Share

6. Aku Harus Kuat

"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar.

"Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan."

"Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."

Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.

Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku.

"Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain boneka bersama Nurul.

"Baik, Ma." Rodiyah berdiri. "Ayo, Nurul. Kita mainnya di kamarku aja." Kemudian mereka berdua menghilang di balik pintu kamar yang bersisian dengan ruang tamu.

Sesudah kedua anak perempuan itu pergi, air mataku tak bisa dibendung lagi. Rasa sesak yang sejak tadi mendera dada, kian menyiksa dan membuatku sulit untuk bernapas. Di hadapan Bu Rahmi aku menangis tersedu sedan. Wanita berusia 40-an itu merengkuhku dalam pelukannya.

"Yang sabar, ya, Li. Saya yakin kamu kuat. Setelah ini Allah pasti akan angkat derajat kamu."

Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku sungguh amat kalut. Yang terlintas hanya bagaimana caranya aku keluar dari rumah itu. Rumah yang sudah cukup lama aku tinggali sekaligus tempat suamiku melakukan perzinahan.

~AA~

"Ya udah pokoknya Mbak ke sini aja dulu. Pesen taksi online nanti aku yang bayarin. Mbak masih pegang uang, gak?" Lita adikku berbicara dari panggilan telepon. Sebelum memutuskan ke tempat kos-kosannya, aku harus memberitahunya terlebih dahulu agar dia tidak syok.

"Ada, kok, Dek, kalo buat ongkos."

"Sekarang Mbak di mana? Nurul mana?"

"Mbak di rumah tetangga depan rumah. Nurul juga di sini."

"Iya, bagus. Bawa yang penting-penting aja dulu. Sisanya bisa dijemput belakangan," ujarnya lagi. "Ih, emang manusia berdua itu kelewatan, ya. Gak tau diri. Bikin malu aja. Mbak Yuli juga. Apa perlu Lita ke sana, Mbak? Biar Lita hajar dia sekalian." Adikku terdengar sangat kesal.

Aku menggeleng. Meski tau aksiku ini tak bisa dilihat oleh Lita, tapi aku tulus mencegah agar adikku itu jangan sampai mengotori tangannya dengan menghajar manusia-manusia pezina itu. Biarlah perbuatan mereka menjadi contoh yang tidak baik bagi siapa saja yang melihat.

Setelah berbicara panjang lebar via telepon dengan Lita, aku segera pamit pada Bu Rahmi. Dengan tulus aku mengucapkan terima kasih pada wanita itu karena dia sudah memberi tumpangan sementara untukku menenangkan diri.

"Jangan lupa kasih kabar, ya, Li. Semisal butuh apa-apa, jangan sungkan ngomong ke saya," kata Bu Rahmi sembari mengantarkan aku dan Nurul hingga ke taksi online yang sudah menunggu di depan rumahnya.

"Iya, Bu. Makasih banyak. Doain aku kuat, ya, Bu." Sekali lagi kuseka air mata yang merembes.

"Saya yakin kamu kuat, Li. Kamu wanita hebat." Ditepuknya bahuku sekali lagi, pelan.

"Jalan sekarang, Pak." Kuberi perintah pada Pak Sopir yang membawa kami. Aku melambai pada Bu Rahmi dan Rodiyah yang menatap kepergian kami dengan raut sedih.

Li, kamu harus kuat. Jangan buang air mata untuk orang yang tidak menghargai kamu. Selama ini kamu bisa berjuang sendiri mencari nafkah. Setidaknya berkurang satu orang beban hidupmu. Seseorang yang tidak mau berusaha mencari pekerjaan. Malah dia tega bermain kotor di belakangmu.

Kuusap kasar air mata yang tersisa. Ya! Aku berjanji kali ini aku akan membahagiakan diriku sendiri dan juga Nurul. Tanpa suami, aku bisa hidup dan mandiri. Ya. Aku pasti bisa.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status