan dan celana jeans di atas lutut. Ck! Padahal dulu aku pernah memintanya jangan keluar rumah dengan pakaian seperti ini. Bisa memancing syahwat lelaki yang melihatnya. Yang ditakutkan, Mbak Yuli akan mendapat perlakuan jahat. Dilecehkan misalnya.

"Kutinggal bentar, ya, Mbak. Aku mau salin baju dulu."

Aku melangkah ke kamar dan menutup pintu. Kubuka pintu lemari dan meraih sepotong daster, menoleh ke samping, seprai yang menutupi ranjang tidur terlihat acak-acakan dan berantakan.

Mas Arman memang gitu. Tak pernah membantuku merapikan hal-hal sepele seperti ini. Kuembuskan napas kesal.

Kuletakkan daster ke atas rak mini. Sebelum menuju ke kamar mandi, aku harus merapikan ranjang tidur dulu. Mataku tak nyaman meninggalkannya berantakan seperti ini.

Aku tarik tiap sudutnya seprai, kukibas-kibas dengan sapu lidi seluruh permukaannya. Bantal kususun menjadi dua tumpukan, lalu aku menyingkirkan selimut yang menutupi seprai sejak tadi.

Apa ini? Dahiku berkerut. Ada noda basah di tengah ranjang tidurku. Kusentuh dengan jemari, lengket. Mas Arman abis ngapain, sih? Seketika pikiranku kotor. Apalagi mengingat gelagat Mbak Yuli tadi.

Tak jadi melipat selimut tadi, seprai yang telah rapi kulepaskan lagi dari springbed dan menggantinya dengan yang baru. Setelah terpasang rapi, aku kembali meraih daster dan keluar kamar.

Mbak Yuli sudah tak ada. Dia pergi tanpa pamit dan terburu-buru. Memang dia terbiasa keluar masuk rumah ini. Namun, bagiku tingkahnya kali ini sungguh aneh dan amat mencurigakan.

Aku menggeleng, mencoba menghalau pikiran kotor yang menyergap, lantas masuk ke kamar mandi setelah meletakkan seprai tadi ke dalam mesin cuci. Namun tetap saja, di dalam kamar mandi pikiranku tetap tidak tenang. Rasanya memang ada yang tidak beres yang sedang terjadi. Setelah selesai mandi, kudapati Nurul sedang menonton TV di ruang keluarga.

"Ibu udah pulang?" Dia berdiri semringah, mencium tanganku.

"Udah dari tadi. Anak ibu main ke mana aja, sih? Sampe lupa waktu." Kuusap kepala bocah kelas dua SD itu.

"Main masak-masakan di rumah Rodiyah, Bu. Dia nunjukkin maenan baru. Besok beliin juga buat Nurul kalo Ibu udah gajian, ya, Bu." Mata Nurul penuh harap menatapku.

Aku mengangguk seraya mengulas senyum. "Iya, Nak. Nanti pas Ibu gajian, akan Ibu belikan buat Nurul." Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya. Apalagi Nurul jarang meminta dibelikan sesuatu. Nurul pun anak yang baik dan selalu menurut segala perintah dari orang tuanya.

"Asyik!" Nurul terlihat bahagia.

"Nurul udah makan?"

"Belum," katanya sambil menggeleng.

"Ya udah makan bareng ibu, yuk. Ibu beli soto, lho."

"Asyik!" ucapnya lagi.

Kami menuju meja makan. Sekalian aku menciduk nasi ke piring buat anakku. "Eh, Ayah mana? Abis jemput Nurul, kok, gak ikut pulang ke rumah?"

"Tadi Ayah ngobrol sama bapak-bapak di luar, Bu." Nurul makan dengan lahap. Nampaknya putriku itu lapar sekali.

"Pelan-pelan makannya. Bismillah jangan lupa."

Nurul mengangguk.

"Bukannya Bude Yuli ngasih bubur kacang ijo? Kok anak ibu lapar banget kelihatannya."

"Bubur kacang ijo?" Dia heran lantas menggeleng. "Bude gak bawa apa-apa, ah, Bu. Pas Bude datang, Ayah suruh Nurul main ke luar sama Rodiyah."

Deg! Hatiku merasa tidak nyaman setelah mendengar ucapan Nurul barusan. Mengapa Mbak Yuli berbohong padaku? Apa alasannya?

~AA~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   42. Radi, Duda Hitam Manis

    Purwari tersenyum, tetapi matanya tak lepas dari pekerjaan di tangan. "Modelan bapakmu mana mau pakai sarung baru, Li. Sarung ini adem katanya. Bapakmu bakal terus memakainya sampai kain ini benar-benar lapuk dan rapuh."Lia sudah tau tentang kebiasaan Tarjo itu. Jadi Lia tidak menyarankan apa-apa lagi."Gimana pekerjaanmu di Jakarta, Nduk? Apa ada masalah?"Lia menggeleng. "Enggak, Mak. Alhamdulillah aku bekerja pada bos yang baik.""Syukurlah. Lalu ... apa kamu masih sering bertemu Yuli?" Purwari berhati-hati sekali menanyakan hal yang sensitif ini. "Walau gimana pun, dia sepupumu, Nak."Lia tersenyum penuh ketulusan. "Mak, sungguh aku udah maafin Mbak Yuli. Bahkan ketika mendiang Mas Arman masih hidup. Udah jalan hidup dan takdirku begini. Mau gimana lagi." Lia mengedik bahu.Purwari menoleh sepintas pada anaknya. Wanita itu mencoba membaca raut Lia. "Apa kamu mau Emak jodohkan?"Seketika Lia tergelak. "Mak, Mak. Zaman udah moderen gini, ah. Lagian Lita pun belum menikah. Aku mah t

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   41. Pulang Kampung

    Bus yang membawa Lia, Lita dan Nurul melaju menembus pekatnya malam. Mereka membutuhkan waktu lima jam lagi hingga tiba di kampung halaman. Waktu menunjuk ke jam sebelas, tapi mata Lia belum bisa terpejam sedari tadi.Di sebelahnya, Nurul dan Lita telah tertidur pulas tertutup selimut kotak-kotak yang tersedia di masing-masing kursi penumpang.Sejak memantapkan hati untuk kembali menata hati, Lia jadi susah tidur. Ini kebiasaannya sedari remaja dulu bila diserang gundah gulana. Lia tidak ingin melawan rasa yang menyakitkan itu. Dia biarkan luka merambat ke hatinya hingga luka itu sembuh dengan sendirinya. Lia hanya butuh waktu.Lia kembali memandangi layar ponsel dan membaca pesan dari Kevin yang pria itu kirimkan sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi bersama Siska.[Maaf aku belum sempat menjelaskan situasi ini kepadamu, Lia. Tapi aku berjanji akan segera berbicara denganmu dari hati ke hati. Enggak di sini. Aku butuh berdua aja denganmu.]Lia tidak berniat sedikit pun untuk membala

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   40. Kenyataan yang Berbicara

    Sore harinya Kevin menepati ucapannya. Namun dia tidak datang sendirian. Ada Siska yang bersamanya. Tentu hal ini membuat Siti terheran-heran dan memaklumi kenapa sedari pagi Lia menjadi pendiam."Hai, ternyata kamu kerja di cabang yang ini, Mbak?" Siska melambai ke Lia secara bersahabat. Ini lah yang membuat kenapa Lia tidak bisa membenci gadis itu. Siska terlalu ramah dan baik, bahkan terlihat menyayangi Nurul saat di rumah orang tua Kevin kemarin."Iya, Mbak. Saya ditempatin di toko yang ini," jawab Lia memaksakan seulas senyum.Kevin sempat kebingungan, bagaimana menjelaskan kepada Lia. Namun Lia selalu menghindari tatapan pria itu. Sedang barang yang baru saja dibawa Kevin dari mobil, segera diambil Siti."Maaf aku gak bisa mampir lama, Li. Aku harus ... nganterin Siska ke suatu tempat." Kevin menjelaskan sembari garuk-garuk kepalanya."Iya, Ko. Gak apa-apa." Bibir Lia tersenyum, tapi tidak dengan matanya. "Oh, ya, Ko. Sekalian aku mau minta izin cuti.""Cuti?" Alis Kevin bertaut

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   39. Menghadapi Kenyataan

    Nurul telah tertidur sejak tadi, sedangkan Lia masih menonton televisi. Meski mata wanita itu menuju layar benda elektronik di hadapan, tapi Lita tau kakak perempuan satu-satunya itu tengah memikirkan sesuatu."Nih, kopi. Aku juga buatin buat Mbak Lia." Lita menyodorkan segelas kopi instan yang telah terseduh.Lia menoleh lantas menyambut pemberian adiknya itu. "Kamu kebiasaan, ya, Dek. Kasih kopi ke Mbak di jam segini." Lia menggeleng-gelengkan kepala.Lita tertawa, lantas menyusul duduk di sebelah kakaknya. "Gak minum kopi juga Mbak gak bakalan bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Lia terdiam sejenak. "Kamu tau dari mana?""Tadi aku udah nanya ke Nurul tentang apa aja yang kalian lakuin di rumah orang tua Ko Kevin." Lita tak membalas tatapan kakaknya. Dia menyeruput kopinya sendiri sambil menatap televisi. "Siapa gadis cantik yang diceritain Nurul ke aku, Mbak?"Lia tersenyum miris lalu menggeleng. "Entah lah. Mbak juga belum tau pasti, tapi ... kayaknya dia dan Ko Kevin pernah punya hu

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   38. Fakta yang Terungkap

    "Maaf, kalau ucapanku tadi ngagetin. Tapi benar, kok. Aku sama Kevin pernah tidur di ranjang yang sama. Waktu itu aku ketiduran di kamar Kevin, eh, Kevin-nya malah gak ngebangunin. Aku dibiarkan tidur di kamarnya sampai pagi." Siska kembali tertawa.Kevin menelan ludah. Dia baru menyadari bahwa ekspresi Lia sedang tidak baik-baik saja."Dulu aku kuliah di Singapura, tinggal di rumah Om Sarwono, Li. Makanya aku dan Siska dekat," terang Kevin.Lia manggut-manggut. Hatinya mulai lega. Keterangan dari Kevin itu cukup menjelaskan opini yang salah di kepala Lia sejak kedatangan Siska tadi."Tapi dulu Kevin pernah cium aku, Tante." Siska melirik Kevin lantas tersenyum simpul.Kali ini Kevin yang tersedak, tapi Siska malah semakin tergelak."Benar kah?" Mami Kevin terbelalak. "Bisa-bisanya, ya, kamu Kevin." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Ya dimaklumi aja, Mi. Namanya aja anak kita waktu itu masih labil." Papi Kevin buka suara.Prasangka buruk yang sempat singgah lalu pergi, kini ber

  • Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor   37. Merasa Asing

    Gadis yang dipanggil oleh Mami Kevin dengan nama Siska tersebut pun menoleh. Dia tersenyum lebar menuju wanita itu sembari membentang kedua tangannya. Mereka kemudian saling berpelukan erat sekali."Tante apa kabar? Tante makin cantik aja. Apa, sih, rahasianya?" sapa Siska ramah."Duh kamu ini, lho, yang makin cantik, Nak. Tante sempat bingung tadi mau ngebedain antara kamu sama bidadari. Tante pikir bidadari dari mana yang turun dari mobil suami Tante.""Ah, Tante bisa aja." Siska kembali tertawa renyah memamerkan giginya yang putih dan berderet rapi.Entah mengapa sejak kedatangan Siska, Lia merasa dirinya benar-benar di tempat yang asing. Penampilan terbaiknya hari ini, sungguh kalah jauh bila dibandingkan dengan gadis itu.Siska yang sejak tadi dipandangi oleh Lia dan Nurul tanpa berkedip, sontak menoleh kepada dua beranak tersebut."Siapa mereka, Tante?" tanya Siska.Mami Kevin seperti baru menyadari keberadaan Lia dan Nurul yang masih ada di tengah-tengah mereka. "Oh ... dia Lia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status