Beranda / Fantasi / Kultivator Jiwa Modern / Bab 8 – Bayangan di Balik Eclipse

Share

Bab 8 – Bayangan di Balik Eclipse

Penulis: Vanhelsing83
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 17:24:18

Malam masih belum benar-benar reda ketika Bara, Risa, dan Gerry turun dari atap Gedung Zenith. Mereka memilih jalan belakang, menghindari kemungkinan aparat atau robot patroli yang masih berkeliaran. Langkah mereka berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban pikiran yang semakin menekan.

Risa berusaha memecah keheningan. “Bara, tadi… waktu gelangmu menyala, kau terlihat… berbeda. Seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirimu. Itu bukan hal biasa.”

Bara hanya menunduk, napasnya dalam. “Aku sendiri tak tahu, Risa. Tapi gelang ini… jelas bukan sekadar warisan. Aku merasakan sesuatu terkunci di dalamnya. Sesuatu yang… menakutkan.”

Gerry mendengus, meski matanya jelas menyimpan kekhawatiran. “Bagus, berarti kita sekarang punya satu lagi rahasia besar yang bisa meledak di wajah kita kapan saja.”

Risa menoleh tajam. “Gerry! Ini bukan saatnya bercanda.”

“Aku tidak bercanda!” balas Gerry cepat. “Kau pikir aku senang ikut terlibat dalam semua kekacauan ini? Aku cuma orang biasa! Dan sekarang, kita dikejar organisasi gelap, menghadapi teknologi gila, plus misteri kuno. Aku bahkan tak tahu besok masih bisa bangun hidup atau tidak!”

Bara berhenti berjalan. Tatapannya dalam, suara rendah tapi tegas. “Kau benar, Ger. Semua ini gila. Tapi kalau kita berhenti sekarang, semua pengorbanan tadi akan sia-sia. Kau masih bisa mundur kalau mau. Aku tidak akan memaksa.”

Keheningan sejenak.

Gerry menunduk, mengepalkan tangannya. Lalu, dengan wajah masam, ia menggerutu. “Aku benci pilihan ini. Tapi aku juga benci jadi pengecut. Jadi… jangan harap aku mundur.”

Risa tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. “Kau memang cerewet, Gerry… tapi hatimu selalu benar.”

Kedatangan yang Tak Diduga

Saat mereka keluar dari gang sempit, sebuah suara pelan terdengar. “Hei. Jangan bergerak.”

Sebuah siluet muncul dari balik bayangan. Seorang pria berambut panjang, mengenakan jaket kulit hitam, dengan mata tajam seperti serigala. Ia memegang pisau berkilau yang tampak tidak biasa.

Risa langsung sigap, melindungi Bara. Gerry mundur selangkah dengan wajah kaget.

Bara mengangkat tangannya perlahan. “Kami tidak mencari masalah.”

Pria itu menatap mereka satu per satu, lalu matanya berhenti di gelang Bara. Cahaya lampu jalan memantul di matanya, membuat sorotnya semakin menajam.

“Itu…” suaranya serak. “Kau pemegang Kunci Jiwa.”

Bara menegang. “Siapa kau?”

Pria itu menyarungkan pisaunya, lalu menunduk sedikit, seperti memberi hormat singkat. “Namaku Kael. Aku bukan musuh kalian. Justru aku sudah lama menunggu tanda itu. Gelangmu.”

Kael, Sang Pengembara

Mereka memutuskan berlindung di sebuah gudang tua untuk berbicara lebih aman. Dari sorot matanya, Kael bukan orang sembarangan. Ada aura kelelahan sekaligus keteguhan yang sulit dijelaskan.

“Sejak kabut muncul, aku tahu waktunya sudah dekat,” kata Kael sambil menatap lantai kosong. “Aku pengembara jiwa. Tugasku mencari dan menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia arwah. Tapi sejak Proyek Eclipse bergerak, keseimbangan itu terguncang.”

Risa mencondongkan tubuh, penasaran. “Proyek Eclipse… apa sebenarnya itu?”

Kael menghela napas panjang. “Sebuah eksperimen gila. Mereka ingin membuka gerbang kuno, menghubungkan manusia dengan entitas yang seharusnya terkunci ribuan tahun lalu. Kalau berhasil, dunia akan jadi medan perebutan jiwa. Bukan hanya manusia yang akan mati… roh-roh pun akan terseret.”

Gerry langsung berdiri, wajahnya panik. “Hei, hei! Itu kedengarannya seperti akhir dunia! Dan kau bilang kita terjebak di tengahnya?”

Kael menatapnya datar. “Bukan hanya terjebak. Kalian bagian dari kuncinya.”

Bara menegang. “Maksudmu apa?”

Kael menatap gelang Bara. “Kau pemegang Kunci Jiwa Cahaya. Ada tiga kunci lain: Kunci Bayangan, Kunci Darah, dan Kunci Langit. Siapa pun yang menguasai semuanya… bisa membuka gerbang itu.”

Keheningan menyesakkan memenuhi ruangan.

Luka Lama yang Terkuak

Risa menunduk, suaranya lirih. “Kalau begitu… berarti kita harus menemukan kunci lain dulu, sebelum mereka melakukannya.”

Kael mengangguk. “Benar. Tapi jalannya tidak mudah. Setiap kunci punya penjagaannya sendiri. Dan mereka… tidak akan menyerah begitu saja.”

Bara menatap Kael dengan mata penuh curiga. “Dan apa jaminan kami bisa percaya padamu? Kau bisa saja bagian dari mereka.”

Kael terdiam. Lalu perlahan ia membuka jaketnya, memperlihatkan bekas luka panjang di dada. Luka itu berwarna hitam keunguan, berdenyut samar seperti masih hidup.

“Mereka mencoba menjadikan aku eksperimen. Aku hampir kehilangan jiwaku. Hanya karena aku pengembara jiwa, aku bisa bertahan. Tapi sebagian jiwaku… sudah hancur.”

Matanya bergetar, ada amarah dan kesedihan yang nyata. “Aku tidak ingin ada orang lain merasakan ini.”

Risa menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata. Gerry mengalihkan pandangan, wajahnya muram. Sementara Bara, meski masih curiga, bisa merasakan kejujuran dari nada suara Kael.

Tekad Baru

“Baiklah.” Bara akhirnya bersuara, nadanya tegas. “Kalau kau benar, maka kita tidak punya pilihan lain. Kita harus menghentikan Eclipse.”

Kael menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Dan itu artinya… perjalanan kalian baru saja dimulai.”

Di luar gudang, suara sirene polisi menggema. Kota masih kacau setelah insiden laboratorium. Tapi di balik kekacauan itu, sebuah peperangan jauh lebih besar sudah menunggu.

Bara menggenggam gelangnya erat. Dalam hatinya, ada rasa takut, namun juga api tekad yang mulai menyala. Ia tahu, jalan ini berbahaya, penuh darah dan pengkhianatan. Tapi ia juga tahu, mundur bukan pilihan lagi.

Di kegelapan malam, empat sosok itu, Bara, Risa, Gerry, dan Kae, lmelangkah keluar dari gudang tua. Mereka mungkin, terlihat rapuh, hanya manusia biasa dengan luka dan ketakutan. Namun di balik langkah mereka, ada takdir besar yang sedang menunggu untuk ditulis.

Dan bayangan Eclipse… semakin dekat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 174 — Suara dari Gelap dan Nama yang Terlupakan

    Lorong semakin gelap. Langkah mereka bergema pendek. Anak kecil, Alen, menggenggam tangan Risa erat sekali sampai jari Risa terasa sakit. “Aduuh… pelan, nak,” kata Risa sambil mengusap kepala Alen. “A.. aku takut…” suara Alen gemetar. Kael yang memanggul ayah Alen mendengus berat. “Sial… jangan sampai aku jatuh. Orang ini berat sekali.” Gerry berjalan sambil memeluk tasnya, wajahnya pucat. “Tolong… jangan ada suara aneh lagi… aku mohon…” “Terlambat.” Liora berhenti mendadak. Bara noleh cepat. “Ada apa?” Liora mengangkat tangannya, telapak menghadap ke depan. “Ada energi… bukan milik dunia ini.” Kael memaki. “Brengsek… bukankah dunia sudah normal lagi?!” “Dunia normal itu relatif,” Bara menjawab sambil maju. “Tapi suara tadi… bukan suara makhluk biasa.” Baru saja Bara melangkah satu meter— TEK… TEK… TEK… Suara langkah pelan datang dari depan lorong. Gerry langsung menjerit kecil. “AAAKH.. KENAPA SELALU ADA BEGINIAN!?” “Diam!” Kael membentak. Bara mengangkat tangan mem

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 173 — Pintu Kedua yang Tidak Seharusnya Terbuka

    Angin di lembah pelan-pelan kembali normal. Bara duduk sambil menahan pinggangnya. Napasnya pendek, masih tersendat. Kael mendekat sambil menepuk bahu Bara. “Sial… kau bikin aku tua sepuluh tahun tadi.” Bara mengerang kecil. “Aduuh… jangan pukul bahu aku juga. Tubuhku kayak baru digiling batu.” Risa jongkok di depannya. Matanya masih merah. “Aku serius… kalau kau lakukan itu lagi, aku campakkan kau ke sungai.” “Hehe… jangan begitu,” Bara tersenyum lemah. Gerry duduk di tanah sambil memukul pipinya sendiri. “Aku masih nggak percaya aku hidup… hahaha… aku benar-benar pikir kita bakal mati barusan.” Liora berdiri sambil mengusap wajah. “Kalian semua berisik… kepala aku berdenging.” Suasana mulai mereda. Tapi rasa lega itu cuma sebentar. Karena di belakang mereka… tanah bergetar lagi. GGRRRRHHH.. KRRRKKK.. Kael langsung berdiri. “WOY! Apa lagi ini?! Jangan bilang ada Penjaga versi dua!” Risa noleh cepat. “Tidak mungkin… gerbangnya sudah tertutup!” Gerry langsung bersembunyi

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 172 — Duel Suara yang Tidak Manusiawi

    Ledakan suara pertama membuat tanah hampir pecah. Kael sampai harus menancapkan pedangnya biar nggak terpental lagi. “AARRGHH! SIAL!” Kael menutup telinganya, wajahnya meringis keras. Risa jatuh berlutut. “Bara! Hentikan! Itu bukan pertarungan biasa!” Bara berdiri beberapa langkah dari Penjaga Nada Keempat, napasnya berat, tapi sorot matanya tajam. “Ayo… kalau memang mau uji aku, lakukan.” Penjaga itu mengeluarkan suara retak, KRRR..KREk.. seperti ribuan gelas pecah di udara. Liora memekik sambil menutup kepala. “AAAH! Suaranya… nusuk banget!” Penjaga menatap Bara. “Nada pertama…” DUAAR! Gelombang suara meledak dari tubuhnya. Bara terdorong mundur beberapa meter. “Ugh, ADUUH…!” Ia memegang dada, wajahnya kesakitan, tapi tetap berdiri. Kael teriak, “BARA! TARIK NAPAS! JANGAN NYERAH!” Bara mengangkat kepala pelan. “Kalau cuma suara, aku juga punya.” Ia mengencangkan rahangnya… lalu membuka mulut. Dan Bara berteriak. “HAAAAAAAAAA!!” Suara itu bukan teriakan biasa. T

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 171 — Gerbang yang Tidak Seharusnya Terbuka

    Angin lembah berubah dingin. Terlalu dingin. Kael langsung noleh ke kiri. “Bara… kau ngerasain itu?” Bara berdiri kaku, napasnya pendek… “Iya.” Suaranya pelan tapi tegang. “Ada sesuatu yang manggil dari bawah tanah.” Risa mundur dua langkah sambil gemetar. “Jangan bercanda… suara apa?” “Bukan suara.” Bara balas pelan. “Tapi tekanan.” Tanah tiba-tiba retak, BRAKK! Gerry teriak, “WOY APAAN INI?!” sambil jatuh duduk. Dari retakan itu, muncul cahaya gelap seperti kabut hitam, menggulung cepat. Kael langsung menarik Risa menjauh. “Sial, jangan dekat-dekat!” Bara tetap di depan, matanya menyipit, tubuhnya goyah tapi ia maksa berdiri. “Gerbangnya kebuka sendiri…” Liora teriak, “Bara! Mundur dulu!” “Aku nggak bisa,” jawab Bara sambil gigit bibir. “Aku… ditarik.” Tekanan keluar dari retakan itu semakin kuat. Kael sampai harus menahan telinganya. “Ugh, brengsek… suaranya nusuk kepala!” Retakan melebar, membentuk lingkaran hitam seperti pintu. Udara langsung bergetar. Gerry me

  • Kultivator Jiwa Modern   BAB 170 — LANGKAH MENUJU BAYANG TERAKHIR

    Malam turun cepat, seperti ditarik oleh tangan tak terlihat. Udara dingin menusuk leher, dan halaman belakang rumah tua itu terasa sempit saat Rian berdiri di sana bersama Liora dan Kael. Kael mengembuskan napas keras. “Sial… kenapa tempat ini gelap sekali?” Ia menyentuh dinding kayu tua. “Kayak mau runtuh.” Rian menatap pintu kecil di depan mereka, pintu yang baru muncul beberapa jam lalu retakan tipis yang mengeluarkan cahaya samar, seperti undangan atau perangkap. “Ini bukan pintu biasa,” katanya pelan. Liora melangkah maju. Rambutnya bergerak pelan saat angin lewat. “Aku bisa merasakannya… ada sesuatu yang menunggu di balik sana.” Ia menelan ludah. “Sesuatunya tidak kecil.” Kael tertawa pendek. “Hahaha… bagus. Aku sudah bosan dengan orang-orang kecil.” Liora memelototinya. “Kau bisa berhenti sok berani satu menit?” “Tidak,” jawab Kael cepat. “Sudah dari lahir begitu.” Rian mengangkat tangan. “Diam dulu. Dengar.” Mereka semua menegang. Ada suara dari balik pintu retak itu

  • Kultivator Jiwa Modern   Bab 169 — Masuk ke Retakan

    Retakan kedua masih berdenyut pelan, memunculkan cahaya biru pucat seperti napas terakhir dunia. Angin mengalir dingin. Kael berdiri paling depan, memegang kristal Bara erat-erat. Gerry menatap retakan itu sambil menggosok tengkuknya. “Sial… aku nggak percaya kita beneran mau masuk. Ini gila.” Sena menjitak kepala Gerry. “Brengsek, jangan bikin aku makin takut!” “AUH! Heh… aku cuma jujur!” Noir menggonggong dua kali. “ARF! ARF!” Kael menatap mereka bertiga. “Dengar. Begitu kita masuk… kita nggak tahu apa yang ada di sana. Kita mungkin terpisah. Atau langsung diserang.” Sena menelan ludah. “Kael, jangan ngomong begitu terus… aku bisa kabur sekarang.” Gerry tertawa kecil. “Hahaha… kabur kemana? Udara aja dingin banget sampai jantungku gemeter.” Kael menarik napas dalam. “Baik. Kita masuk dalam hitungan tiga.” Sena langsung panik. “TIGA!? Kok cepat banget?!” “Kalau kelamaan, nyali kalian hilang.” “Eh, KAEL!” Tapi Kael tetap melanjutkan. “Satu.” Sena menutup wajahnya. “Aduu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status