Para generasi muda Alam Langit Berbintang berdiri diam membatu. Tidak ada yang berani bersorak, tidak ada yang mengangkat suara, bahkan sekadar menunjukkan isyarat kemenangan pun tak satu pun yang berani lakukan. Padahal di lubuk hati mereka, banyak yang memendam kebencian terhadap Xiao Rui. Banyak yang pernah ditekan, dipermalukan, atau diremehkan olehnya. Namun, mereka tidak bodoh. Mereka tahu, meskipun Xiao Rui telah kalah telak dan dipermalukan di depan banyak mata, dia tetaplah anggota inti Klan Xiao, di balik status itu, ada kekuatan dan pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Jika mereka bersorak, jika ada yang menyuarakan kemenangan Xiao Tian, itu sama saja dengan menginjak harga diri Klan Xiao inti di hadapan dunia. Konsekuensinya bukan hanya kematian mereka sendiri. Tapi juga kehancuran kekuatan yang mendukung mereka. Marga, sekte, atau fraksi mana pun yang berani menunjukkan simpati terang-terangan pada Xiao Tian, akan ikut dihancurkan dari akar. Di tengah kerumunan yang te
Ketika suasana masih berada dalam ketegangan, tanpa peringatan, seluruh dunia Warisan Langit Berbintang bergetar hebat. Tanah seperti meraung dari dalam perutnya sendiri. Suara gemuruh datang dari segala penjuru, menghantam telinga seperti ribuan kilat yang mengamuk serentak. Angin yang sebelumnya diam mulai menderu, tidak lagi membawa kesejukan, tapi membelah udara dengan keras, mencabik-cabik langit yang mulai berubah warna. Tanah berguncang seperti raksasa sedang menggeliat di bawahnya. Retakan besar menjalar dari ujung lembah hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang, mengguncang kestabilan medan yang semula tampak abadi. Udara berubah panas, menusuk seperti jarum tajam yang mengiris paru-paru. Setiap hembusan membawa tekanan, bukan dari teknik atau kekuatan seseorang, tapi dari sesuatu yang lebih tinggi. Sesuatu yang seolah berasal dari kehendak langit itu sendiri. Awan berkumpul dalam pusaran gelap di langit. Warnanya pekat, tidak seperti mendung biasa, melainkan seperti
Jeritan yang keluar bukan teriakan luka. Tapi jeritan jiwa. Teriakan dari seseorang yang merasakan seluruh tubuh dan kesadarannya dihancurkan sekaligus. Semua wajah berubah pucat. Tubuh pemuda itu terpental keluar dari dalam kabut. Tubuhnya tidak lagi utuh. Luka-luka bakar dan sayatan menutupi hampir seluruh kulitnya. Dagingnya mengelupas. Tulang-tulangnya terlihat di banyak bagian. Matanya kehilangan fokus. Auranya remuk. Tubuhnya menghantam tanah dan memantul sekali sebelum tak bergerak, hanya terengah dengan nafas tersisa. Dengan sisa tenaga terakhir, dia mencoba bicara. Suaranya serak, hampir tidak terdengar, namun cukup kuat untuk membuat semua orang menahan napas. “Jangan masuk ke Gerbang Kematian… Itu adalah api penyucian. Ada banyak iblis di dalamnya…” Tangannya terangkat, menunjuk ke arah gerbang emas. Ia menyeret tubuhnya ke arah sana, berusaha bangkit. Namun belum sempat tubuhnya menyentuh kabut cahaya, sebuah lapisan tak terlihat menolak kehadirannya. BUUK! Tubuhny
“Nona muda, jangan mengambil risiko sebesar itu. Lebih baik masuk ke gerbang 'kehidupan'. Sudah terbukti aman. Warisan Langit Berbintang ini terlalu langka, bahkan dalam dua ribu tahun belum tentu muncul sekali. Jika disia-siakan, tidak akan ada kesempatan kedua.” Nada suaranya menggambarkan kepedulian yang tulus. Dia bukan hanya sekadar bawahan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berani menunjukkan keberanian untuk menegur dalam suasana mencekam seperti ini. Namun Xiao Lian hanya menggeleng perlahan. Tidak ada keraguan dalam matanya. “Kalian tidak perlu khawatir. Jika aku gagal, itu berarti memang aku belum layak. Aku tidak akan menyesalinya.” Suaranya mengandung ketegasan yang tidak memberi ruang untuk perdebatan. Sebelum siapa pun sempat menjawab, tubuhnya telah bergerak. Gaunnya berkibar lembut, rambutnya melayang ke belakang, dan aura di sekelilingnya menyatu dengan angin saat dia terbang lurus ke arah gerbang bertuliskan 'kematian'. Semua orang menahan napas
Beberapa saat kemudian, gerbang bertuliskan 'kehidupan' mulai bergetar perlahan. Dari balik cahaya putih keemasan yang mengalir seperti air hidup, sosok-sosok mulai muncul satu per satu. Anggota Klan Xiao cabang keluar dari dalam gerbang, sebagian besar dalam kondisi utuh. Namun tak satu pun dari mereka yang menunjukkan wajah puas. Tidak ada ekspresi kemenangan atau kelegaan. Mata-mata mereka justru memandang jauh ke arah gerbang satunya—'kematian'—dengan sorot penuh kekhawatiran. Hening menggantung di wajah mereka, dan dalam hembusan angin yang membawa keharuman suci, perasaan cemas menyelubungi mereka. Di sisi lain, Bai Ruochen yang berdiri di antara kelompok jenius utama memperhatikan gerak-gerik mereka. Ia menyipitkan mata, lalu menatap pemuda bertubuh tegap yang mengenakan lencana Paviliun Bayangan Naga Abadi. "Long Hotian, apakah Xiao Lian memasuki gerbang kematian dan gagal keluar?" tanyanya perlahan, tapi nada suaranya jelas membawa tekanan yang sulit disembunyikan. Long H
Ketika langkah kaki Xiao Lian belum sepenuhnya stabil di antara kebangkitannya, saat napasnya masih menyatu dengan aura dunia keemasan itu, cahaya dari gerbang ‘kematian’ kembali bergolak hebat. BUZZ— Guncangan kuat menyapu daratan emas. Udara yang semula tenang kembali terguncang oleh gelombang energi yang muncul dari gerbang kelam yang sebelumnya telah menerima Xiao Lian. Kini, dengan pusaran cahaya pekat bercampur sinar ilahi, tiga sosok muncul dari dalamnya. Xiao Rui, Xiao Zimo, dan Xiao Yue. Namun, pemandangan yang menyertai kedatangan mereka jauh berbeda dari kemunculan Xiao Lian. Tidak ada ketenangan, tidak ada kehormatan, yang tampak hanya hasil dari sebuah perjalanan melewati neraka yang tersembunyi dalam gerbang itu. Xiao Rui muncul dalam kondisi mengenaskan. Jubah perangnya tercabik, tersobek di berbagai tempat hingga memperlihatkan kulit yang membiru dan berdarah. Tubuhnya penuh luka memar, goresan dalam, dan nafasnya terputus-putus seperti seseorang yang baru saja ny
Cahaya emas menyatu dengannya. Bukan hanya melingkupi, tapi menyerap. Setiap helai rambutnya bersinar lembut. Setiap pori tubuhnya mengisap kekuatan ilahi yang mengalir dari seluruh penjuru dunia warisan. Tidak ada yang bisa menolak kenyataan itu—bahwa dunia ini sedang memberikan bagian terdalamnya kepada Xiao Tian. Fenomena ini berbeda. Jika sebelumnya sinar emas hanya memperbaiki dan sedikit memperkuat mereka yang keluar dari gerbang, maka kini dunia warisan itu menyerahkan esensinya. Seperti pengakuan tertinggi. Seperti penghormatan mutlak. BOOM— Ledakan aura terjadi. Tapi bukan aura yang liar, melainkan ledakan dalam yang memadatkan dunia sekitarnya. Xiao Tian membuka matanya. Cahaya tajam muncul sesaat, melesat bagaikan kilat, sebelum menghilang. Dia menggenggam telapak tangannya. Rasanya seperti menggenggam dunia. "Hanya dengan berdiri di sini, aku membuat dua terobosan sekaligus," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Bibirnya mengulas senyum tipis
Tak satu pun yang bergerak. Tak satu pun yang berbicara. Semua orang kini menatap tiang emas bukan dengan rasa kagum belaka, tetapi dengan hormat. Dengan kesadaran. Bahwa di hadapan mereka berdiri bukan sekadar simbol keabadian, melainkan jalan menuju takdir sejati. Jalan yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang siap mempertaruhkan segalanya—termasuk harga diri dan keyakinan diri. Tatapan Xiao Tian tetap tenang. Tapi semua orang bisa melihat, bahwa dalam keheningan itu, cahaya dalam matanya menyala. Tidak ada sorak-sorai. Tidak ada komentar. Hanya ketegangan yang menebal seiring dengan kesadaran bahwa ujian sesungguhnya baru saja dimulai. Namun, sebelum ada yang bergerak maju, suara sarkastik memecah keheningan. "Kalian bisa mengukir nama terlebih dahulu. Anggap saja ini hadiah untuk kalian yang berasal dari alam rendah," ucap Xiao Rui dengan nada sinis. Tapi suara itu tak lagi membawa bobot seperti sebelumnya. Bahkan ejekan itu terasa hambar. Kepongahan dalam suaranya sudah terkik
Di sisi lain, di wilayah generasi tua, situasi jauh lebih tegang. Di sebuah dataran yang berbeda dari lahar sebelumnya, kekuatan yang saling berhadapan sudah terkumpul dalam formasi penuh. Pemimpin Paviliun Gerbang Kematian berdiri di garis depan, diapit oleh Pemimpin Rumah Suci Matahari Hitam dan Rumah Suci Langit Berdarah. Di belakang mereka, para tetua berdiri sejajar, auranya menggelegar. Mereka mengepung dua kelompok kecil: Pemilik Villa Hati Seribu Bintang dan Pemimpin Paviliun Bayangan Naga Abadi, bersama para tetua mereka yang terlihat jauh lebih sedikit. Gu Yang, Pemimpin Paviliun Gerbang Kematian, melangkah maju, senyum licik mengembang di wajahnya. “Gu Yang, apa maksudnya ini?” tanya Pemimpin Paviliun Bayangan Naga Abadi, suaranya tenang tapi tegas. Wajahnya tidak menunjukkan kepanikan, sebaliknya sangat tenang, seolah ia telah memperkirakan semua ini sejak awal. Gu Yang tertawa panjang. “Hahaha, orang tua... kalian telah hidup terlalu lama. Daripada menjadi makhluk tua
Di luar, tak satu pun tahu apa yang sedang terjadi. Mereka tidak memahami kekuatan itu, tidak mengenal kemampuan melahap selevel ini. Mereka hanya bisa menyaksikan monster darah sebesar gunung itu perlahan memudar—dari kokoh, menjadi transparan, lalu hancur menjadi aliran energi yang tersedot ke dalam cincin Xiao Tian. BAANG!!! Monster darah itu akhirnya meledak. Energinya terserap sepenuhnya ke dalam cincin Xiao Tian. Di saat yang sama— PLOF! PLOF! PLOF! Neo Jhinyu, Wong Hai, dan Xi Wangmu memuntahkan darah segar. Wajah mereka kini benar-benar seperti mayat hidup. Daging mereka menghilang. Hanya kulit keriput yang menempel pada tulang. Mata mereka nyaris keluar dari rongganya. Ketiganya menatap Xiao Tian dengan mata membelalak, tubuh mereka gemetar hebat. Rasa takut tak lagi bisa disembunyikan. Nafas mereka bergetar, dan langkah pun tak bisa lagi diambil. Teknik rahasia mereka—teknik yang telah mereka gunakan untuk membantai banyak kekuatan besar, bahkan menghancurkan beberap
Xiao Tian menatap monster darah itu tanpa berkedip. Tatapannya dingin, namun dalam hatinya bergemuruh rasa ingin membantai. Ia sangat ingin mengeluarkan pedang karat misterius yang selama ini setia bersamanya. Energi pekat dari monster darah itu adalah santapan sempurna bagi artefak itu. Namun, ia menahan keinginannya. Karena dia tahu, sekali pedang itu keluar, maka penyamarannya akan berakhir. Semua orang akan langsung mengenalinya, sebab pedang karat misterius bukanlah artefak biasa. Ribuan pasang mata sudah mengenalnya sebagai tanda tangan Xiao Tian. Dalam hati, dia berkomunikasi cepat. “Roh tua, tenang saja. Walaupun kamu tidak aku keluarkan, aku akan memastikan monster darah itu menjadi makananmu!” Jawaban belum terdengar, namun dari dalam cincin dewa, aura pedang karat misterius mulai bergemuruh antusias, seolah-olah mengerti maksud tuannya. Cincin itu bergetar ringan, mengeluarkan denyut lembut yang tak terdengar oleh siapapun kecuali Xiao Tian. Di sisi lain, Neo Jhinyu, W
Neo Jhinyu mencoba bangkit dengan membalas. Giginya bergemeletuk menahan emosi yang berbaur dengan rasa malu. “Sebenarnya siapa kamu? Aku tidak percaya kamu adalah anggota Villa Hati Seribu Bintang!” Xiao Tian mengangkat dagunya sedikit, mendengus dingin. Dalam sikapnya tidak ada tergesa. Suaranya tetap tenang, seolah ia adalah hakim yang akan memutuskan akhir hidup di hadapannya. “Siapa aku itu bukan urusanmu. Hal yang perlu kamu tahu adalah, tempat ini akan menjadi kuburanmu.” Mata Neo Jhinyu menajam. Ia tak bisa lagi berpura-pura tenang. Sorot matanya bergetar hebat, wajahnya memucat, tapi dari mulutnya meluncur teriakan terpaksa. “Sial, karena kamu menolak untuk mengampuni kami, maka walaupun kami mati, kami akan menyeretmu mati bersama!” Suara teriakannya menggema. Ia menatap Wong Hai dan Xi Wangmu, memberi aba-aba dengan pandangan yang sudah penuh keputusasaan. “Gabungkan teknik terkuat kita. Biarkan bajingan itu mati bersama kita!” Tanpa ragu, ketiganya langsung membaka
Dengan tenang, Xiao Tian mengangkat tangannya. Dari dalam tubuhnya, kilatan petir melingkar dan membentuk sebuah cambuk panjang yang mendesis ganas, memancarkan tekanan seperti binatang buas yang baru dibangkitkan dari tidur panjang. Cambuk itu tidak hanya bergerak, tapi mengaum—menggigilkan tulang-tulang siapa pun yang mendengarnya. Lalu, dia bergerak. Bagaikan singa kelaparan yang menerkam kawanan tikus. Slash! Slash! “EAAAAAAHHHHH!!” “EAAAAAAHHHHH!!!” “EAAAAAAHHHHH!!!” Jeritan demi jeritan mengoyak udara panas. Setiap kali cambuk petir menghantam tubuh lawan, bukan hanya luka yang tercipta—tetapi ledakan. Tubuh-tubuh meledak menjadi kabut darah, daging mencair, tulang hancur, dan jiwa terlempar sebelum lenyap. Tanah bergetar, udara terasa sesak karena aroma darah yang membumbung tinggi. Darah menyembur ke segala arah. Suara cambuk dan jeritan kematian membentuk orkestra kematian yang tidak bisa dilupakan oleh siapa pun yang mendengarnya. Bahkan para anggota Paviliun Bayang
Wajah Long Hotian menjadi sangat buruk. Ia tahu, kekuatan seperti ini bukan hal yang bisa mereka lawan. Ia mungkin bisa melarikan diri jika ingin, tapi anggotanya—termasuk Bai Ruochen—tidak akan selamat. Skenario ini adalah jebakan yang sempurna. Perangkap yang telah disusun dengan rapi, dan kini mulai dijalankan. Di tengah tekanan hebat itu, saat semua orang menahan nafas, dan sebagian mulai dilanda kepanikan— Xiao Tian melangkah maju. Langkahnya tenang, bahkan ringan. Wajahnya datar, tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun. Setiap gerakannya tidak menciptakan gelombang energi besar, namun diam-diam menyalakan perubahan atmosfer. Seakan ruang mengenali bahwa sesuatu yang asing telah bergerak. “Akhirnya… kebetulan aku sudah pegal tidak bertarung. Kalian cukup untuk sedikit merentangkan otot-otot ku!” Semua pandangan tertuju padanya. Para anggota ketiga kekuatan besar mengalihkan fokus mereka. Namun alih-alih waspada, mereka justru tertawa keras—tawa mengejek, meremehkan, seolah k
Dataran tandus yang awalnya hening berguncang hebat, seperti ditarik dari inti bumi oleh kekuatan yang tak terlihat. Suara retakan menyebar di segala arah, angin berdesir memutar liar, menciptakan pusaran energi yang mencakar langit. Dua pusaran raksasa terbentuk dengan sempurna tepat di tengah-tengah dataran. Pusaran itu berputar perlahan, namun menyimpan kekuatan luar biasa yang seakan mampu menelan seluruh langit di atasnya. Salah satu pusaran memancarkan cahaya ungu keemasan, sinarnya berdenyut pelan seperti napas makhluk hidup. Sementara yang satu lagi menyala merah darah bercampur hitam pekat, menciptakan bayangan kelam yang menyebar hingga ke kaki para pengamat. Pemilik Villa langsung berseru lantang, suaranya bergema kuat di seluruh penjuru area. Nada bicaranya tidak terburu-buru, namun penuh otoritas. “Kalian generasi muda, memasuki pusaran sebelah kiri! Sedangkan yang berusia di atas empat puluh tahun, kalian memasuki pusaran sebelah kanan! Generasi muda dan generasi tua
“Kita harus bergegas. Paviliun Bayangan Naga Abadi sudah menunggu kita terlalu lama. Mereka akan ikut masuk ke area terlarang,” ucap Pemilik Villa dengan suara penuh wibawa. Salah satu Tetua bertanya pelan, nada suaranya hampir tenggelam di tengah gemuruh siaga kapal perang. “Tuan, apakah itu tidak menjadi pemborosan?” “Tidak. Paviliun Bayangan Naga Abadi ikut berkontribusi untuk merawat area terlarang ini. Lagipula lokasinya berada di perbatasan antara Villa Hati Seribu Bintang dan Paviliun Bayangan Naga Abadi. Jadi itu adalah hal wajar untuk berbagi kekayaan.” Jawaban itu membuat semua Tetua langsung diam. Tidak ada lagi pertanyaan. Semua langsung menaiki kapal perang. Satu per satu, formasi pelindung diaktifkan dan energi mengalir deras, menyelimuti seluruh badan kapal dengan lapisan perlindungan rapat. Kapal itu melesat menembus langit, meninggalkan jejak cahaya panjang di belakangnya. Sepanjang perjalanan, suasana dalam kapal dipenuhi bisik-bisik dan pandangan penuh rasa ingi
Xiao Tian mengikutinya dari belakang, langkahnya mantap namun tanpa suara, dan ketika burung raksasa itu terbang, pemandangan megah Villa Hati Seribu Bintang terbentang luas di bawah mereka. Gunung-gunung yang menembus awan jumlahnya tak terhitung. Ada air terjun spiritual yang jatuh dari puncak-puncak suci, padang rumput berbunga, hingga formasi-formasi terapung yang berkilauan di langit. Tiang-tiang cahaya spiritual menghubungkan langit dan bumi, dan setiap sudut wilayah itu menunjukkan kemegahan sebuah kekuatan yang telah mengakar selama ribuan tahun. Semua pemandangan ini tidak bisa dilihat oleh orang luar, hanya mereka yang berada di lingkaran inti Villa yang bisa menyaksikannya. Dari kejauhan, beberapa murid dan Tetua yang sedang beraktivitas di langit dan daratan melihat Bai Ruochen terbang bersama seseorang. Tatapan mereka langsung tertuju ke pemuda asing yang duduk di belakang Putri Suci. “Siapa pemuda itu? Beruntung sekali dia bisa duduk di belakang Putri Suci sambil menu