Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini.
Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding.
Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian.
"Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?"
Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih.
Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu.
"Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan.
"Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "Kan lumayan jauh dari sini."
"Aman, Mbak. Kan, bisa kuantar jemput. Aku punya motor."
"Apa gak ngerepotin kamu?"
"Gak, kok, Mbak. Toh, jaraknya juga gak begitu jauh kalo ditempuh pakai motor." Lita meyakinkanku lagi.
Aku diam. Semuanya harus kupikirkan secara matang-matang dan dengan kepala dingin. Jangan sampai aku gegabah mengambil keputusan.
"Hal ini jangan diceritain ke Emak sama Bapak dulu, ya, Ta." Kupandangi gambar cangkir di tangan. "Mbak takut, Emak sakit. Emak, kan, gak boleh banyak mikir."
"Aku tau, Mbak. Tapi gimana seumpama cerita ini nyampe ke kampung? Ah, emang Mbak Yuli itu betina gak punya otak." Lita mengepalkan kedua tangannya dibalut rasa emosi menggebu. Bisa kubayangkan jika tadi Lita bertemu Mbak Yuli. Pasti lah adikku ini tak segan membikin perhitungan atau menjabak rambut sepupu kami itu yang telah berhasil merusak rumah tanggaku.
Aku dan Lita tinggal jauh dari orang tua. Kami berharap kehidupan di kota besar bisa merubah nasib kami. Aku mendahului merantau ke Jakarta. Lima tahun setelah aku di sini, Lita menyusul setelah menamatkan SMA-nya.
Lita sekarang sudah mandiri. Untuk biaya makan dan membayar kos-kosan dia sudah mampu. Hasil dari dia berjualan online dan mengajar les anak-anak SD. Bisnis online-nya kulihat maju. Terlihat dari tumpukan kardus yang tersusun di sudut kamar. Lumayan banyak jumlahnya.
"Tidur aja dulu, Mbak. Tenangin pikiran. Masalah sekolahnya Nurul, ntar biar aku yang urus."
"Mbak gak bisa tidur, Ta. Lagian jam segini kamu suguhin kopi, sih." Aku nyengir mengacungkan cangkir di tangan.
"Duh, aku lupa." Lita menepuk jidat. "Ya, udah kalo gitu. Aku temenin begadang sambil ngerekap barang pesanan." Lita berdiri, lalu melangkah ke arah meja. Dia meraih laptop, sebuah buku dan satu kotak pensil lalu kembali duduk di sebelahku.
Ting!
Ponselku berdenting. Kuraih cepat. Barusan Bu Rahmi mengirimkan pesan via W******p.
[Udah nyampe, Li? Gimana Nurul? Kamu tenangin diri dulu, ya. Gak usah mikirin macem-macem.]
Kuembuskan napas. Jemariku menari mengetik pesan balasan.
[Udah, Bu. Dari tadi. Nurul juga udah tidur. Gimana keadaan di sana?]
Kepalaku menoleh ke arah putriku yang mengubah posisi tidurnya. Wajahnya tanpa beban, pulas seperti bayi. Kuharap dia tidak trauma atau terganggu karena ulah ayahnya sendiri.
[Pak RT dan pengurus yang lain baru selesai rapat. Udah diputuskan Arman dan Yuli akan dinikahkan. Berhubung kamu dan Burhan memilih untuk bercerai dari mereka berdua.]
[Mas Burhan tau, Bu?]
[Akhirnya tau. Kebetulan tadi pas ibunya Burhan datang berkunjung mau ngejenguk keadaan Burhan dan mendapati warga sedang memberi kabar pada Burhan. Wanita itu langsung syok dan membawa Burhan ke rumahnya saat itu juga. Kasian, Li. Burhan nangis pas tadi berpamitan pada warga.]
Sedih aku membayangkannya. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dalam keadaan lumpuh tak berdaya, istrinya berselingkuh. Hati siapa yang tak hancur.
Kurebahkan badan di atas karpet. Masih memeluk ponsel, kupejamkan mata berharap bisa tertidur cepat. Kemudian bangun dan menyadari bahwa ini semua hanya lah mimpi buruk semata. Ya, aku berharap ini semua hanya lah mimpi.
~AA~
Purwari tersenyum, tetapi matanya tak lepas dari pekerjaan di tangan. "Modelan bapakmu mana mau pakai sarung baru, Li. Sarung ini adem katanya. Bapakmu bakal terus memakainya sampai kain ini benar-benar lapuk dan rapuh."Lia sudah tau tentang kebiasaan Tarjo itu. Jadi Lia tidak menyarankan apa-apa lagi."Gimana pekerjaanmu di Jakarta, Nduk? Apa ada masalah?"Lia menggeleng. "Enggak, Mak. Alhamdulillah aku bekerja pada bos yang baik.""Syukurlah. Lalu ... apa kamu masih sering bertemu Yuli?" Purwari berhati-hati sekali menanyakan hal yang sensitif ini. "Walau gimana pun, dia sepupumu, Nak."Lia tersenyum penuh ketulusan. "Mak, sungguh aku udah maafin Mbak Yuli. Bahkan ketika mendiang Mas Arman masih hidup. Udah jalan hidup dan takdirku begini. Mau gimana lagi." Lia mengedik bahu.Purwari menoleh sepintas pada anaknya. Wanita itu mencoba membaca raut Lia. "Apa kamu mau Emak jodohkan?"Seketika Lia tergelak. "Mak, Mak. Zaman udah moderen gini, ah. Lagian Lita pun belum menikah. Aku mah t
Bus yang membawa Lia, Lita dan Nurul melaju menembus pekatnya malam. Mereka membutuhkan waktu lima jam lagi hingga tiba di kampung halaman. Waktu menunjuk ke jam sebelas, tapi mata Lia belum bisa terpejam sedari tadi.Di sebelahnya, Nurul dan Lita telah tertidur pulas tertutup selimut kotak-kotak yang tersedia di masing-masing kursi penumpang.Sejak memantapkan hati untuk kembali menata hati, Lia jadi susah tidur. Ini kebiasaannya sedari remaja dulu bila diserang gundah gulana. Lia tidak ingin melawan rasa yang menyakitkan itu. Dia biarkan luka merambat ke hatinya hingga luka itu sembuh dengan sendirinya. Lia hanya butuh waktu.Lia kembali memandangi layar ponsel dan membaca pesan dari Kevin yang pria itu kirimkan sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi bersama Siska.[Maaf aku belum sempat menjelaskan situasi ini kepadamu, Lia. Tapi aku berjanji akan segera berbicara denganmu dari hati ke hati. Enggak di sini. Aku butuh berdua aja denganmu.]Lia tidak berniat sedikit pun untuk membala
Sore harinya Kevin menepati ucapannya. Namun dia tidak datang sendirian. Ada Siska yang bersamanya. Tentu hal ini membuat Siti terheran-heran dan memaklumi kenapa sedari pagi Lia menjadi pendiam."Hai, ternyata kamu kerja di cabang yang ini, Mbak?" Siska melambai ke Lia secara bersahabat. Ini lah yang membuat kenapa Lia tidak bisa membenci gadis itu. Siska terlalu ramah dan baik, bahkan terlihat menyayangi Nurul saat di rumah orang tua Kevin kemarin."Iya, Mbak. Saya ditempatin di toko yang ini," jawab Lia memaksakan seulas senyum.Kevin sempat kebingungan, bagaimana menjelaskan kepada Lia. Namun Lia selalu menghindari tatapan pria itu. Sedang barang yang baru saja dibawa Kevin dari mobil, segera diambil Siti."Maaf aku gak bisa mampir lama, Li. Aku harus ... nganterin Siska ke suatu tempat." Kevin menjelaskan sembari garuk-garuk kepalanya."Iya, Ko. Gak apa-apa." Bibir Lia tersenyum, tapi tidak dengan matanya. "Oh, ya, Ko. Sekalian aku mau minta izin cuti.""Cuti?" Alis Kevin bertaut
Nurul telah tertidur sejak tadi, sedangkan Lia masih menonton televisi. Meski mata wanita itu menuju layar benda elektronik di hadapan, tapi Lita tau kakak perempuan satu-satunya itu tengah memikirkan sesuatu."Nih, kopi. Aku juga buatin buat Mbak Lia." Lita menyodorkan segelas kopi instan yang telah terseduh.Lia menoleh lantas menyambut pemberian adiknya itu. "Kamu kebiasaan, ya, Dek. Kasih kopi ke Mbak di jam segini." Lia menggeleng-gelengkan kepala.Lita tertawa, lantas menyusul duduk di sebelah kakaknya. "Gak minum kopi juga Mbak gak bakalan bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Lia terdiam sejenak. "Kamu tau dari mana?""Tadi aku udah nanya ke Nurul tentang apa aja yang kalian lakuin di rumah orang tua Ko Kevin." Lita tak membalas tatapan kakaknya. Dia menyeruput kopinya sendiri sambil menatap televisi. "Siapa gadis cantik yang diceritain Nurul ke aku, Mbak?"Lia tersenyum miris lalu menggeleng. "Entah lah. Mbak juga belum tau pasti, tapi ... kayaknya dia dan Ko Kevin pernah punya hu
"Maaf, kalau ucapanku tadi ngagetin. Tapi benar, kok. Aku sama Kevin pernah tidur di ranjang yang sama. Waktu itu aku ketiduran di kamar Kevin, eh, Kevin-nya malah gak ngebangunin. Aku dibiarkan tidur di kamarnya sampai pagi." Siska kembali tertawa.Kevin menelan ludah. Dia baru menyadari bahwa ekspresi Lia sedang tidak baik-baik saja."Dulu aku kuliah di Singapura, tinggal di rumah Om Sarwono, Li. Makanya aku dan Siska dekat," terang Kevin.Lia manggut-manggut. Hatinya mulai lega. Keterangan dari Kevin itu cukup menjelaskan opini yang salah di kepala Lia sejak kedatangan Siska tadi."Tapi dulu Kevin pernah cium aku, Tante." Siska melirik Kevin lantas tersenyum simpul.Kali ini Kevin yang tersedak, tapi Siska malah semakin tergelak."Benar kah?" Mami Kevin terbelalak. "Bisa-bisanya, ya, kamu Kevin." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Ya dimaklumi aja, Mi. Namanya aja anak kita waktu itu masih labil." Papi Kevin buka suara.Prasangka buruk yang sempat singgah lalu pergi, kini ber
Gadis yang dipanggil oleh Mami Kevin dengan nama Siska tersebut pun menoleh. Dia tersenyum lebar menuju wanita itu sembari membentang kedua tangannya. Mereka kemudian saling berpelukan erat sekali."Tante apa kabar? Tante makin cantik aja. Apa, sih, rahasianya?" sapa Siska ramah."Duh kamu ini, lho, yang makin cantik, Nak. Tante sempat bingung tadi mau ngebedain antara kamu sama bidadari. Tante pikir bidadari dari mana yang turun dari mobil suami Tante.""Ah, Tante bisa aja." Siska kembali tertawa renyah memamerkan giginya yang putih dan berderet rapi.Entah mengapa sejak kedatangan Siska, Lia merasa dirinya benar-benar di tempat yang asing. Penampilan terbaiknya hari ini, sungguh kalah jauh bila dibandingkan dengan gadis itu.Siska yang sejak tadi dipandangi oleh Lia dan Nurul tanpa berkedip, sontak menoleh kepada dua beranak tersebut."Siapa mereka, Tante?" tanya Siska.Mami Kevin seperti baru menyadari keberadaan Lia dan Nurul yang masih ada di tengah-tengah mereka. "Oh ... dia Lia