Share

2. Mencurigakan

"Assalamualaikum ...."

Ketika langkahku memasuki rumah, terdengar derit engsel pintu kamar depan terbuka, itu ialah kamarku. Langkah seseorang seperti berlari ke arah dapur. Pintu kamarku menghadap ke bagian belakang rumah, itu sebabnya aku tak bisa menjangkaunya dengan mata.

Kian penasaran sebab salamku juga tak dibalas, aku mendapati Mas Arman sedang menyisir rambutnya yang berantakan di dalam kamar.

"Eh, Ibu udah pulang!" Dia nyengir tak jelas.

"Aku tadi salam. Emang Mas gak dengar?" Aku meraih tangannya dan kucium. "Mana Nurul?"

"Tadi dia main ke luar sama teman-temannya."

"Ajakin pulang, Mas. Hari udah mau Magrib." Aku meminta Mas Arman mencari Nurul sambil melangkah ke dapur.

Suara keran tempat cucian piring menyala. Ada Mbak Yuli sedang mencuci piring-piring kotor. "Lho, Mbak?" Aku agak terkejut. Tak biasanya dia datang sewaktu tidak ada aku di rumah.

Mbak Yuli adalah sepupuku. Dia anak dari kakak perempuan ibuku. Rumahnya juga tak jauh dari sini. Terpisah hanya beberapa rumah saja.

"Udah pulang, Li? Mbak barusan nganterin bubur kacang ijo buat Nurul. Kebetulan lagi bikin. Lumayan banyak. Nurul senang. Dia habisin sampe gak ada sisa." Tanpa kutanya dia memberi alasan. Gerak-geriknya seperti orang yang baru saja tertangkap basah, tertawa cengengesan dan tak mau menatap wajahku.

"Gimana kabar Mas Burhan, Mbak?"

"Yah ... masih gitu lah, Li. Gak ada perubahan. Mbak capek ngurusin dia. Rasanya pengin mbak pulangin aja dia ke rumah ibunya. Udah nyusahin, gak bisa ngasih nafkah pula." Raut Mbak Yuli berubah kesal.

"Jangan gitu, Mbak. Mbak harus ingat setiap kebaikan Mas Burhan sebelum dia sakit. Dia sosok suami pekerja keras, kan. Bukan pilihan dia jadi lumpuh dan tak berdaya kayak sekarang." Aku mencoba menasihati sepupuku yang berkulit sawo matang itu.

"Udah, ah, jangan bahas dia." Mbak Yuli mengibas kesal.

Aku diam. Percuma jika aku berbicara lagi. Sebab aku mengenal sifat sepupuku yang usianya tiga tahun di atasku ini. Dia keras kepala dan susah dinasihati.

Eh, sebentar. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakan Mbak Yuli terlalu terbuka. Baju tanpa lengan dan celana jeans di atas lutut. Ck! Padahal dulu aku pernah memintanya jangan keluar rumah dengan pakaian seperti ini. Bisa memancing syahwat lelaki yang melihatnya. Yang ditakutkan, Mbak Yuli akan mendapat perlakuan jahat. Dilecehkan misalnya.

"Kutinggal bentar, ya, Mbak. Aku mau salin baju dulu."

Aku melangkah ke kamar dan menutup pintu. Kubuka pintu lemari dan meraih sepotong daster, menoleh ke samping, seprai yang menutupi ranjang tidur terlihat acak-acakan dan berantakan.

Mas Arman memang gitu. Tak pernah membantuku merapikan hal-hal sepele seperti ini. Kuembuskan napas kesal.

Kuletakkan daster ke atas rak mini. Sebelum menuju ke kamar mandi, aku harus merapikan ranjang tidur dulu. Mataku tak nyaman meninggalkannya berantakan seperti ini.

Aku tarik tiap sudutnya seprai, kukibas-kibas dengan sapu lidi seluruh permukaannya. Bantal kususun menjadi dua tumpukan, lalu aku menyingkirkan selimut yang menutupi seprai sejak tadi.

Apa ini? Dahiku berkerut. Ada noda basah di tengah ranjang tidurku. Kusentuh dengan jemari, lengket. Mas Arman abis ngapain, sih? Seketika pikiranku kotor. Apalagi mengingat gelagat Mbak Yuli tadi.

Tak jadi melipat selimut tadi, seprai yang telah rapi kulepaskan lagi dari springbed dan menggantinya dengan yang baru. Setelah terpasang rapi, aku kembali meraih daster dan keluar kamar.

Mbak Yuli sudah tak ada. Dia pergi tanpa pamit dan terburu-buru. Memang dia terbiasa keluar masuk rumah ini. Namun, bagiku tingkahnya kali ini sungguh aneh dan amat mencurigakan.

Aku menggeleng, mencoba menghalau pikiran kotor yang menyergap, lantas masuk ke kamar mandi setelah meletakkan seprai tadi ke dalam mesin cuci. Namun tetap saja, di dalam kamar mandi pikiranku tetap tidak tenang. Rasanya memang ada yang tidak beres yang sedang terjadi. Setelah selesai mandi, kudapati Nurul sedang menonton TV di ruang keluarga.

"Ibu udah pulang?" Dia berdiri semringah, mencium tanganku.

"Udah dari tadi. Anak ibu main ke mana aja, sih? Sampe lupa waktu." Kuusap kepala bocah kelas dua SD itu.

"Main masak-masakan di rumah Rodiyah, Bu. Dia nunjukkin maenan baru. Besok beliin juga buat Nurul kalo Ibu udah gajian, ya, Bu." Mata Nurul penuh harap menatapku.

Aku mengangguk seraya mengulas senyum. "Iya, Nak. Nanti pas Ibu gajian, akan Ibu belikan buat Nurul." Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya. Apalagi Nurul jarang meminta dibelikan sesuatu. Nurul pun anak yang baik dan selalu menurut segala perintah dari orang tuanya.

"Asyik!" Nurul terlihat bahagia.

"Nurul udah makan?"

"Belum," katanya sambil menggeleng.

"Ya udah makan bareng ibu, yuk. Ibu beli soto, lho."

"Asyik!" ucapnya lagi.

Kami menuju meja makan. Sekalian aku menciduk nasi ke piring buat anakku. "Eh, Ayah mana? Abis jemput Nurul, kok, gak ikut pulang ke rumah?"

"Tadi Ayah ngobrol sama bapak-bapak di luar, Bu." Nurul makan dengan lahap. Nampaknya putriku itu lapar sekali.

"Pelan-pelan makannya. Bismillah jangan lupa."

Nurul mengangguk.

"Bukannya Bude Yuli ngasih bubur kacang ijo? Kok anak ibu lapar banget kelihatannya."

"Bubur kacang ijo?" Dia heran lantas menggeleng. "Bude gak bawa apa-apa, ah, Bu. Pas Bude datang, Ayah suruh Nurul main ke luar sama Rodiyah."

Deg! Hatiku merasa tidak nyaman setelah mendengar ucapan Nurul barusan. Mengapa Mbak Yuli berbohong padaku? Apa alasannya?

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status