Home / Fantasi / Kultivator Jiwa Modern / Bab 4 – Ketenangan di Tengah Intrik Gedung Zenith

Share

Bab 4 – Ketenangan di Tengah Intrik Gedung Zenith

Author: Vanhelsing83
last update Last Updated: 2025-10-05 17:58:00

Pagi di Gedung Zenith terasa lebih tenang setelah kekacauan malam sebelumnya. Tapi Bara tahu, ketenangan seperti ini cuma topeng, sama seperti senyum para pegawai yang menyembunyikan stres di balik jas mahal dan aroma kopi yang terlalu kuat.

Ia dan Risa kini berada di ruang arsip yang pengap dan berdebu. Misi mereka hari ini sederhana, tapi berisiko tinggi: mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Bapak Leo, manajer keuangan dengan kebiasaan aneh menyentuh hidung setiap kali berbohong.

“Bara, ini gila,” bisik Risa sambil memeluk map berdebu. “Kalau kita ketahuan, kita bisa dipecat, dan Tuan Raka pasti marah besar.”

Bara tersenyum santai. “Risa, kita nggak nyari masalah. Kita cuma cari kebenaran... dengan gaya halus. Lagipula, rasa takutmu itu bukan musuh, tapi sinyal. Artinya kamu sadar. Dan kesadaran itu langkah pertama menuju ketenangan.”

Risa mendesah pelan. Entah kenapa, tiap kali Bara bicara, rasa cemas di dadanya berkurang sedikit.

Mereka mulai menyisir tumpukan kotak di gudang itu. Sebagian besar berisi laporan keuangan lama. Tapi di tengah rak, ada satu kotak yang terlihat terlalu baru, bersih, tak berdebu, dan disegel rapi.

Bara menatap kotak itu lama. “Kotak yang terlalu sempurna biasanya menyembunyikan sesuatu yang kotor.”

Risa melotot. “Kau nggak serius mau..”?

Bara mengangkat jari telunjuknya, memberi isyarat diam. Lalu ia pura-pura mengangkat batu kecil di lantai, dan dengan gerakan seolah tidak sengaja, ia melemparnya ke arah rak.

“HAACHOO!” Bara bersin keras, pura-pura kehilangan keseimbangan.

Kotak itu jatuh dan isinya berhamburan ke lantai. Risa terkejut, tapi Bara langsung jongkok, pura-pura panik sambil memungut kertas-kertas yang berserakan.

Beberapa lembar di tangannya bukan laporan keuangan, melainkan cetak biru rahasia, desain laboratorium bawah tanah yang tersembunyi di bawah Gedung Zenith.

Risa menatap kertas itu ngeri. “Bara... ini.. ini bukan proyek biasa. Ada logo Departemen Kesehatan Jiwa, dan… Profesor Delta?!”

Bara cepat menyelipkan kertas itu ke saku jasnya. “Shh. Kita nggak lihat apa-apa. Kita cuma dua magang ceroboh yang terlalu rajin bersih-bersih.”

Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar. Bapak Leo datang bersama dua pengawal berjas hitam. Wajahnya tegang.

“Bara! Kau menghancurkan arsip penting perusahaan!” bentaknya. “Kau dipecat mulai sekarang!”

Bara tetap duduk tenang di kursi yang keras itu. “Saya cuma bersin, Pak. Kalau bersin saya bisa menghancurkan dokumen penting, mungkin masalahnya bukan di saya, tapi di sistem keamanan perusahaan Anda.”

Bapak Leo mengepalkan tangan, nadanya bergetar antara marah dan panik. “Aku tahu kau lihat isi kotak itu! Aku bisa membuat hidupmu berakhir di sini, Nak.”

Bara bersandar santai. “Kalau begitu, aku mungkin akan pulang... dan tanpa sengaja menjatuhkan selembar kertas biru itu di kantor polisi. Aku ini ceroboh, Pak. Benar-benar ceroboh. Bayangkan kalau aku keceplosan cerita ke wartawan.”

Suasana langsung sunyi. Risa bahkan menahan napas.

Leo menatap Bara lama. Wajahnya pucat. Dia sadar, anak ini bukan ancaman biasa. Bara bukan orang yang bisa ditekan dia adalah ancaman yang bisa tersenyum sambil menghancurkan reputasi orang.

“Baik,” gumam Leo akhirnya. “Apa maumu?”

Bara tersenyum lebar. “Cuma satu hal, Pak. Izinkan aku dan Risa mengakses semua area yang berhubungan dengan proyek itu. Kami akan membantu ‘merapikan’ masalah Bapak, tentu saja tanpa membuat heboh.”

Leo menatap tajam. “Dan kalau aku menolak?”

“Kalau Bapak menolak, aku takut aku bisa... bersin lagi,” kata Bara dengan nada seolah sedang bercanda, tapi tatapannya terlalu tenang untuk disebut lelucon.

Leo akhirnya menyerah. Ia memberi izin dan meninggalkan ruangan dengan wajah muram. Risa langsung menatap Bara tidak percaya. “Bara, kamu sadar nggak, barusan kamu mengancam manajer dengan kalimat paling sopan sedunia?”

Bara terkekeh. “Sopan itu penting. Orang yang marah akan menyerang, tapi orang yang malu… akan tunduk.”

Sementara itu, di Akademi, Gerry sedang kehilangan kendali. Ia mencoba melakukan teknik pernapasan 4-7-8 yang diajarkan Bara, tapi dengan amarah di dadanya, hasilnya justru kebalik. Chi-nya meledak dari dalam, membuat Tier nya turun drastis. Dari Tier 5 menjadi Tier 3 Aliran Ranting.

“Aku... benci dia! Kenapa tekniknya malah bikin aku makin lemah?!” teriak Gerry, memukul dinding hingga retak.

Dalam amarah itu, ia merasa Bara telah mempermainkannya. Ia bersumpah akan mengejar Bara ke Ibukota dan memaksanya “memulihkan kehormatannya.”

Kembali di Gedung Zenith, Bara dan Risa kini memiliki akses ke area terbatas. Mereka menemukan kebenaran lebih kelam dari dugaan: laboratorium bawah tanah itu bukan tempat penelitian biasa. Di sana, bahan kimia digunakan untuk menciptakan pil penguat Chi, tapi efek sampingnya justru memperparah kecemasan dan amarah. Jiwa para pemakainya perlahan rusak.

“Ini bukan sekadar proyek rahasia,” bisik Risa. “Mereka membuat senjata psikologis.”

Bara menatap lampu laboratorium yang berkelap-kelip di langit-langit. “Dan seseorang, mungkin Tuan Black menggunakan emosi manusia sebagai bahan bakar.”

Tiba-tiba, gelang komunikasi Bara berbunyi. Pesan dari Tuan Raka muncul:

“Gerry menuju Ibukota. Penuh amarah. Waspada.”

Bara mendengus pelan. “Tentu saja. Dunia memang suka menguji kesabaran.”

Ia menatap Risa, lalu tersenyum kecil. “Kita harus siapkan sambutan untuk tamu lama kita.”

Risa mengangguk, meski rautnya tegang. “Kamu yakin dia nggak akan langsung menyerang?”

“Gerry cuma butuh diarahkan. Aku akan bantu dia... lewat sedikit pelajaran tentang pengendalian ego.”

Bara lalu berjalan menuju ruang kontrol gedung. Ia tak perlu sihir, cukup logika.

“Kalau Gerry datang dengan amarah, dia akan mencari udara dingin,” gumamnya sambil memutar tuas suhu ruangan. “Jadi aku buat lorong di lantai 20 panas, dan lorong di lantai 18 dingin. Dia pasti memilih yang dingin... tempat Risa menunggunya.”

Risa menatap Bara, kagum sekaligus khawatir. “Dan kamu?”

Bara menatap kaca gedung yang memantulkan wajahnya sendiri. “Aku? Aku akan menunggu di tempat yang paling tenang... karena badai paling besar biasanya datang justru saat semuanya terlihat damai.”

Lampu di ruang kontrol bergetar. Di kejauhan, aura hitam samar mulai muncul di luar gedung.

Tuan Black belum benar-benar pergi.

Dan kali ini... dia tidak datang sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 174 — Suara dari Gelap dan Nama yang Terlupakan

    Lorong semakin gelap. Langkah mereka bergema pendek. Anak kecil, Alen, menggenggam tangan Risa erat sekali sampai jari Risa terasa sakit. “Aduuh… pelan, nak,” kata Risa sambil mengusap kepala Alen. “A.. aku takut…” suara Alen gemetar. Kael yang memanggul ayah Alen mendengus berat. “Sial… jangan sampai aku jatuh. Orang ini berat sekali.” Gerry berjalan sambil memeluk tasnya, wajahnya pucat. “Tolong… jangan ada suara aneh lagi… aku mohon…” “Terlambat.” Liora berhenti mendadak. Bara noleh cepat. “Ada apa?” Liora mengangkat tangannya, telapak menghadap ke depan. “Ada energi… bukan milik dunia ini.” Kael memaki. “Brengsek… bukankah dunia sudah normal lagi?!” “Dunia normal itu relatif,” Bara menjawab sambil maju. “Tapi suara tadi… bukan suara makhluk biasa.” Baru saja Bara melangkah satu meter— TEK… TEK… TEK… Suara langkah pelan datang dari depan lorong. Gerry langsung menjerit kecil. “AAAKH.. KENAPA SELALU ADA BEGINIAN!?” “Diam!” Kael membentak. Bara mengangkat tangan mem

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 173 — Pintu Kedua yang Tidak Seharusnya Terbuka

    Angin di lembah pelan-pelan kembali normal. Bara duduk sambil menahan pinggangnya. Napasnya pendek, masih tersendat. Kael mendekat sambil menepuk bahu Bara. “Sial… kau bikin aku tua sepuluh tahun tadi.” Bara mengerang kecil. “Aduuh… jangan pukul bahu aku juga. Tubuhku kayak baru digiling batu.” Risa jongkok di depannya. Matanya masih merah. “Aku serius… kalau kau lakukan itu lagi, aku campakkan kau ke sungai.” “Hehe… jangan begitu,” Bara tersenyum lemah. Gerry duduk di tanah sambil memukul pipinya sendiri. “Aku masih nggak percaya aku hidup… hahaha… aku benar-benar pikir kita bakal mati barusan.” Liora berdiri sambil mengusap wajah. “Kalian semua berisik… kepala aku berdenging.” Suasana mulai mereda. Tapi rasa lega itu cuma sebentar. Karena di belakang mereka… tanah bergetar lagi. GGRRRRHHH.. KRRRKKK.. Kael langsung berdiri. “WOY! Apa lagi ini?! Jangan bilang ada Penjaga versi dua!” Risa noleh cepat. “Tidak mungkin… gerbangnya sudah tertutup!” Gerry langsung bersembunyi

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 172 — Duel Suara yang Tidak Manusiawi

    Ledakan suara pertama membuat tanah hampir pecah. Kael sampai harus menancapkan pedangnya biar nggak terpental lagi. “AARRGHH! SIAL!” Kael menutup telinganya, wajahnya meringis keras. Risa jatuh berlutut. “Bara! Hentikan! Itu bukan pertarungan biasa!” Bara berdiri beberapa langkah dari Penjaga Nada Keempat, napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. “Ayo… kalau memang mau uji aku, lakukan.” Penjaga itu mengeluarkan suara retak, KRRR..KREk.. seperti ribuan gelas pecah di udara. Liora memekik sambil menutup kepala. “AAAH! Suaranya… nusuk banget!” Penjaga menatap Bara. “Nada pertama…” DUAAR! Gelombang suara meledak dari tubuhnya. Bara terdorong mundur beberapa meter. “Ugh, ADUUH…!” Ia memegang dada, wajahnya kesakitan, tapi tetap berdiri. Kael teriak, “BARA! TARIK NAPAS! JANGAN NYERAH!” Bara mengangkat kepala pelan. “Kalau cuma suara, aku juga punya.” Ia mengencangkan rahangnya… lalu membuka mulut. Dan Bara berteriak. “HAAAAAAAAAA!!” Suara itu bukan teriakan biasa. T

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 171 — Gerbang yang Tidak Seharusnya Terbuka

    Angin lembah berubah dingin. Terlalu dingin. Kael langsung noleh ke kiri. “Bara… kau ngerasain itu?” Bara berdiri kaku, napasnya pendek… “Iya.” Suaranya pelan tapi tegang. “Ada sesuatu yang manggil dari bawah tanah.” Risa mundur dua langkah sambil gemetar. “Jangan bercanda… suara apa?” “Bukan suara.” Bara balas pelan. “Tapi tekanan.” Tanah tiba-tiba retak, BRAKK! Gerry teriak, “WOY APAAN INI?!” sambil jatuh duduk. Dari retakan itu, muncul cahaya gelap seperti kabut hitam, menggulung cepat. Kael langsung menarik Risa menjauh. “Sial, jangan dekat-dekat!” Bara tetap di depan, matanya menyipit, tubuhnya goyah tapi ia maksa berdiri. “Gerbangnya kebuka sendiri…” Liora teriak, “Bara! Mundur dulu!” “Aku nggak bisa,” jawab Bara sambil gigit bibir. “Aku… ditarik.” Tekanan keluar dari retakan itu semakin kuat. Kael sampai harus menahan telinganya. “Ugh, brengsek… suaranya nusuk kepala!” Retakan melebar, membentuk lingkaran hitam seperti pintu. Udara langsung bergetar. Gerry me

  • Kultivator Jiwa Modern   BAB 170 — LANGKAH MENUJU BAYANG TERAKHIR

    Malam turun cepat, seperti ditarik oleh tangan tak terlihat. Udara dingin menusuk leher, dan halaman belakang rumah tua itu terasa sempit saat Rian berdiri di sana bersama Liora dan Kael. Kael mengembuskan napas keras. “Sial… kenapa tempat ini gelap sekali?” Ia menyentuh dinding kayu tua. “Kayak mau runtuh.” Rian menatap pintu kecil di depan mereka, pintu yang baru muncul beberapa jam lalu retakan tipis yang mengeluarkan cahaya samar, seperti undangan atau perangkap. “Ini bukan pintu biasa,” katanya pelan. Liora melangkah maju. Rambutnya bergerak pelan saat angin lewat. “Aku bisa merasakannya… ada sesuatu yang menunggu di balik sana.” Ia menelan ludah. “Sesuatunya tidak kecil.” Kael tertawa pendek. “Hahaha… bagus. Aku sudah bosan dengan orang-orang kecil.” Liora memelototinya. “Kau bisa berhenti sok berani satu menit?” “Tidak,” jawab Kael cepat. “Sudah dari lahir begitu.” Rian mengangkat tangan. “Diam dulu. Dengar.” Mereka semua menegang. Ada suara dari balik pintu retak itu

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 169 — Masuk ke Retakan

    Retakan kedua masih berdenyut pelan, memunculkan cahaya biru pucat seperti napas terakhir dunia. Angin mengalir dingin. Kael berdiri paling depan, memegang kristal Bara erat-erat. Gerry menatap retakan itu sambil menggosok tengkuknya. “Sial… aku nggak percaya kita beneran mau masuk. Ini gila.” Sena menjitak kepala Gerry. “Brengsek, jangan bikin aku makin takut!” “AUH! Heh… aku cuma jujur!” Noir menggonggong dua kali. “ARF! ARF!” Kael menatap mereka bertiga. “Dengar. Begitu kita masuk… kita nggak tahu apa yang ada di sana. Kita mungkin terpisah. Atau langsung diserang.” Sena menelan ludah. “Kael, jangan ngomong begitu terus… aku bisa kabur sekarang.” Gerry tertawa kecil. “Hahaha… kabur kemana? Udara aja dingin banget sampai jantungku gemeter.” Kael menarik napas dalam. “Baik. Kita masuk dalam hitungan tiga.” Sena langsung panik. “TIGA!? Kok cepat banget?!” “Kalau kelamaan, nyali kalian hilang.” “Eh, KAEL!” Tapi Kael tetap melanjutkan. “Satu.” Sena menutup wajahnya. “Aduu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status