Home / Fantasi / Kultivator Jiwa Modern / Bab 2: Pertarungan Ketenangan Melawan Teror (revisi)

Share

Bab 2: Pertarungan Ketenangan Melawan Teror (revisi)

Author: Vanhelsing83
last update Last Updated: 2025-10-05 17:41:28

Langit malam di atas Akademi Cahaya Jiwa tampak berat, seolah menyimpan badai yang tak mau turun. Di depan gerbang akademi, berdiri sosok ramping dengan mata jernih Bara. Angin malam menampar wajahnya pelan, membawa aroma logam dari pagar besi dan debu spiritual yang belum mengendap.

Dari kegelapan, sosok besar berkerudung hitam melangkah keluar. Napasnya berat, dan aura yang dipancarkannya seperti kabut dingin yang menghisap nyali siapa pun di dekatnya.

Tuan Black. Master Kegelapan Tier 8.

Penguasa rasa takut. Pemangsa jiwa yang rapuh.

Namun di hadapannya, hanya ada Bara siswa Tier 1, tanpa senjata, tanpa aura yang menonjol… hanya senyum tipis di wajahnya.

“Kau seharusnya gemetar, Nak,” desis Tuan Black. Suaranya seperti batu digerus logam. “Aku adalah kegelapan yang menelan jiwa. Mengapa jantungmu masih berdetak tenang?”

Bara tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap lurus, memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam perlahan.

Saat membuka mata, suaranya keluar lembut namun mantap.

> “Tuan, aku tidak bisa mengendalikan siapa dirimu atau apa yang akan kau lakukan. Tapi aku bisa mengendalikan diriku sendiri. Dan aku memilih… untuk tidak takut.”

Aura hitam di sekitar Tuan Black bergetar marah.

“Berani sekali kau, bocah!”

Gelombang tekanan spiritual menghantam Bara seperti badai yang menghantam kaca rapuh.

Namun Bara tidak melawan.

Ia membiarkan energi itu datang seperti angin musim dingin, menusuk, tapi berlalu.

Ia tidak berusaha menolak, hanya menerima, dan membiarkan pikirannya tetap kosong.

Energi hitam itu berputar… tapi kehilangan arah.

Tidak ada ketakutan yang bisa dijadikan pijakan.

Dan dalam sekejap, Energi itu memantul balik, menghantam penggunanya.

Tuan Black mundur setapak. Matanya melebar, tak percaya.

Ia merasakan hawa sejuk merayap ke dadanya sensasi yang baginya jauh lebih menakutkan daripada kematian.

“Kau… makhluk apa kau ini?”

“Aku hanya manusia yang tidak ingin jadi budak emosinya,” jawab Bara dengan lembut. “Kemarahanmu itu milikmu. Aku tak ingin memilikinya.”

Kegelapan di sekitar mereka perlahan menipis.

Tuan Black menatap Bara untuk terakhir kali, lalu menghilang dalam kabut, meninggalkan hawa dingin yang perlahan reda.

Bara menghela napas panjang. Ia tahu… ia tidak mengalahkan Tuan Black. Ia hanya menolak untuk dikalahkan.

Dari kejauhan, dua pasang mata menyaksikan segalanya.

Risa, dengan wajah pucat dan napas memburu, serta Gerry sang Tier 5 arogan yang biasanya tak takut apa pun.

Keduanya terpaku.

“Dia… mengusir Tuan Black tanpa bertarung,” gumam Risa tak percaya.

“Dia… cuma ngomong,” kata Gerry pelan, tapi suaranya gemetar.

Ketika Bara melangkah kembali ke arah mereka, cahaya lampu jalan memantul di matanya yang tenang.

Risa menunduk, menahan air mata.

“Bara… aku takut. Aku bahkan tidak bisa berdiri saat aura itu datang…”

Bara menepuk pundaknya pelan.

“Risa, rasa takut itu bukan musuh. Ia hanya pengingat bahwa kau masih hidup. Tapi jangan biarkan dia jadi pengendali Jiwa-mu.”

Gerry menatap Bara tajam, mencoba menutupi rasa malunya.

> “Kau cuma beruntung, Bara! Kalau Tuan Black benar-benar serius, kau sudah jadi debu!”

Bara tersenyum.

“Mungkin. Tapi kau tahu, Gerry? Orang yang marah saat kalah… justru sedang kalah dua kali.”

Wajah Gerry memerah, Chi nya bergetar tak stabil. Bara tahu, kalau dibiarkan, emosi Gerry bisa membuat jiwanya retak dan itu akan jadi umpan sempurna bagi Master Kegelapan.

Bara mendekat satu langkah.

“Gerry, lakukan apa yang aku bilang. Kita tenangkan Jiwa-mu.”

“Aku nggak butuh..”

“Tutup mulutmu dan dengarkan,” potong Bara lembut tapi tegas. “Ikuti teknik ini: Grounding 5-4-3-2-1.”

Risa menatap bingung, tapi Gerry meski enggan menuruti.

“Sebutkan lima hal yang kamu lihat.”

Gerry mengedarkan pandangan, berbisik, “Gerbang… tanah… pohon… sepatumu… bayangan kita.”

“Bagus. Sekarang empat hal yang kamu sentuh.”

“Jaketku… udara malam… batu di bawahku… dan tanah.”

“Tiga hal yang kamu dengar.”

“Napas… detak jantung… jangkrik.”

“Dua hal yang kamu cium.”

“Tanah basah… dan… parfumku.”

“Satu hal yang kamu cicipi.”

“… ludahku sendiri.”

Seketika, aura panas di tubuh Gerry menghilang. Napasnya teratur. Matanya tenang.

Ia menatap Bara, terkejut.

> “Apa yang kau lakukan padaku?”

“Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya menuntunmu untuk kembali ke masa kini. Ketakutan selalu hidup di masa depan, dan penyesalan di masa lalu. Di saat ini… tidak ada yang perlu ditakuti.”

Gerry terdiam.

Untuk pertama kalinya, kata-kata Bara terasa lebih tajam daripada jurus apa pun.

Keesokan paginya, Tuan Raka memanggil Bara dan Risa ke ruangannya.

Wajah sang instruktur tampak lelah tapi juga penuh rasa ingin tahu.

“Aku menyaksikan semuanya semalam,” katanya pelan. “Kau bukan Tier 1 biasa, Bara. Kau adalah Kultivator Jiwa Tier 2 Akar yang Tenang.”

Ia membuka map dan mengeluarkan dua seragam abu-abu.

“Kalian berdua akan menjalani ujian khusus. Aku ingin kalian menyusup ke Gedung Korporasi Zenith. Di sanalah Master Kegelapan bersembunyi, memakai jas dan dasi.”

Bara dan Risa saling pandang.

“Misi kalian sederhana tapi sulit,” lanjut Tuan Raka. “Kalian akan hidup di antara manusia biasa selama 48 jam. Tidak boleh menggunakan Chi sedikit pun. Kalian akan menghadapi tekanan sosial, manipulasi, dan stres. Kalau emosi kalian goyah… kalian gagal.”

Risa menelan ludah.

“Jadi… ini ujian batin?”

“Bisa dibilang begitu,” jawab Bara sambil tersenyum. “Kita akan melawan musuh yang tak bisa kita pukul.”

“Kau punya filosofi aneh, Bara,” gumam Risa.

“Bukan filosofi. Hanya cara lain untuk tetap waras di dunia yang sibuk.”

Beberapa jam kemudian, saat Bara dan Risa hendak berangkat, Gerry menghadang di gerbang.

Wajahnya tampak canggung, tapi mulutnya tetap sombong.

“Hei, pecundang. Kau yakin bisa bertahan di kota? Dunia nyata nggak seperti Akademi. Orang-orang di luar sana lebih berbahaya dari Master Kegelapan.”

Bara tidak marah. Ia malah mengambil pulpen dan menulis angka kecil di telapak tangan Gerry: 4-7-8.

“Apa ini?”

“Teknik pernapasan. Kalau nanti kamu panik atau marah, tarik napas empat detik, tahan tujuh detik, dan hembuskan delapan detik. Ulangi sampai jiwamu tenang.”

“Hah, aku nggak butuh..”

“Kau butuh,” potong Bara, sambil menepuk pundaknya. “Kau kuat, Gerry. Kau cuma belum tahu caranya berdamai dengan dirimu sendiri.”

Bara dan Risa berjalan pergi meninggalkan akademi, langkah mereka ringan.

Di belakang, Gerry menatap angka di tangannya… lalu menatap langit.

Entah kenapa, malam itu terasa sedikit lebih tenang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 56 – Ketenangan yang Teruji di Atas Rel

    Kereta bergerak perlahan meninggalkan ibu kota. Suara besi beradu dari bawah lantai menggema berirama seperti napas panjang yang menenangkan. Di luar jendela, matahari pagi menyelinap di balik awan tipis, menyoroti hamparan sawah dan bukit jauh yang tertutup kabut. Bara duduk di dekat jendela, matanya menatap keluar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Udara di dalam kabin terasa hangat, namun hatinya dingin bukan karena takut, tapi karena kesadaran baru yang masih belum sempat ia pahami sepenuhnya. Liora duduk berseberangan, menatap Bara dengan tatapan yang sulit ditebak. Risa di sampingnya sibuk memandangi peta digital di tangannya, sementara Gerry bersandar dengan mata setengah terpejam, berusaha pura-pura tidur. Tapi tak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar tenang. “Perjalanan ini... entah kenapa terasa terlalu sunyi,” kata Risa akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh derit roda besi. Bara menoleh perlahan, lalu tersenyum kecil. “Sunyi bukan berarti kosong, R

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 55 – Bayangan Dewan dan Cahaya yang Retak

    Ruang rapat Dewan Tinggi terasa seperti kubah raksasa yang terbuat dari batu hitam dan pantulan cahaya dingin. Tidak ada jendela, hanya pilar-pilar tinggi berukir simbol kuno. Di tengahnya, sepuluh kursi besar tersusun melingkar. Masing-masing diisi oleh wajah tua yang tampak tenang, tapi matanya, semuanya menyimpan perhitungan. Ketua Dewan, seorang lelaki berambut putih bernama Arvian, mengetukkan tongkat kristalnya tiga kali ke lantai. Getarannya membuat seluruh ruangan hening seketika. “Dia berhasil menembus Ujian Jiwa tanpa bantuan eksternal,” ucap Arvian. “Tapi kalian semua tahu apa artinya ini.” Salah satu anggota, perempuan berwajah tajam dari Fraksi Pengendali, menyipitkan mata. “Artinya Bara bukan manusia biasa. Dan setiap orang yang bukan biasa… selalu membawa bencana.” “Berhati-hatilah dengan kata-katamu, Lyssa,” potong Arvian lembut, namun nadanya mengandung ancaman halus. “Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa anak itu memancarkan keseimbangan yang bahkan para

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 54 – Riak di Balik Dewan

    Kabut pagi belum sepenuhnya hilang ketika Kereta Cahaya Jiwa kembali menembus langit ibu kota. Suara dentingan lembut logam bercampur dengan embusan angin yang menusuk telinga. Di dalam gerbong, suasana hening. Tak ada yang bicara sejak mereka meninggalkan Tanjung Rengkah. Risa duduk dengan kepala bersandar di jendela, menatap kosong ke luar. Kael diam sambil membersihkan pedangnya. Gerry memainkan gelang Chi di tangannya tanpa arah, dan Liora… hanya berdiri menatap Bara yang duduk di ujung gerbong, menutup mata seperti sedang bermeditasi. Ketika kereta berhenti di stasiun utama Dewan, Bara membuka mata. Wajahnya tenang, tapi tatapannya dalam. Ia tahu, perjalanan pulang ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih rumit. Mereka disambut oleh penjaga berpakaian hitam di pintu masuk menara. Tak ada senyum, hanya tatapan tajam dan langkah cepat yang mengiringi mereka menuju aula utama. Di dalam, para tetua Dewan sudah menunggu. Kali ini, jumlahnya lebih banyak dari s

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 53 – Panggilan dari Dalam Retakan

    Pagi di Tanjung Rengkah datang dengan warna aneh bukan biru, bukan juga keemasan. Langit memantulkan warna ungu muda, seperti pantulan cahaya dari laut semalam yang masih belum padam. Angin yang seharusnya segar justru membawa hawa lembab, seolah udara itu sendiri menyimpan ingatan dari sesuatu yang baru saja bangun.Bara duduk di tepi tebing, menatap garis laut yang masih berdenyut samar. Matanya kosong, tapi pikirannya penuh. Ia belum bisa melupakan suara yang memanggil namanya semalam. Suara itu tidak asing. Ada nada yang lembut, tapi juga dalam, seperti gema dari dalam dirinya sendiri.Risa datang dengan langkah pelan, membawa dua cangkir teh herbal. “Kau tidak tidur semalaman,” katanya pelan sambil duduk di sampingnya. “Aku lihat lampu di depan rumah masih menyala sampai fajar.”Bara menerima cangkir itu tanpa menoleh. “Sulit tidur ketika laut berbicara.”Risa menatap laut, lalu menunduk. “Aku juga mendengar sesuatu tadi malam. Bukan suara, tapi seperti… bisikan di dalam kepala

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 52 – Tanjung Rengkah

    Udara di luar kereta terasa jauh lebih padat begitu mereka keluar dari lorong cahaya. Langit selatan berwarna abu-abu tua, seolah matahari enggan menampakkan diri. Bara berdiri di peron batu yang ditumbuhi lumut hijau. Di kejauhan, hamparan laut tampak tenang, tapi warnanya bukan biru, melainkan ungu gelap dengan kilatan merah di bawah permukaannya, seperti ada sesuatu yang hidup di dasar air itu.Risa menarik napas pendek. “Tempat ini… aneh banget,” katanya pelan. “Aku bisa ngerasa tekanan Chi nya nggak stabil. Udara di sini kayak berdenyut.”Kael berjongkok, menyentuh tanah. “Benar. Getarannya naik turun. Kalau bukan karena aura gelap, aku bisa kira ini tanah hidup.”Gerry menatap sekeliling dengan mata waspada. “Aku lebih suka berhadapan sama makhluk nyata daripada suasana kayak gini. Ini bikin bulu kuduk berdiri.”Liora berjalan paling depan, langkahnya teratur. “Jangan banyak bicara. Energi kalian bisa memancing resonansi kalau tidak dijaga.”Bara hanya diam, matanya menatap h

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 51 – Ujian Dunia Nyata

    Lorong bawah menara Dewan terasa dingin dan panjang, diterangi oleh nyala batu jiwa yang bergetar lembut di dinding. Bara mengikuti langkah Ketua Dewan tanpa bicara. Suara tongkat sang Ketua menyentuh lantai seperti detak jam yang tak terburu-buru, seolah menghitung waktu yang terus berjalan tanpa peduli siapa pun yang lewat di dalamnya.Udara di bawah tanah terasa berbeda. Ada sesuatu yang berat, campuran antara rahasia dan peringatan. Bara tahu, tempat ini bukan untuk sembarang orang. Setiap langkah menuruni tangga seolah menghapus sedikit dari dirinya yang lama.Ketua Dewan berhenti di depan pintu bundar besar dengan ukiran aneh di permukaannya. Simbol-simbol kuno berputar perlahan, memancarkan cahaya merah samar. Sang Ketua meletakkan tongkatnya di tengah ukiran, dan pintu itu terbuka dengan suara berat, seperti batu yang terbelah oleh waktu.“Masuklah,” ucapnya tenang.Bara melangkah masuk. Ruangan di dalamnya luas, menyerupai ruang peta besar. Di tengahnya, terdapat meja bunda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status