LOGINBara sama sekali nggak panik. Padahal, dia tahu, Gerry yang lagi marah dan putus asa itu lebih bahaya daripada Tuan Black. Tuan Black itu Master jahat, tapi Gerry? Dia itu Master baik-baik yang lagi bad mood parah, dan itu bisa bikin kerusakan massal. Apalagi Chi-nya Gerry udah turun drastis, pasti dia nggak bisa ngontrol tenaganya.
Bara tadi sudah atur AC di lantai 20 supaya panas banget, dia pakai Kinesis halusnya, cuma buat mengganggu sistem pendingin. Dia tahu, Gerry yang lagi marah pasti nggak mau kepanasan, pasti dia milih lorong yang dingin. Dan lorong paling dingin itu ada di lantai 18. "Risa, kamu tunggu di sini," bisik Bara. Dia berdiri di tangga darurat, ngintip ke bawah. "Kalau kamu lihat Gerry, kamu harus lari, tapi jangan panik. "Aku tahu, Bara," Risa mengangguk, dia sudah jauh lebih tenang sekarang. "Aku lihat lima hal, aku sentuh empat hal. Aku nggak akan biarin kecemasan menguasai Chi-ku." Risa memang murid yang cepat belajar. Bara turun ke lantai 18. Lorong itu sepi, remang-remang, dan dingin banget, kayak kulkas. Bara langsung ngumpet di balik troli makanan bekas. Dia harus siapin jebakan mental buat Gerry. Kenapa mental? Karena Bara tahu, ego dan kesombongan Gerry itu kelemahan terbesarnya. Kalau dia dihancurin secara fisik, Gerry bakal makin marah. Tapi kalau dia dihancurin secara mental dan dibuat malu, itu akan memaksa otaknya berhenti marah dan mulai mikir: Kenapa aku dihina? Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Gerry muncul. Wajahnya kusut, Chi-nya berantakan, dan dia celingukan kayak orang kehausan. Chi Tier 3-nya sudah bocor ke mana-mana. "Bara! Tunjukkan dirimu, pecundang! Aku tahu kamu yang bikin Chi-ku rusak! Mana sihir hitammu?!" teriak Gerry. Bara tahu, ini saatnya. Dia keluar dari persembunyian, tapi nggak langsung berdiri. Dia pura-pura tersandung troli yang dia pakai buat ngumpet tadi. DUAKH! GUBRAK! Troli makanan bekas itu langsung terguling, dan isinya sambal, sisa-sisa nasi, dan beberapa botol air mineral berhamburan di lorong. Bara jatuh ke lantai dengan posisi yang sangat nggak elit, tangannya kena tumpahan Sambal. "Aduh, Gerry! Maafkan aku! Aku terpeleset! Tanganku licin banget!" teriak Bara, akting panik yang maksimal. Gerry terdiam. Dia sudah siap buat berkelahi, tapi dia malah melihat Bara si pecundang tersandung sampahnya sendiri. "Kau... kau apaan sih?! Kau pikir kau bisa mengalihkanku dengan kecerobohan?!" Gerry makin marah, tapi dia jadi bingung. Dia mau mukul, tapi Bara sudah basah kena sambal. Bara nggak buang waktu. Sambil pura-pura panik ngambil sisa makanan yang tumpah, Bara menggunakan Kinesis halus pada lantai lorong. Dia nggak merusak lantainya, dia cuma bikin lantai di sekitar Gerry jadi licin luar biasa karena gabungan oli dan air mineral. Gerry melangkah maju, mau menghampiri Bara. Tapi langkahnya mendadak oleng. WUSHHH! Gerry, Master Tier 3, terpeleset di lorong yang tiba-tiba licin, dan jatuh dengan posisi yang sangat nggak keren. GEDEBUK! Dia jatuh ke tumpahan sambal dan botol air. "Aduh! Sialan! Kenapa lantainya jadi licin?!" Gerry berteriak, wajahnya kini berlumuran saus tomat. Bara melompat berdiri, wajahnya pura-pura kaget. "Ya Tuhan, Gerry! Kamu kenapa?! Aku sudah bilang aku slalu sial! Aku minta maaf! Pasti sambalnya licin banget!" Bara langsung ambil lap pel yang ada di troli tadi, dan dia lap sambal yang nempel di sepatu Gerry. Dia melakukannya dengan wajah sangat memelas. "Aku minta maaf! Aku janji akan membersihkannya sampai bersih!" kata Bara. Dia membuat Gerry merasa sangat terhina. Dia Master Tier 3, tapi dia terbaring di lantai licin karena sambal yang tumpah, dan Bara si Tier 1 malah melap sepatunya. Gerry: Aku nggak percaya! Aku dihina, aku jatuh, dan dia melap sepatuku! Kenapa aku nggak bisa memukulnya?! Aku merasa seperti badut! Bara berhasil. Dia membuat Gerry nggak fokus pada amarahnya, tapi pada rasa malu dan kebingungan. Gerry terlalu malu buat marah, dan amarahnya perlahan mereda. Gerry akhirnya bangun. Wajahnya merah padam, bukan karena Chi, tapi karena malu. Dia buru-buru lari, tapi Bara menahannya. "Gerry, berhenti," kata Bara, suaranya tenang. "Kamu tahu kenapa kamu jatuh?" "Karena kau pakai sihir hitam!" teriak Gerry, suaranya lemah. "Bukan. Karena kamu terlalu marah. Amarahmu menutup matamu, membuat kakimu ceroboh. Aku nggak perlu sihir, Gerry. Aku cuma perlu sedikit sambal dan Amarahmu." Bara duduk di lantai, mengabaikan sambal yang menempel di bajunya. Dia membuat Gerry ikut duduk di lantai. "Dengar, Gerry. Kamu itu Master yang kuat. Tapi kamu punya penyakit yang lebih bahaya dari Chi gelap: Ego yang Terlalu Besar." Bara menjelaskan. "Kamu nggak terima kalau ada yang bilang kamu salah. Kamu nggak terima kalau Chi mu turun. Kamu anggap semua yang lebih rendah darimu itu sampah." "Itu namanya Efek Dunning-Kruger. Sombong karena kamu nggak lihat kelemahanmu sendiri," kata Bara lagi. "Chi-mu turun karena Jiwa-mu terlalu keras kepala." Gerry, yang sudah lelah, nggak bisa membantah. Dia tahu Bara benar. Dia terlalu takut buat mengakui kelemahannya. "Aku nggak mau jadi pecundang, Bara," bisik Gerry. Bara tersenyum. "Kamu nggak akan jadi pecundang. Kamu hanya perlu menerima kalau kamu manusia, dan wajar kalau kamu lemah. Sekarang, ayo kita obrolin ini. Aku janji, kalau kamu tenang, Chi-mu akan balik lagi." Gerry, Master yang arogan itu, akhirnya menyerah. Dia setuju untuk bicara. Bara berhasil mengamankan bom waktu di Gedung Zenith, hanya dengan sambal, lantai licin, dan sedikit ilmu psikologi. Saat Bara sibuk 'menenangkan' Gerry di lantai 18, Risa turun dan melihat kekacauan itu. Dia kaget, tapi dia tahu Bara pasti sudah berhasil. Dia buru-buru membersihkan lorong itu dengan lap pel. Risa juga sempat mengintip ke kantor Bapak Leo lagi. Dia melihat Bapak Leo panik banget, sibuk menghubungi Profesor Delta. Risa sempat merekam beberapa ucapan Bapak Leo. Risa kembali ke lorong 18. Gerry sudah tenang, wajahnya masih malu, tapi matanya sudah mulai jernih. "Bara, aku dapat ini," bisik Risa, menunjukkan rekaman dari ponselnya. Di rekaman itu, Bapak Leo berteriak, "Proyek Lab Delta harus diamankan! Tuan Black gagal! Kirim Tim Ilmiah Alpha ke lab sekarang! Aku nggak mau Master Jiwa itu tahu apa yang kita ciptakan!" Bara dan Risa saling pandang. "Tim Ilmiah Alpha?" "Mereka nggak pakai Chi. Mereka pakai teknologi dan mesin buat ngalahin Master. Ini lebih bahaya dari Tuan Black," kata Bara. "Gerry, terima kasih sudah jadi pengalihan. Sekarang, kamu harus bantu kami." "Aku?" tanya Gerry, kaget. "Iya. Aku butuh Master Tier 3 yang sudah tenang. Ayo, kita hadapi Tim Ilmiah Alpha. Tapi kamu harus janji, jangan marah."Lorong semakin gelap. Langkah mereka bergema pendek. Anak kecil, Alen, menggenggam tangan Risa erat sekali sampai jari Risa terasa sakit. “Aduuh… pelan, nak,” kata Risa sambil mengusap kepala Alen. “A.. aku takut…” suara Alen gemetar. Kael yang memanggul ayah Alen mendengus berat. “Sial… jangan sampai aku jatuh. Orang ini berat sekali.” Gerry berjalan sambil memeluk tasnya, wajahnya pucat. “Tolong… jangan ada suara aneh lagi… aku mohon…” “Terlambat.” Liora berhenti mendadak. Bara noleh cepat. “Ada apa?” Liora mengangkat tangannya, telapak menghadap ke depan. “Ada energi… bukan milik dunia ini.” Kael memaki. “Brengsek… bukankah dunia sudah normal lagi?!” “Dunia normal itu relatif,” Bara menjawab sambil maju. “Tapi suara tadi… bukan suara makhluk biasa.” Baru saja Bara melangkah satu meter— TEK… TEK… TEK… Suara langkah pelan datang dari depan lorong. Gerry langsung menjerit kecil. “AAAKH.. KENAPA SELALU ADA BEGINIAN!?” “Diam!” Kael membentak. Bara mengangkat tangan mem
Angin di lembah pelan-pelan kembali normal. Bara duduk sambil menahan pinggangnya. Napasnya pendek, masih tersendat. Kael mendekat sambil menepuk bahu Bara. “Sial… kau bikin aku tua sepuluh tahun tadi.” Bara mengerang kecil. “Aduuh… jangan pukul bahu aku juga. Tubuhku kayak baru digiling batu.” Risa jongkok di depannya. Matanya masih merah. “Aku serius… kalau kau lakukan itu lagi, aku campakkan kau ke sungai.” “Hehe… jangan begitu,” Bara tersenyum lemah. Gerry duduk di tanah sambil memukul pipinya sendiri. “Aku masih nggak percaya aku hidup… hahaha… aku benar-benar pikir kita bakal mati barusan.” Liora berdiri sambil mengusap wajah. “Kalian semua berisik… kepala aku berdenging.” Suasana mulai mereda. Tapi rasa lega itu cuma sebentar. Karena di belakang mereka… tanah bergetar lagi. GGRRRRHHH.. KRRRKKK.. Kael langsung berdiri. “WOY! Apa lagi ini?! Jangan bilang ada Penjaga versi dua!” Risa noleh cepat. “Tidak mungkin… gerbangnya sudah tertutup!” Gerry langsung bersembunyi
Ledakan suara pertama membuat tanah hampir pecah. Kael sampai harus menancapkan pedangnya biar nggak terpental lagi. “AARRGHH! SIAL!” Kael menutup telinganya, wajahnya meringis keras. Risa jatuh berlutut. “Bara! Hentikan! Itu bukan pertarungan biasa!” Bara berdiri beberapa langkah dari Penjaga Nada Keempat, napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. “Ayo… kalau memang mau uji aku, lakukan.” Penjaga itu mengeluarkan suara retak, KRRR..KREk.. seperti ribuan gelas pecah di udara. Liora memekik sambil menutup kepala. “AAAH! Suaranya… nusuk banget!” Penjaga menatap Bara. “Nada pertama…” DUAAR! Gelombang suara meledak dari tubuhnya. Bara terdorong mundur beberapa meter. “Ugh, ADUUH…!” Ia memegang dada, wajahnya kesakitan, tapi tetap berdiri. Kael teriak, “BARA! TARIK NAPAS! JANGAN NYERAH!” Bara mengangkat kepala pelan. “Kalau cuma suara, aku juga punya.” Ia mengencangkan rahangnya… lalu membuka mulut. Dan Bara berteriak. “HAAAAAAAAAA!!” Suara itu bukan teriakan biasa. T
Angin lembah berubah dingin. Terlalu dingin. Kael langsung noleh ke kiri. “Bara… kau ngerasain itu?” Bara berdiri kaku, napasnya pendek… “Iya.” Suaranya pelan tapi tegang. “Ada sesuatu yang manggil dari bawah tanah.” Risa mundur dua langkah sambil gemetar. “Jangan bercanda… suara apa?” “Bukan suara.” Bara balas pelan. “Tapi tekanan.” Tanah tiba-tiba retak, BRAKK! Gerry teriak, “WOY APAAN INI?!” sambil jatuh duduk. Dari retakan itu, muncul cahaya gelap seperti kabut hitam, menggulung cepat. Kael langsung menarik Risa menjauh. “Sial, jangan dekat-dekat!” Bara tetap di depan, matanya menyipit, tubuhnya goyah tapi ia maksa berdiri. “Gerbangnya kebuka sendiri…” Liora teriak, “Bara! Mundur dulu!” “Aku nggak bisa,” jawab Bara sambil gigit bibir. “Aku… ditarik.” Tekanan keluar dari retakan itu semakin kuat. Kael sampai harus menahan telinganya. “Ugh, brengsek… suaranya nusuk kepala!” Retakan melebar, membentuk lingkaran hitam seperti pintu. Udara langsung bergetar. Gerry me
Malam turun cepat, seperti ditarik oleh tangan tak terlihat. Udara dingin menusuk leher, dan halaman belakang rumah tua itu terasa sempit saat Rian berdiri di sana bersama Liora dan Kael. Kael mengembuskan napas keras. “Sial… kenapa tempat ini gelap sekali?” Ia menyentuh dinding kayu tua. “Kayak mau runtuh.” Rian menatap pintu kecil di depan mereka, pintu yang baru muncul beberapa jam lalu retakan tipis yang mengeluarkan cahaya samar, seperti undangan atau perangkap. “Ini bukan pintu biasa,” katanya pelan. Liora melangkah maju. Rambutnya bergerak pelan saat angin lewat. “Aku bisa merasakannya… ada sesuatu yang menunggu di balik sana.” Ia menelan ludah. “Sesuatunya tidak kecil.” Kael tertawa pendek. “Hahaha… bagus. Aku sudah bosan dengan orang-orang kecil.” Liora memelototinya. “Kau bisa berhenti sok berani satu menit?” “Tidak,” jawab Kael cepat. “Sudah dari lahir begitu.” Rian mengangkat tangan. “Diam dulu. Dengar.” Mereka semua menegang. Ada suara dari balik pintu retak itu
Retakan kedua masih berdenyut pelan, memunculkan cahaya biru pucat seperti napas terakhir dunia. Angin mengalir dingin. Kael berdiri paling depan, memegang kristal Bara erat-erat. Gerry menatap retakan itu sambil menggosok tengkuknya. “Sial… aku nggak percaya kita beneran mau masuk. Ini gila.” Sena menjitak kepala Gerry. “Brengsek, jangan bikin aku makin takut!” “AUH! Heh… aku cuma jujur!” Noir menggonggong dua kali. “ARF! ARF!” Kael menatap mereka bertiga. “Dengar. Begitu kita masuk… kita nggak tahu apa yang ada di sana. Kita mungkin terpisah. Atau langsung diserang.” Sena menelan ludah. “Kael, jangan ngomong begitu terus… aku bisa kabur sekarang.” Gerry tertawa kecil. “Hahaha… kabur kemana? Udara aja dingin banget sampai jantungku gemeter.” Kael menarik napas dalam. “Baik. Kita masuk dalam hitungan tiga.” Sena langsung panik. “TIGA!? Kok cepat banget?!” “Kalau kelamaan, nyali kalian hilang.” “Eh, KAEL!” Tapi Kael tetap melanjutkan. “Satu.” Sena menutup wajahnya. “Aduu







