Home / Fantasi / Kultivator Jiwa Modern / Bab 1 — Senyum di Tengah Badai (Revisi)

Share

Kultivator Jiwa Modern
Kultivator Jiwa Modern
Author: Vanhelsing83

Bab 1 — Senyum di Tengah Badai (Revisi)

Author: Vanhelsing83
last update Last Updated: 2025-10-05 17:30:26

BEEP!

Kristal uji di aula Akademi Cahaya Jiwa menyala sebentar lalu meredup. Cahaya kuning pucat berkedip pelan, seolah malu untuk bersinar.

“Tier 1. Bunga Layu,” ucap pengawas datar.

Suasana langsung pecah oleh tawa.

“HAHAHA! Tiga tahun berturut-turut!” seru salah satu murid.

“Dasar pecundang abadi!” tambah yang lain.

Namun di antara ejekan itu, seorang remaja berdiri santai.

Wajahnya tenang. Senyumnya bahkan terlihat tulus, seperti tidak ada yang salah dengan hasil ujiannya.

Dialah Bara, siswa paling aneh di seluruh Akademi Cahaya Jiwa.

Di dunia ini, kekuatan seseorang ditentukan oleh tingkat Chi energi spiritual yang mengalir di tubuh. Semakin tinggi Tier nya, semakin tinggi status sosialnya.

Dan Bara? Tiga tahun di Akademi, tetap Tier 1. Di atas kertas, ia hanyalah sampah sistem.

Tapi tidak bagi dirinya sendiri.

“Lihat dia,” bisik seorang gadis di barisan. “Senyumnya kayak orang yang gak sadar hidupnya hancur.”

“Bukan,” balas temannya. “Dia tahu, tapi gak peduli.”

Gerry, siswa berbakat Tier 5, melangkah mendekat sambil tersenyum sinis.

Tangannya bergetar dengan aura listrik biru. “Bara,” katanya sambil menepuk pundak, “kau tahu gak? Dunia ini bukan tempat untuk orang seperti kau.”

Bara memandangnya dengan tenang. “Mungkin memang bukan,” katanya lembut. “Tapi aku juga gak butuh dunia yang diukur dari amarah.”

“Amarah itu bahan bakar kekuatan!” bentak Gerry. “Tanpa itu, kau gak akan pernah naik level!”

Bara tersenyum kecil. “Lucu juga. Katanya kau jenius, tapi kau masih butuh marah buat merasa kuat?”

Gerry terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa.

Tawa di sekitar mereka pelan-pelan mereda. Semua mata kini tertuju pada dua orang itu, si petir dan si damai.

Setelah ujian berakhir, Bara berjalan ke kelasnya. Meja belajarnya sudah dicorat-coret:

“Bara = Pecundang Abadi.”

Ia hanya menghela napas. Tanpa kata, ia mengambil kain basah dari tasnya dan mulai menghapus tulisan itu. Perlahan. Tenang.

Setiap gerakan seolah jadi meditasi.

Seorang teman, Dika, menghampiri. “Bro, kau gak capek? Kenapa gak lapor aja ke guru?”

Bara tersenyum tanpa menoleh. “Melapor butuh waktu satu jam buat drama dan emosi. Bersihin butuh dua menit. Aku pilih dua menit.”

Dika melongo. “Kau... aneh.”

“Bukan aneh,” Bara menjawab pelan. “Aku cuma hemat energi emosional.”

Pelajaran berikutnya dimulai. Instruktur utama, Tuan Raka, menatap seluruh kelas.

“Hari ini kalian akan buat strategi pertahanan mental dari serangan Chi negatif,” katanya. “Kelompokkan diri kalian.”

Tak ada yang mendekati Bara. Tapi seseorang tiba-tiba melangkah ke arahnya.

Risa, gadis Tier 3 dengan wajah selalu cemas, berdiri kikuk di sampingnya.

“Bara,” katanya lirih, “aku tahu kau aneh, tapi... boleh aku sekelompok denganmu? Aku... gak bisa kendalikan Chi-ku kalau gugup.”

Bara menatapnya dan tersenyum. “Tentu. Aku senang kau jujur.”

Mereka duduk di sudut kelas. Bara menatap Risa sebentar sebelum berkata,

“Masalahmu bukan Chi mu, tapi pikiranmu. Kau memakai 70% energimu untuk melawan ketakutan sendiri.”

Risa menunduk. “Aku... memang sering takut gagal.”

“Tidak apa-apa,” kata Bara lembut. “Yang harus kau pelajari bukan cara melawan rasa takut, tapi cara duduk bersama rasa takut tanpa kehilangan dirimu sendiri.”

Sore itu, mereka bekerja di perpustakaan. Untuk pertama kalinya, Risa tidak merasa sesak.

Bara tak memintanya bermeditasi, hanya memintanya fokus pada setiap kata dalam buku, mengabaikan bisikan di kepalanya.

Di luar, langit berubah abu-abu. Hembusan angin membawa hawa dingin aneh.

Risa menggigil. “Bara... ada sesuatu di luar sana. Energi... gelap.”

Bara menatap ke arah jendela.

Udara bergetar halus.

Ia bisa merasakannya, sebuah kehadiran yang dingin, seperti bayangan yang sedang menunggu seseorang kehilangan kendali.

“Tenanglah,” katanya pada Risa. “Jangan takut. Kegelapan hanya bisa tumbuh di hati yang gelisah.”

Ia menarik napas panjang dan menatap langit yang berawan.

“Sepertinya,” gumamnya pelan, “ujian sebenarnya baru akan dimulai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 56 – Ketenangan yang Teruji di Atas Rel

    Kereta bergerak perlahan meninggalkan ibu kota. Suara besi beradu dari bawah lantai menggema berirama seperti napas panjang yang menenangkan. Di luar jendela, matahari pagi menyelinap di balik awan tipis, menyoroti hamparan sawah dan bukit jauh yang tertutup kabut. Bara duduk di dekat jendela, matanya menatap keluar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Udara di dalam kabin terasa hangat, namun hatinya dingin bukan karena takut, tapi karena kesadaran baru yang masih belum sempat ia pahami sepenuhnya. Liora duduk berseberangan, menatap Bara dengan tatapan yang sulit ditebak. Risa di sampingnya sibuk memandangi peta digital di tangannya, sementara Gerry bersandar dengan mata setengah terpejam, berusaha pura-pura tidur. Tapi tak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar tenang. “Perjalanan ini... entah kenapa terasa terlalu sunyi,” kata Risa akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh derit roda besi. Bara menoleh perlahan, lalu tersenyum kecil. “Sunyi bukan berarti kosong, R

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 55 – Bayangan Dewan dan Cahaya yang Retak

    Ruang rapat Dewan Tinggi terasa seperti kubah raksasa yang terbuat dari batu hitam dan pantulan cahaya dingin. Tidak ada jendela, hanya pilar-pilar tinggi berukir simbol kuno. Di tengahnya, sepuluh kursi besar tersusun melingkar. Masing-masing diisi oleh wajah tua yang tampak tenang, tapi matanya, semuanya menyimpan perhitungan. Ketua Dewan, seorang lelaki berambut putih bernama Arvian, mengetukkan tongkat kristalnya tiga kali ke lantai. Getarannya membuat seluruh ruangan hening seketika. “Dia berhasil menembus Ujian Jiwa tanpa bantuan eksternal,” ucap Arvian. “Tapi kalian semua tahu apa artinya ini.” Salah satu anggota, perempuan berwajah tajam dari Fraksi Pengendali, menyipitkan mata. “Artinya Bara bukan manusia biasa. Dan setiap orang yang bukan biasa… selalu membawa bencana.” “Berhati-hatilah dengan kata-katamu, Lyssa,” potong Arvian lembut, namun nadanya mengandung ancaman halus. “Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa anak itu memancarkan keseimbangan yang bahkan para

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 54 – Riak di Balik Dewan

    Kabut pagi belum sepenuhnya hilang ketika Kereta Cahaya Jiwa kembali menembus langit ibu kota. Suara dentingan lembut logam bercampur dengan embusan angin yang menusuk telinga. Di dalam gerbong, suasana hening. Tak ada yang bicara sejak mereka meninggalkan Tanjung Rengkah. Risa duduk dengan kepala bersandar di jendela, menatap kosong ke luar. Kael diam sambil membersihkan pedangnya. Gerry memainkan gelang Chi di tangannya tanpa arah, dan Liora… hanya berdiri menatap Bara yang duduk di ujung gerbong, menutup mata seperti sedang bermeditasi. Ketika kereta berhenti di stasiun utama Dewan, Bara membuka mata. Wajahnya tenang, tapi tatapannya dalam. Ia tahu, perjalanan pulang ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih rumit. Mereka disambut oleh penjaga berpakaian hitam di pintu masuk menara. Tak ada senyum, hanya tatapan tajam dan langkah cepat yang mengiringi mereka menuju aula utama. Di dalam, para tetua Dewan sudah menunggu. Kali ini, jumlahnya lebih banyak dari s

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 53 – Panggilan dari Dalam Retakan

    Pagi di Tanjung Rengkah datang dengan warna aneh bukan biru, bukan juga keemasan. Langit memantulkan warna ungu muda, seperti pantulan cahaya dari laut semalam yang masih belum padam. Angin yang seharusnya segar justru membawa hawa lembab, seolah udara itu sendiri menyimpan ingatan dari sesuatu yang baru saja bangun.Bara duduk di tepi tebing, menatap garis laut yang masih berdenyut samar. Matanya kosong, tapi pikirannya penuh. Ia belum bisa melupakan suara yang memanggil namanya semalam. Suara itu tidak asing. Ada nada yang lembut, tapi juga dalam, seperti gema dari dalam dirinya sendiri.Risa datang dengan langkah pelan, membawa dua cangkir teh herbal. “Kau tidak tidur semalaman,” katanya pelan sambil duduk di sampingnya. “Aku lihat lampu di depan rumah masih menyala sampai fajar.”Bara menerima cangkir itu tanpa menoleh. “Sulit tidur ketika laut berbicara.”Risa menatap laut, lalu menunduk. “Aku juga mendengar sesuatu tadi malam. Bukan suara, tapi seperti… bisikan di dalam kepala

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 52 – Tanjung Rengkah

    Udara di luar kereta terasa jauh lebih padat begitu mereka keluar dari lorong cahaya. Langit selatan berwarna abu-abu tua, seolah matahari enggan menampakkan diri. Bara berdiri di peron batu yang ditumbuhi lumut hijau. Di kejauhan, hamparan laut tampak tenang, tapi warnanya bukan biru, melainkan ungu gelap dengan kilatan merah di bawah permukaannya, seperti ada sesuatu yang hidup di dasar air itu.Risa menarik napas pendek. “Tempat ini… aneh banget,” katanya pelan. “Aku bisa ngerasa tekanan Chi nya nggak stabil. Udara di sini kayak berdenyut.”Kael berjongkok, menyentuh tanah. “Benar. Getarannya naik turun. Kalau bukan karena aura gelap, aku bisa kira ini tanah hidup.”Gerry menatap sekeliling dengan mata waspada. “Aku lebih suka berhadapan sama makhluk nyata daripada suasana kayak gini. Ini bikin bulu kuduk berdiri.”Liora berjalan paling depan, langkahnya teratur. “Jangan banyak bicara. Energi kalian bisa memancing resonansi kalau tidak dijaga.”Bara hanya diam, matanya menatap h

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 51 – Ujian Dunia Nyata

    Lorong bawah menara Dewan terasa dingin dan panjang, diterangi oleh nyala batu jiwa yang bergetar lembut di dinding. Bara mengikuti langkah Ketua Dewan tanpa bicara. Suara tongkat sang Ketua menyentuh lantai seperti detak jam yang tak terburu-buru, seolah menghitung waktu yang terus berjalan tanpa peduli siapa pun yang lewat di dalamnya.Udara di bawah tanah terasa berbeda. Ada sesuatu yang berat, campuran antara rahasia dan peringatan. Bara tahu, tempat ini bukan untuk sembarang orang. Setiap langkah menuruni tangga seolah menghapus sedikit dari dirinya yang lama.Ketua Dewan berhenti di depan pintu bundar besar dengan ukiran aneh di permukaannya. Simbol-simbol kuno berputar perlahan, memancarkan cahaya merah samar. Sang Ketua meletakkan tongkatnya di tengah ukiran, dan pintu itu terbuka dengan suara berat, seperti batu yang terbelah oleh waktu.“Masuklah,” ucapnya tenang.Bara melangkah masuk. Ruangan di dalamnya luas, menyerupai ruang peta besar. Di tengahnya, terdapat meja bunda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status