Share

bab 4. Siapa lelaki itu?

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2024-10-08 02:37:01

Bab 4. Siapa lelaki itu?

Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. 

Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. 

“Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. 

Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”

Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."

“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum.

Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat putrinya, yang tampak berantakan dengan wajah sembab dan rambut acak-acakan.

“Nak! Kamu kenapa?” serunya, menghampiri dengan cepat. Tangannya langsung merengkuh lengan putrinya, memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki dengan penuh kekhawatiran.

Si gadis menatap ibunya, berusaha menenangkan, meskipun matanya masih sembab. “Aku nggak apa-apa, Bu. Tadi… aku cuma—”

Ibunya memandang putrinya dengan penuh rasa khawatir, tangan yang masih menggenggam lengannya tak lepas dari dekapan. "Jelaskan pada Ibu apa yang terjadi, Sayang. Kenapa kamu terlihat seperti ini? Dan… kenapa kamu jalan kaki? Bukankah kamu seharusnya diantar sama Aldo?"

Gadis itu menunduk, tampak ragu untuk menjawab. Matanya berkaca-kaca lagi, seolah berjuang untuk menahan tangis yang hampir pecah. Aku tetap berdiri di dekat pintu, merasa tak nyaman namun tak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Bu... maaf," katanya dengan suara bergetar. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk sambil mengusap sudut matanya yang kembali berkaca-kaca. “Kami lagi bertengkar, Bu… jadi aku maksa turun dari mobil dan memilih jalan kaki,” ucapnya pelan. 

Ibunya menghela napas panjang, raut wajahnya tak lagi sekadar khawatir, tapi mulai bercampur bingung. “Lalu kenapa sampai terlihat berantakan begini? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Si gadis tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, suaranya semakin kecil. “Tadi... di jalan, ada preman yang mencegat aku,” katanya, lalu, sambil menunjuk ke arahku, menambahkan, “Untung ada Mbak ini, jadi mereka kabur. Kalau nggak...”

Suaranya patah, tak mampu melanjutkan. Ibu gadis itu menatapku, terperangah, dengan kekhawatiran yang tampak semakin dalam. Dia menarik putrinya ke dalam pelukannya, mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan.

“Ya ampun, Sayang… daritadi kakakmu cari kamu, kamu belum bertemu dengannya?” tanyanya dengan suara bergetar, berusaha meredam kemarahan dan ketakutannya sekaligus.

 "Dan terima kasih, owh ya nama kamu siapa, Nak, terima kasih sekali lagi … saya nggak bisa bayangkan kalau kamu nggak ada di sana."

“Saya Rania, Bu,” kataku pelan, memperkenalkan diri. “Tadi saya hanya kebetulan bertemu dan membantu mengantarnya pulang.”

“Terima kasih, Rania,” ujarnya dengan wajah tersenyum lembut ke arahku. 

Aku mengangguk. 

Ibunya menggenggam bahu putrinya, menuntunnya masuk ke dalam rumah. Begitu melihatku masih berdiri ragu di dekat pintu, dia menoleh dan tersenyum tipis, meski masih ada jejak kekhawatiran di wajahnya.

“Rania, ayo masuk. Kamu sudah banyak membantu malam ini, biar Ibu buatkan teh hangat untuk kamu,” ucapnya lembut.

Aku mengangguk pelan, menerima tawarannya. Begitu masuk, suasana rumahnya terasa hangat, nyaman, dengan aroma lembut dari bunga di meja ruang tamu. Aku duduk di sofa yang ditunjukkan, sementara ibu gadis itu bergegas menuju dapur. Si gadis sendiri duduk di sebelahku, masih tampak lelah, namun mulai tenang.

Tak lama kemudian, ibunya kembali membawa nampan berisi dua cangkir teh. Dia meletakkannya di meja, lalu duduk di depan kami, menatapku dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

“Terima kasih sekali, Rania. Tidak semua orang mau berhenti dan membantu orang asing seperti itu,” katanya, menyerahkan cangkir teh hangat padaku.

Aku tersenyum dan menerima cangkirnya. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya kebetulan lewat dan melihat dia butuh bantuan.”

Ibunya menatapku dengan senyum hangat dan berkata, “Oh ya, rumah kamu di sebelah mana, Rania? Biar nanti kami antar pulang kalau sudah selesai istirahat di sini.”

Aku menggigit bibir, merasa sedikit canggung. “Sebenarnya nggak jauh, Bu, saya tinggal—”

Namun, sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, suara pintu yang terbuka keras mengalihkan perhatian kami. Seorang pria muda dengan wajah panik dan penuh kekecewaan berdiri di ambang pintu, pandangannya segera jatuh pada gadis yang duduk di sebelahku.

“Lia!” serunya dengan nada tegas, jelas-jelas kecewa sekaligus lega akhirnya menemukan adiknya di sana. Tatapannya lalu beralih padaku, dan alisnya sedikit terangkat, seolah bertanya-tanya siapa aku dan apa yang terjadi.

Ibunya segera berdiri, mencoba meredam ketegangan. “Adrian, tenang. Lia baik-baik saja. Ini Rania yang tadi membantu adikmu sampai rumah,” jelasnya dengan suara lembut namun tegas.

Lelaki itu tampak terkejut, wajahnya berubah seketika begitu mendengar namaku. Tanpa pikir panjang, dia melangkah cepat ke arahku, hingga jarak di antara kami hanya tinggal beberapa inci. 

“Kamu… Rania?” tanyanya, suaranya bergetar dengan nada yang sulit dijelaskan. Sebelum aku sempat merespons, tangannya tiba-tiba terangkat dan menggenggam wajahku dengan lembut, seolah memastikan sesuatu yang sulit ia percayai.

Aku terkejut, tak tahu harus berkata apa. Tatapannya dalam, seperti sedang mencari jawaban di mataku, dan suasana di ruang tamu mendadak hening. 

"Adrian, kamu...," Ibunya langsung menegur pelan, tampak bingung namun tetap berusaha mengendalikan situasi. Adrian tersadar, segera menurunkan tangannya dengan cepat, wajahnya berubah canggung.

“Maaf,” gumamnya sambil menunduk. "Aku hanya… terkejut aja.”

Aku merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat saat Adrian menurunkan tangannya. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa tidak asing, meskipun aku tidak bisa mengingat kapan atau di mana kami pernah bertemu.

“Siapa lelaki ini?” pikirku, merasa bingung. Ada aura tertentu di dalam tatapannya yang membuatku merasa seolah kami pernah berhubungan, meskipun baru pertama kali bertemu.

Ibunya menyadari kebingungan di wajahku dan segera menjelaskan, “Ini Adrian, kakak Lia. Dia baru saja pulang dan sangat khawatir dengan adiknya.”

Aku mengangguk, mencoba mengingat lebih jauh, tetapi tetap saja wajah Adrian terlihat akrab di mataku. “Maaf… tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku pelan, tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

Bukannya menjawab, lelaki itu hanya menatapku lama dan membuatku merasa tidak enak sendiri. 

Aku beringsut, mengalihkan pandanganku darinya lalu segera menunduk dengan otak berpikir keras dengan lelaki yang ada di depanku ini.

Bab 4. Siapa lelaki itu?

Aku membimbing langkahnya pelan, memastikan dia tak tergesa-gesa. Rumahnya ternyata tak begitu jauh dari rumahku, hanya di ujung jalan yang sama. Sepanjang perjalanan, suasana sunyi, hanya suara langkah kami yang bergaung pelan di jalan sepi itu. 

Sesekali, aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak lelah dan mata sembab akibat tangis yang belum sepenuhnya reda. 

“Kamu baik sekali, terima kasih sudah membantuku,” ucapnya serak, memaksakan senyum. 

Aku menepuk bahunya lagi. “Jangan dipikirkan, kamu sudah aman sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”

Ketika kami tiba di depan rumahnya, dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa terima kasih. "Aku nggak tahu bagaimana aku bisa membalas semua ini."

“Kamu nggak perlu berpikir untuk membalas. Yang penting kamu baik-baik aja,” balasku, sedikit tersenyum.

Begitu kami sampai di depan rumah, pintu langsung terbuka, dan seorang wanita muncul dari dalam dengan ekspresi panik. Matanya melebar saat melihat putrinya, yang tampak berantakan dengan wajah sembab dan rambut acak-acakan.

“Nak! Kamu kenapa?” serunya, menghampiri dengan cepat. Tangannya langsung merengkuh lengan putrinya, memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki dengan penuh kekhawatiran.

Si gadis menatap ibunya, berusaha menenangkan, meskipun matanya masih sembab. “Aku nggak apa-apa, Bu. Tadi… aku cuma—”

Ibunya memandang putrinya dengan penuh rasa khawatir, tangan yang masih menggenggam lengannya tak lepas dari dekapan. "Jelaskan pada Ibu apa yang terjadi, Sayang. Kenapa kamu terlihat seperti ini? Dan… kenapa kamu jalan kaki? Bukankah kamu seharusnya diantar sama Aldo?"

Gadis itu menunduk, tampak ragu untuk menjawab. Matanya berkaca-kaca lagi, seolah berjuang untuk menahan tangis yang hampir pecah. Aku tetap berdiri di dekat pintu, merasa tak nyaman namun tak bisa meninggalkannya begitu saja.

"Bu... maaf," katanya dengan suara bergetar. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk sambil mengusap sudut matanya yang kembali berkaca-kaca. “Kami lagi bertengkar, Bu… jadi aku maksa turun dari mobil dan memilih jalan kaki,” ucapnya pelan. 

Ibunya menghela napas panjang, raut wajahnya tak lagi sekadar khawatir, tapi mulai bercampur bingung. “Lalu kenapa sampai terlihat berantakan begini? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Si gadis tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, suaranya semakin kecil. “Tadi... di jalan, ada preman yang mencegat aku,” katanya, lalu, sambil menunjuk ke arahku, menambahkan, “Untung ada Mbak ini, jadi mereka kabur. Kalau nggak...”

Suaranya patah, tak mampu melanjutkan. Ibu gadis itu menatapku, terperangah, dengan kekhawatiran yang tampak semakin dalam. Dia menarik putrinya ke dalam pelukannya, mengusap-usap punggungnya untuk menenangkan.

“Ya ampun, Sayang… daritadi kakakmu cari kamu, kamu belum bertemu dengannya?” tanyanya dengan suara bergetar, berusaha meredam kemarahan dan ketakutannya sekaligus.

 "Dan terima kasih, owh ya nama kamu siapa, Nak, terima kasih sekali lagi … saya nggak bisa bayangkan kalau kamu nggak ada di sana."

“Saya Rania, Bu,” kataku pelan, memperkenalkan diri. “Tadi saya hanya kebetulan bertemu dan membantu mengantarnya pulang.”

“Terima kasih, Rania,” ujarnya dengan wajah tersenyum lembut ke arahku. 

Aku mengangguk. 

Ibunya menggenggam bahu putrinya, menuntunnya masuk ke dalam rumah. Begitu melihatku masih berdiri ragu di dekat pintu, dia menoleh dan tersenyum tipis, meski masih ada jejak kekhawatiran di wajahnya.

“Rania, ayo masuk. Kamu sudah banyak membantu malam ini, biar Ibu buatkan teh hangat untuk kamu,” ucapnya lembut.

Aku mengangguk pelan, menerima tawarannya. Begitu masuk, suasana rumahnya terasa hangat, nyaman, dengan aroma lembut dari bunga di meja ruang tamu. Aku duduk di sofa yang ditunjukkan, sementara ibu gadis itu bergegas menuju dapur. Si gadis sendiri duduk di sebelahku, masih tampak lelah, namun mulai tenang.

Tak lama kemudian, ibunya kembali membawa nampan berisi dua cangkir teh. Dia meletakkannya di meja, lalu duduk di depan kami, menatapku dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

“Terima kasih sekali, Rania. Tidak semua orang mau berhenti dan membantu orang asing seperti itu,” katanya, menyerahkan cangkir teh hangat padaku.

Aku tersenyum dan menerima cangkirnya. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya kebetulan lewat dan melihat dia butuh bantuan.”

Ibunya menatapku dengan senyum hangat dan berkata, “Oh ya, rumah kamu di sebelah mana, Rania? Biar nanti kami antar pulang kalau sudah selesai istirahat di sini.”

Aku menggigit bibir, merasa sedikit canggung. “Sebenarnya nggak jauh, Bu, saya tinggal—”

Namun, sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, suara pintu yang terbuka keras mengalihkan perhatian kami. Seorang pria muda dengan wajah panik dan penuh kekecewaan berdiri di ambang pintu, pandangannya segera jatuh pada gadis yang duduk di sebelahku.

“Lia!” serunya dengan nada tegas, jelas-jelas kecewa sekaligus lega akhirnya menemukan adiknya di sana. Tatapannya lalu beralih padaku, dan alisnya sedikit terangkat, seolah bertanya-tanya siapa aku dan apa yang terjadi.

Ibunya segera berdiri, mencoba meredam ketegangan. “Adrian, tenang. Lia baik-baik saja. Ini Rania yang tadi membantu adikmu sampai rumah,” jelasnya dengan suara lembut namun tegas.

Lelaki itu tampak terkejut, wajahnya berubah seketika begitu mendengar namaku. Tanpa pikir panjang, dia melangkah cepat ke arahku, hingga jarak di antara kami hanya tinggal beberapa inci. 

“Kamu… Rania?” tanyanya, suaranya bergetar dengan nada yang sulit dijelaskan. Sebelum aku sempat merespons, tangannya tiba-tiba terangkat dan menggenggam wajahku dengan lembut, seolah memastikan sesuatu yang sulit ia percayai.

Aku terkejut, tak tahu harus berkata apa. Tatapannya dalam, seperti sedang mencari jawaban di mataku, dan suasana di ruang tamu mendadak hening. 

"Adrian, kamu...," Ibunya langsung menegur pelan, tampak bingung namun tetap berusaha mengendalikan situasi. Adrian tersadar, segera menurunkan tangannya dengan cepat, wajahnya berubah canggung.

“Maaf,” gumamnya sambil menunduk. "Aku hanya… terkejut aja.”

Aku merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat saat Adrian menurunkan tangannya. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa tidak asing, meskipun aku tidak bisa mengingat kapan atau di mana kami pernah bertemu.

“Siapa lelaki ini?” pikirku, merasa bingung. Ada aura tertentu di dalam tatapannya yang membuatku merasa seolah kami pernah berhubungan, meskipun baru pertama kali bertemu.

Ibunya menyadari kebingungan di wajahku dan segera menjelaskan, “Ini Adrian, kakak Lia. Dia baru saja pulang dan sangat khawatir dengan adiknya.”

Aku mengangguk, mencoba mengingat lebih jauh, tetapi tetap saja wajah Adrian terlihat akrab di mataku. “Maaf… tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku pelan, tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

Bukannya menjawab, lelaki itu hanya menatapku lama dan membuatku merasa tidak enak sendiri. 

Aku beringsut, mengalihkan pandanganku darinya lalu segera menunduk dengan otak berpikir keras dengan lelaki yang ada di depanku ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 22. ke acara keluarga Suami

    Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 21. Diajak bertemu keluarganya

    “Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 20. Salah paham

    Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 19. Cemas

    Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 18. Ajakan makan malam

    Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 17. perhatian Adrian

    Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 16. Penjelasan

    “Rania?”Aku menoleh, dan Adrian berdiri di sana, di dekat meja kerjaku. Aku terkejut. “Adrian? Kenapa ke sini lagi?”Dia tersenyum tipis, matanya menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Kebetulan aku sedang ada rapat di lantai ini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik saja. Terima kasih, Adrian.”Dia mengangguk, lalu berkata, “Bagus kalau begitu. Tapi jangan lupa, kalau ada apa-apa, aku di sini.”Suaranya begitu tulus, dan entah mengapa, aku merasakan dorongan semangat baru. Setelah dia pergi, aku kembali menatap layar ponselku, membaca pesan-pesan tadi. Kali ini, senyum kecil terlukis di wajahku. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendiri lagi.Hari menanjak naik, akhirnya hari pertama kerja terlewati juga. Aku merenggangkan otot sejenak, sebelum akhirnya bersiap pulang. “Ayo kita keliling sekarang!” ajak Sabrina penuh semangat, menggandeng lenganku dengan antusias.Aku mengang

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 15. Status Andre ternyata ...

    Aku menatap Sabrina dengan bingung. “Iri? Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, mencoba menahan tawa kecil.Sabrina mencondongkan tubuh ke arahku, suaranya setengah berbisik. “Karena Adrian, siapa lagi?”“Adrian?” Aku mengerutkan dahi, masih belum paham arah pembicaraannya.Sabrina mengangguk cepat, matanya berbinar seperti sedang menyampaikan gosip paling menarik di dunia. “Iya! Kamu tahu kan dia siapa?”Aku menggeleng pelan, bingung dengan reaksinya. “Ya, dia teman lamaku. Kenapa memangnya?”Sabrina mendengus, lalu menatapku seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh. “Dia atasan kita, Rania. Salah satu pemegang saham di sini. Dan tadi... dia berjalan langsung ke meja kamu. Semua orang pasti iri!”Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Adrian? Pemegang saham? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu.“Kamu enggak bercanda, kan?” tanyaku pelan.“Mana mungkin aku bercanda soal hal sepenting ini? Dia jarang banget turun langsung ke lantai ini, apalagi be

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   bab 14. Di kantor.

    Aku menatap wanita itu dari atas ke bawah, memastikan apa yang kulihat benar adanya. Ya, memang dia. Wanita yang pernah datang ke rumah Danu dengan penuh percaya diri, seolah-olah memiliki hak atas segalanya.“Wah, jadi kamu ke sini untuk mengikuti aku, ya?” cetusnya tiba-tiba, dengan nada penuh ejekan.Aku mengerutkan kening, masih berusaha mencerna situasi ini, sementara dia melangkah mendekat dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.“Lihat, setelah suaminya meninggalkannya, dia pasti ke sini untuk mengejar aku,” lanjutnya tanpa ragu. “Duh, kasihan sekali. Benar-benar menyedihkan.”Beberapa rekan kerja yang tadi sibuk dengan percakapan masing-masing kini berhenti, menatap kami berdua dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan mata mereka yang mulai bergulir, menilai situasi ini.Aku menarik napas dalam, menahan emosi yang mulai bergejolak. Tidak, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakan ini. Tidak kali ini.“Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk hal-hal yan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status