Share

Bab 9

Author: Kamari
Napas Susan seakan terhenti. Dia memaksa dirinya untuk berkata dengan tenang, "Nggak, kamu salah dengar."

Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Ryan ternyata masih mengingat kejadian semalam, juga apa yang dikatakannya.

Bukankah pria ini menganggapnya sebagai Yunda?

Ryan tiba-tiba mengulurkan tangan, merangkul pinggangnya, mengabaikan penolakannya, lalu memeluk Susan di pangkuannya dengan paksa.

Dalam kepanikan, tas sekolah Susan terjatuh di bawah kursi mobil.

Susan memukul bahu Ryan dengan panik. "Ryan, apa kamu sudah gila?"

Kedua tangan Ryan mengikat pinggang Susan, menekannya di kursi pengemudi. Satu tangan pria itu mencubit dagunya, mata hitamnya yang tajam menatap lekat mata Susan.

"Apa kamu pikir aku bodoh?" tanya Ryan.

Susan meletakkan tangannya di antara mereka untuk menjaga jarak. "Kamu menganggapku sebagai Yunda, kenapa aku nggak boleh merasa muak?"

"Aku juga sudah mengatakan kalau aku akan menjaga jarak denganmu. Kamu sendiri yang melewati batasan."

"Sementara untuk masalah obat itu, apa kamu sudah menyelidiki dengan jelas siapa yang melakukannya?"

Susan mencengkeram kerah Ryan yang terjahit dengan rapi, mata jernihnya seperti diselimuti oleh lapisan kabut.

"Jangan berpikir untuk menyalahkanku lagi."

"Lagi?" Mata hitam Ryan menatapnya dengan tenang. "Kapan aku pernah menyalahkanmu?"

Susan berpikir, 'Banyak sekali di kehidupan sebelumnya.'

Makin tragis kematiannya, makin banyak pula pisau yang ditikamkan Ryan dan Yunda padanya.

Tiba-tiba, Ryan terkekeh ringan, lalu memegang dagunya.

"Selain itu, menjaga jarak?"

"Aku nggak mengizinkan."

Mata Susan langsung memerah. "Apa maksudmu?"

Suara Ryan sangat tenang, "Sebelum aku menyelidiki masalah ini dengan jelas, jangan berpikir bisa melarikan diri."

"Pada akhirnya, kamu masih enggan merasa curiga pada Yunda." Susan merasa ironis. "Masalahnya sudah sangat jelas. Selain segelas jus itu, apa lagi yang perlu diragukan?"

Susan tersenyum sinis pada Ryan. "Yunda juga berhasil, 'kan?"

Mata Ryan menjadi lebih dalam, kata-katanya juga tidak jelas, "Nggak."

Namun, Susan mengerti apa yang dikatakan pria itu. "Ini nggak ada hubungannya denganku."

Dia mendorong Ryan dengan keras untuk menjauh, menyilangkan kaki, lalu duduk kembali di tempatnya. Susan mengambil tas sekolah di bawah kursi, lalu memeluknya.

Sepanjang sisa perjalanan, keduanya sangat tenang. Ryan kembali mengambil tablet untuk melihat informasi.

Setelah sampai di sekolah, Susan langsung turun mobil, lalu pergi tanpa menoleh ke belakang.

Di dalam mobil, telepon Ryan berdering.

Itu adalah telepon dari Yunda.

"Ryan, apa kamu sekarang sudah merasa baikan?"

Ryan menjawab dengan gemaman rendah.

Sejenak kemudian, Yunda berbicara dengan suara pelan, seperti sedikit malu.

"Ryan, kenapa semalam kamu nggak mau aku membantu? Aku tahu kamu menyayangiku, tapi aku bersedia …."

"Yunda." Ryan memotong kata-katanya sambil mendesah pelan. "Jangan memikirkan hal seperti itu."

Yunda menutup mulutnya.

Setelah beberapa saat, dia baru bertanya, "Ryan, kenapa hari ini kamu mengantar Nona Susan ke sekolah? Apa yang kalian bicarakan?"

Ryan menjawab singkat, "Nggak ada."

Yunda tiba-tiba berkata, "Ryan, soal kamu yang diberi obat, kamu nggak akan curiga padaku, 'kan?"

Setelah terdiam sejenak, suara Ryan yang lembut terdengar. "Nggak, kamu tenang saja."

Yunda akhirnya tersenyum lega. "Kalau begitu, aku bisa merasa tenang. Aku akan menunggumu pulang."

Ryan menjawab dengan gumaman singkat, lalu menutup telepon.

Ketika melihat ke arah gerbang sekolah, sosok Susan sudah lama menghilang dalam kerumunan.

Berkat Feny, Susan di sekolah tidak populer, bahkan dikucilkan.

Ini adalah sekolah elit yang berisi anak-anak keluarga kaya yang dimanja. Kota ini juga dipimpin Keluarga Sutedja, jadi tentu ada sekelompok orang ini akan mengikuti Feny.

Bagaimanapun juga, Feny adalah putri sulung Keluarga Sutedja yang sesungguhnya.

Begitu masuk kelas, anak buah Feny langsung menyindir, "Wah, bau apa ini? Bau sekali. Jangan-jangan ada orang beberapa hari nggak mandi, lalu bermain di tempat sampah?"

Para siswa di sekitar tertawa terbahak-bahak. Tatapan mengejek dan merendahkan mereka tertuju pada Susan.

Susan berjalan melewati mereka tanpa mengubah ekspresinya. Dia juga menendang kaki seorang siswa yang "tidak sengaja" terulur di lorong. Kemudian, Susan duduk dengan tenang di tempat duduknya.

Feny menjadi kesal melihat sikap Susan.

Feny berdiri dengan sikap penuh wibawa, membawa anak buahnya ke meja Susan, lalu menendang meja Susan dengan satu kaki hingga roboh.

Susan mundur tepat waktu, jadi dia tidak sampai tertimpa meja.

Dia mengangkat pandangannya dengan dingin. "Apa yang kamu lakukan?"

Feny tiba-tiba tersenyum. "Apa yang aku lakukan? Tentu saja mengungkapkan orang nggak tahu malu sepertimu."

Feny meninggikan suara untuk menarik perhatian semua orang di kelas.

"Semuanya, dengar baik-baik! Susan yang nggak tahu malu memberi obat perangsang pada kakakku, Ryan, ingin tidur dengannya!"

"Seorang siswi SMA melakukan hal seperti ini. Sungguh rendahan! Untung saja kakakku dan pacarnya pintar, jadi mereka nggak terjebak rencananya!"

"Dia ini adalah perebut kekasih orang lain yang nggak tahu malu."

Kelas langsung menjadi gempar. Semua orang melihat Susan dengan tatapan terkejut sekaligus marah. Intinya, tatapan mereka seperti sedang melihat sampah.

Susan tidak mungkin membiarkan Feny memfitnah dirinya seperti itu. Jadi, dia ikut bangkit berdiri.

Susan lebih tinggi dari Feny, jadi dia menunduk menatapnya.

Tatapannya dingin, sementara sudut mulut terkatup rapat.

"Pertama, bukan aku yang memberi obat pada Ryan. Aku juga termasuk korban."

"Kedua, Ryan saja belum menyimpulkan apa pun. Apa hakmu menyebarkan rumor di sini?"

"Ketiga, kamu selalu mengatakan kalau aku nggak tahu malu, kalau aku perebut kekasih orang. Apakah ini kata-kata yang pantas diucapkan seorang siswi SMA?"

Fany tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar kata-kata itu. Dia tak sanggup membalas sepatah kata pun, hingga wajahnya memerah karena amarah.

Ketika Feny melemparkan tas Susan ke tanah dengan suara keras, Susan tidak punya waktu untuk bereaksi.

Satu detik kemudian, Susan langsung berjongkok untuk mengambil tasnya. Susan mengeluarkan cincin batu alam berkualitas rendah dari sekat tas sekolahnya dengan tangan gemetaran.

Susan memegang cincin batu alam dan tali merah di tangannya. Kedua tangannya tampak gemetaran.

Cincin batu alamnya pecah.

Cincin batu alam yang ditinggalkan ayahnya untuk Susan sudah pecah.

Otak Susan menjadi kosong.

Tawa Feny dan teman-teman sekelasnya terdengar di sekelilingnya.

"Cincin batu alam ini tampak nggak berharga, tapi Susan begitu menyayanginya. Dia memang orang miskin."

"Susan hanyalah seekor anjing peliharaan di rumahku, tapi dia benar-benar menganggap dirinya hebat."

Setelah Susan tersadar, dia langsung menerjang Feny. Pukulan demi pukulan menghantam wajah Feny.

Ryan, Yunda, serta Wirda datang dengan sangat cepat. Sekelompok besar siswa yang datang untuk menonton drama menghalangi di depan ruang kepala sekolah, berusaha mengulurkan kepala untuk melihat ke dalam.

Feny menangis sampai matanya memerah. Pipinya juga penuh dengan bekas merah yang ditinggalkan Susan.

Susan berdiri di depan kepala sekolah sambil menggenggam cincin batu alam itu dengan erat di tangannya.

Begitu Ryan dan Yunda datang, mereka langsung berjalan ke samping Feny.

Yunda menatap wajah Feny dengan kasihan, lalu memeluk Feny dengan penuh kasih sayang.

"Bagaimana bisa pertengkaran ini terjadi?" tanya Yunda.

Ryan sedikit mengerutkan kening. Tatapan tajam dan dinginnya tiba-tiba terarah pada punggung Susan yang keras kepala.

"Susan." Suara Ryan terdengar dingin dan berwibawa, "Minta maaf pada Feny."

Susan sudah menduga hal ini.

Sebelum Ryan datang, wali kelas sudah menambah-nambahkan cerita yang dia sampaikan pada Ryan. Dia sudah menghilangkan banyak cerita yang merugikan Feny.

Intinya, mereka menggambarkan Susan sebagai penjahat yang tidak termaafkan.

Susan menegakkan punggungnya, lalu berkata, "Aku nggak akan meminta maaf. Aku nggak salah."

Wali kelas berkata dengan nada dingin, "Pak Ryan, kami sudah nggak bisa mendidik anak ini. Banyak siswa yang melihat, tapi dia masih berani menyerang Feny."

Nada Ryan menjadi makin serius, "Susan, sampai kapan kamu akan terus membuat masalah?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 100

    Satu-satunya perbedaan adalah Alex, sepertinya Susan tidak pernah melihatnya di kawanan Sherra sebelumnya.Namun, Susan tidak ambil pusing dan bertanya dengan santai, "Kamu lagi kerja paruh waktu? Berapa gajimu per hari?"Alex menjawab sambil tersenyum puas, "Keluarga Sutedja dan para tamu ini sangat murah hati. Uang tips saja sudah dua juta lebih."Mata Susan sontak terbelalak. "Berapa? Dua juta?"Alex mengacungkan satu jari dan menggoyangkannya, lalu mengacungkan beberapa jarinya lagi."Enam juta lebih."Susan tiba-tiba merasa makanan penutup ini tidak terasa enak lagi.Dia bahkan ingin menemui Ryan sekarang juga dan meminta pria itu mempekerjakannya sebagai pelayan.Alex melirik ke kedua sisi dan berbisik dengan tergesa-gesa, "Sudah dulu ya, aku harus pergi bekerja."Susan mengangguk dengan perasaan kehilangan.Setelah Susan menundukkan kepalanya, suara langkah kaki yang mantap dan familier pu perlahan terdengar mendekatinya.Susan kenal betul suara langkah ini sampai-sampai dia sud

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 99

    Pak Firman yang sedari tadi terdiam, lalu berjalan menghampiri dan menatap Susan dengan sayu. Suaranya terdengar tua, tetapi sangat mengintimidasi."Kamu harus tetap di sini. Aku nggak mengizinkanmu pergi."Susan pun tersenyum kecil. "Kenapa? Sekarang rumah Keluarga Sutedja sudah jadi kapal bajak laut? Bisa masuk nggak bisa keluar?"Feny pun berkata dengan kesal, "Kakek, kenapa memintanya tetap di sini? Dia 'kan bukan anggota Keluarga Sutedja!"Pak Firman tidak berkata apa-apa. Dia menatap Susan dengan sorot mendalam selama beberapa detik, lalu berbalik badan dan berjalan pergi.Si kepala pelayan yang berada di belakang melangkah maju dengan wajah datar tanpa ekspresi. Dia berkata dengan nada seperti pebisnis yang tidak menerima penolakan, "Nona Susan, silakan kembali ke kamar Nona dan tunggu di sana."Susan menatap para pelayan dari rumah Keluarga Sutedja yang perlahan-lahan mengelilinginya, ekspresinya berubah menjadi dingin.Ketika berbalik hendak pergi, Susan mendengar beberapa wan

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 98

    Susan mengangkat tangannya dan meletakkan jemarinya di atas tuts piano.Begitu jemari Susan menekan tuts piano, suara piano yang merdu segera menyebar."Kerinduan" adalah lagu yang diciptakan Maria sebelum ajal menjemputnya. Lagu ini mengungkapkan kerinduan untuk keluar dari pegunungan, kerinduan untuk melintasi hutan, kerinduan akan kebebasan dan kerinduan akan segala hal yang indah.Maria memang terlahir dengan tidak beruntung, tetapi dia adalah sosok yang kuat.Maria tidak bergantung pada cinta ataupun pria dan hanya bergantung pada dirinya sendiri.Lagu ini bukan tentang kerinduan akan cinta.Lagu plagiat karya Yunda, "Cinta Asmara", hanya memuji cinta secara dangkal dan tidak benar-benar menyampaikan apa yang sebenarnya Maria maksud. Itu sebabnya Yunda tidak dapat memainkan melodi yang seharusnya dimainkan dalam lagu "Kerinduan".Melodi lagu "Kerinduan" bukanlah sesuatu yang sentimental, melainkan penuh gairah dan emosional.Susan menarik napas dalam-dalam, jari-jarinya terus berg

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 97

    Sorot tatapan Ryan tampak berkecamuk, pupil matanya yang gelap itu terlihat tajam. "Kok belum ganti baju?"Semua orang yang berkumpul di rumah Keluarga Sutedja adalah pejabat tinggi dan orang kaya, mereka semua tumbuh dalam kekayaan yang berlimpah. Mereka selalu memandang rendah Susan, si putri sopir yang diadopsi oleh Keluarga Sutedja.Yang namanya adopsi tetaplah adopsi. Sedekat apa pun Keluarga Sutedja dengan Susan, tetap saja Susan bukanlah putri kandung mereka.Selain itu, semua orang tahu bahwa Pak Firman mengusir Susan dari Keluarga Sutedja. Mereka semua juga tahu bagaimana sikap Pak Firman, jadi mereka makin meremehkan Susan.Bahkan ada orang yang datang ke hadapan Yunda dan membisikkan kata-kata yang dapat didengar semua orang."Nona Yunda, kamu harus waspada terhadap Susan. Sudah pasti dia nggak ganti pakai gaun karena ingin terlihat mencolok. Dia pasti sengaja mau menarik perhatian.""Iya, sebelumnya juga Susan berani menuduhmu plagiat. Itu berarti dia punya niat jahat terha

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 96

    Susan pun menutup tirai dan terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk pergi sebelum pesta ulang tahun selesai.Susan memanfaatkan kesempatan saat tidak ada orang di sekitar untuk diam-diam turun dan bersembunyi di sudut.Siapa sangka, orang yang seharusnya berada di halaman malah masuk.Susan tidak mengerti apa yang sedang terjadi, jadi dia bersembunyi di sudut dan diam-diam mengintip keluar.Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Yunda duduk di kursi piano di sudut ruang tamu dan membuka tutup piano di tengah sanjungan semua orang.Yunda pun berkata dengan lembut, "Karena kalian semua ingin lihat, izinkan aku memainkan lagu 'Cinta Asmara' untuk kalian semua."Sambil berbicara, Yunda menatap Ryan dengan pipi yang merona merah. Sorot tatapannya tampak sangat mendamba dan malu-malu."Lagu 'Cinta Asmara' ini juga kupersembahkan untuk Ryan."Susan melihat Ryan tersenyum kecil, sorot tatapan dingin dan tajam pria itu tampak sedikit melembut.Semua orang menatap kedua sejoli ini dengan sorot

  • Kulepaskan Suami Berengsekku   Bab 95

    Sisil terkekeh pelan dengan sorot tatapan penuh penghinaan, tetapi tetap menyunggingkan seulas senyuman sopan."Memang dia ini anak dari keluarga kelas bawah. Itu hanya uang sepuluh miliar, tapi sudah segelisah dan semarah itu." Sisil tersenyum pada Yunda dan menghela napas. "Memang sudah benar mengusirnya keluar dari Keluarga Sutedja."Setelah itu, Sisil mengangkat dagunya dengan arogan dan mencibir."Seandainya saja kamu sepersepuluhnya Yunda dalam hal kebijaksanaan dan kepekaan, kamu nggak perlu pindah ke kontrakan kumuh itu."Victor yang wajahnya datar tanpa ekspresi pun mengangkat pandangannya dan menatap Susan dengan dingin sambil mengernyit."Nggak mungkin Keluarga Sutedja berutang uang sekecil itu padamu. Nggak usah bersikap picik di depan banyak orang. Bikin malu."Susan mengangguk-angguk seolah setuju dengan ucapan mereka.Lalu, Susan tersenyum dan berkata, "Karena ini nominal kecil buat kalian, transfer saja sekarang. Uang itu akan masuk ke rekeningku hanya dalam beberapa de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status