Share

7. Menata Hati

Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini.

Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding.

Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian.

"Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?"

Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih.

Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu.

"Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan.

"Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "Kan lumayan jauh dari sini."

"Aman, Mbak. Kan, bisa kuantar jemput. Aku punya motor."

"Apa gak ngerepotin kamu?"

"Gak, kok, Mbak. Toh, jaraknya juga gak begitu jauh kalo ditempuh pakai motor." Lita meyakinkanku lagi.

Aku diam. Semuanya harus kupikirkan secara matang-matang dan dengan kepala dingin. Jangan sampai aku gegabah mengambil keputusan.

"Hal ini jangan diceritain ke Emak sama Bapak dulu, ya, Ta." Kupandangi gambar cangkir di tangan. "Mbak takut, Emak sakit. Emak, kan, gak boleh banyak mikir."

"Aku tau, Mbak. Tapi gimana seumpama cerita ini nyampe ke kampung? Ah, emang Mbak Yuli itu betina gak punya otak." Lita mengepalkan kedua tangannya dibalut rasa emosi menggebu. Bisa kubayangkan jika tadi Lita bertemu Mbak Yuli. Pasti lah adikku ini tak segan membikin perhitungan atau menjabak rambut sepupu kami itu yang telah berhasil merusak rumah tanggaku.

Aku dan Lita tinggal jauh dari orang tua. Kami berharap kehidupan di kota besar bisa merubah nasib kami. Aku mendahului merantau ke Jakarta. Lima tahun setelah aku di sini, Lita menyusul setelah menamatkan SMA-nya.

Lita sekarang sudah mandiri. Untuk biaya makan dan membayar kos-kosan dia sudah mampu. Hasil dari dia berjualan online dan mengajar les anak-anak SD. Bisnis online-nya kulihat maju. Terlihat dari tumpukan kardus yang tersusun di sudut kamar. Lumayan banyak jumlahnya.

"Tidur aja dulu, Mbak. Tenangin pikiran. Masalah sekolahnya Nurul, ntar biar aku yang urus."

"Mbak gak bisa tidur, Ta. Lagian jam segini kamu suguhin kopi, sih." Aku nyengir mengacungkan cangkir di tangan.

"Duh, aku lupa." Lita menepuk jidat. "Ya, udah kalo gitu. Aku temenin begadang sambil ngerekap barang pesanan." Lita berdiri, lalu melangkah ke arah meja. Dia meraih laptop, sebuah buku dan satu kotak pensil lalu kembali duduk di sebelahku.

Ting!

Ponselku berdenting. Kuraih cepat. Barusan Bu Rahmi mengirimkan pesan via W******p.

[Udah nyampe, Li? Gimana Nurul? Kamu tenangin diri dulu, ya. Gak usah mikirin macem-macem.]

Kuembuskan napas. Jemariku menari mengetik pesan balasan.

[Udah, Bu. Dari tadi. Nurul juga udah tidur. Gimana keadaan di sana?]

Kepalaku menoleh ke arah putriku yang mengubah posisi tidurnya. Wajahnya tanpa beban, pulas seperti bayi. Kuharap dia tidak trauma atau terganggu karena ulah ayahnya sendiri.

[Pak RT dan pengurus yang lain baru selesai rapat. Udah diputuskan Arman dan Yuli akan dinikahkan. Berhubung kamu dan Burhan memilih untuk bercerai dari mereka berdua.]

[Mas Burhan tau, Bu?]

[Akhirnya tau. Kebetulan tadi pas ibunya Burhan datang berkunjung mau ngejenguk keadaan Burhan dan mendapati warga sedang memberi kabar pada Burhan. Wanita itu langsung syok dan membawa Burhan ke rumahnya saat itu juga. Kasian, Li. Burhan nangis pas tadi berpamitan pada warga.]

Sedih aku membayangkannya. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dalam keadaan lumpuh tak berdaya, istrinya berselingkuh. Hati siapa yang tak hancur.

Kurebahkan badan di atas karpet. Masih memeluk ponsel, kupejamkan mata berharap bisa tertidur cepat. Kemudian bangun dan menyadari bahwa ini semua hanya lah mimpi buruk semata. Ya, aku berharap ini semua hanya lah mimpi.

~AA~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status