Share

3. Pengakuan Nurul

"Oh, ya, Nak. Memangnya Bude Yuli sering ke sini sendirian, ya, kalo ibu lagi gak ada?" Aku mencoba mengorek informasi dengan nada biasa. Agar putriku ini tidak berpikiran yang tidak-tidak.

Tak disangka, putriku mengangguk sembari melanjutkan kunyahannya.

"Lama gak?" tanyaku lagi.

"Lumayan lama, Bu. Pernah sampe Nurul pulang Bude Yuli masih di sini," jawab Nurul. "Kadang suara ketawanya terdengar sampai ke luar rumah, Bu."

Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengucap dalam hati saja.

Tunggu. Dahiku berkerut dalam. Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi, tapi apa pantas jika aku bertanya pada Nurul; Ayah sama Bude Yuli ngapain aja di rumah?

Huh! Tapi ucapan itu berhasil kusimpan dalam benak. Aku tak ingin pertanyaan itu akan menjadi beban pikiran untuk anakku.

Meski Nurul masih berusia delapan tahun, tapi aku yakin dia bakal bisa mencerna dan menilai semua apa yang terjadi di depan matanya. Jika aku memperlihatkan kecurigaan pada Nurul, pasti ini akan menjadi beban pikiran baginya. Aku tahu Nurul anak yang pintar dan bisa menyimpulkan sendiri.

Setelahnya kami makan dalam diam. Nurul mengangkat piring kotor ke tempat cucian piring, lalu membantuku mencucinya sampai bersih. Bocah pintar itu juga menyusun rapi semua peralatan makan yang telah bersih ke rak piring. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang kuajarkan padanya sejak dini agar dia menjadi sosok yang mandiri.

Sedang aku, pikiranku masih berisi sekelumit kecurigaan pada tingkah Mas Arman dan Mbak Yuli. Hingga membuatku menyerah menghabiskan makanan di pinggan. Sudahlah. Kudorong piring ke tengah meja. Aku jadi tak berselera makan meski tadi aku sangat lah lapar.

~AA~

Kupandangi bayangan Mas Arman di balik cermin meja rias. Dia tengah tersenyum sendiri sembari memandangi ponsel di tangan. Kulirik jam di tembok, pukul 22.30 malam. Dengan siapa dia berbicara via pesan selarut ini.

"Mas?"

"Hmm." Dia tak mengalihkan pandangan. Matanya masih terpaku pada layar ponsel.

"Emang Mbak Yuli sering ke sini, ya?" Kuusap secara merata wajah menggunakan kapas yang sudah dibaluri toner penyegar untuk mengangkat sisa make up dan kulit-kulit mati. Aromanya cukup menenangkan dan setidaknya mampu meredam emosi yang tertahan di diri sejak tadi.

"Iya, Dek. Dia nganterin makanan buat Nurul." Mas Arman menjawab acuh.

"Oh, gitu. Langsung pulang ato mampir lama? Ngajakin Mas ngobrol? Emang ngobrolin apa aja, sih, sampe berjam-jam?"

Mas Arman mendongak. "Kamu curiga sama aku?" Matanya menatap sinis ke padaku.

"Lho, aku, kan, cuma nanya. Kok respons Mas kayak gitu, sih?" Kuhentikan usapan pada wajah. Kubalas tatapannya yang terbalut amarah. "Trus kenapa pake acara nyuruh Nurul main keluar rumah? Kalian berdua bisa jadi bahan fitnahan orang sekitar, lho, Mas." Aku mencoba mengingatkan Mas Arman.

"Ah, ngapain dengerin omongan orang, sih. Kamu kayak gak ada kerjaan aja." Wajah Mas Arman kembali menunduk, menatap ponselnya. Namun, rautnya kentara terlihat tidak suka pada ucapanku.

"Mas. Kita ini tinggal di lingkungan yang masih menjaga adab. Mas juga seharusnya jadi contoh yang baik buat Nurul. Apa Mas gak merasa risih ngeliat pakaian Mbak Yuli yang terbuka seperti tadi? Aku sebagai perempuan aja ngeliatnya risih, Mas. Lain kali kalo dia main sendirian ke sini, lebih baik Mas menghindar. Keluar rumah. Jangan diladeni."

"Kamu berisik, ah!" Mas Arman bangkit berdiri. Dia meraih satu bantal dan keluar kamar. Pasti dia bakal tidur di depan TV malam ini. Begitulah Mas Arman. Dia selalu menghindar jika diajak diskusi. Padahal apa yang kusampaikan, menurutku tidak salah. Aku hanya tak ingin, dia dan Mbak Yuli jadi bahan gunjingan para tetangga. Lagi pula bagaimana jika mereka khilaf sampai melakukan hal yang tidak pantas. Setan bisa menggoda kapan pun dan dengan beragam cara. Ditambah lagi bila mereka hanya berdua saja di dalam rumah.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status