Share

8. Hati yang Menghangat

Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku.

"Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya.

"Ibu tidur di bawah?"

"Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."

Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu."

"Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.

Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu.

"Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin."

"Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.

~AA~

Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.

Aku tak menyahut, masih fokus membersihkan kaca-kaca etalase yang memajang barang-barang jualan.

"Trus, kamu tinggal di mana sekarang, Li?" Siti bertanya, melanjutkan menyapu lantai yang tadi terhenti sebentar.

"Di kosan adikku. Gak jauh dari sini."

"Emang, ya, benar-benar si Arman." Siti berdecak. "Kalo aku jadi kamu, mereka berdua udah habis aku bejek-bejek." Siti nyerocos sewot.

Suara pintu mobil terdengar ditutup berasal dari parkiran depan ruko. Aku dan Siti bersamaan menoleh ke arah yang sama, memandang ke pria yang berjalan mendekat. Ko Kevin berkaos putih dan celana jeans selutut dengan sepatu kets. Kostum khas yang sering dipakainya jika bos kami itu akan bermain badminton di Sabtu pagi. Ada dua kardus di pelukannya. Tampaknya berisi barang-barang baru.

Siti memberi kode padaku. Bergegas aku menghampiri pria berwajah oriental itu, ingin merebut kardus-kardus yang dia bawa. Namun, dia hanya memberi satu. Satunya lagi masih dia pertahankan dengan alasan lumayan berat.

Aku mengekor di belakang Koko Kevin, melewati rak-rak dan berakhir di sebuah pintu pembatas antara toko dan kantornya. Melangkah masuk, aku meniru gerakannya meletakkan kardus ke atas meja di sudut ruangan. Sedikit mengangguk hendak pamit, aku bermaksud meninggalkannya. Namun, sapaannya menghentikan langkahku.

"Kamu gak apa-apa?" Koko Kevin menatap dengan bola matanya yang hitam.

Aku membalik badan, menghadap ke arahnya. Dahiku berkerut tanda tak mengerti.

"Maaf. Kemarin pas saya antar kamu pulang, saya sempat bertanya pada salah satu warga yang sedang berkerumun. Saya cuma khawatir, terjadi perampokan atau sesuatu di rumahmu." Koko Kevin berucap dengan nada tulus. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk lantas mengulas senyum. "Saya gak apa-apa, Ko."

"Seumpama kamu butuh hari libur. Bilang aja. Kamu butuh menenangkan diri."

Aku menggeleng. "Gak, Ko. Dengan bekerja saya bisa fokus melupakan semuanya. Jika saya sendirian, saya malah selalu teringat pada masalah yang sedang saya alami."

Koko Kevin mengangguk berulang kali. "Bagus, saya suka cara berpikir perempuan hebat seperti kamu. Jangan sia-siakan air mata untuk seorang pengkhianat. Apa, ya, namanya? Mubazir?"

Mau tak mau aku tertawa. "Betul, Ko. Mubazir."

Dia pun ikut tersenyum. Ah, lagi-lagi bosku itu memberi senyuman kepadaku yang mampu menghangatkan hati. Kupastikan wajahku terlihat bersemu dari pantulan kaca lemari di sudut kantornya.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status