Share

Bab 2 Sesak napas

Penulis: Reg Eryn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-18 20:52:53

"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang. 

"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.

Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.

Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah. 

"Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku.

"Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik.

"Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat.

"Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul diucapkan, maka tanggung jawab atas sepenuhnya diriku akan berpindah tangan pada Abang. Bahkan, orang tuaku sedikitpun tak ada lagi hak terhadapku. Aku juga dilarang untuk memberi sedikit gajiku pada orang tua. Aku ini, ibarat kata sudah 'Dibeli' oleh keluarga abang. Jadi, aku memberi harga lima Milyar saja. Tidak lebih dan tidak kurang," jawabku enteng.

"Tapi itu berlebihan, Ran! Di mana-mana, mahar paling banyak ratusan juta. Itu pun untuk seorang wanita yang berpendidikan tinggi dan sudah berprofesi sebagai dokter, dosen, bidan. Lah kamu, paling cuma tamat SMA, yang tak mengeluarkan banyak biaya," protes Bang Jali merendahkanku.

Emang dia pikir, hanya dokter, dosen, bidan, tentara, dan polisi saja, yang membutuhkan banyak biaya. Meskipun hanya tamatan SMA, yang digunakan orang tuaku tetaplah uang. Bukan daun jambu yang tumbuh subur tanpa di tanam, lalu memetiknya sesuka hati. Enak saja bibirnya kalau ngomong!

Katanya sekolah tinggi sampe jadi sarjana. Tapi kok pikirannya sempit, kaya semvak kekecilan!

"Siapa bilang hanya tamat SMA saja tidak banyak mengeluarkan biaya? Abang bayangkan saja. Dari satu hari aku di dalam kandungan ibu, dia sudah memberiku makanan dan minuman. Hitunglah berapa uang yang harus dikeluarkan perharinya hingga usia kandungan sembilan bulan sepuluh hari. Belum lagi saat aku dilahirkan. Berapa biaya persalinannya serta pakaian yang mereka beli. Terus, yang namanya melahirkan taruhannya nyawa. Masa orang yang sedang bertaruh nyawa untuk kehidupanku tidak diperhitungkan bayarannya? Belum lagi setetes Asi yang tiap harinya kuminum untuk membentuk darah dan dagingku. Bayangkan bila susu formula, satu kotaknya sepuluh ribu pada zaman dahulu. Sampai aku berumur dua tahun, berapa kotak yang telah kuhabiskan. Tapi, karena aku hanya meminum Asi, kamu tahukan harga Asi lebih mahal ketimbang susu formula. Maka kamu hitung tiap tetesnya dan di kalikan seribu rupiah. Aku yang baru dilahirkan, belum bisa melakukan apa-apa. Jadi saat aku pup, pipis, semua yang mengganti pakaian adalah orang tuaku. Tak peduli malam mereka terkantuk tetap saja pakaianku selalu diganti saat basah. Hitunglah biaya begadang mereka, dan anggaplah sebagai baby sister." Aku menjeda perkataanku untuk menarik napa panjang dan melanjutkan perhitungan. 

"Jangan lupa, hitung juga ilmu yang mereka berikan padaku. Anggap saja sebagai guru yang harus dibayarkan gajinya. Dari aku mulai belajar angkat kepala, telungkup, merangkak, berdiri, jalan dan berbicara. Semua orang tuaku yang mengajarkannya. Jangan lupa pendidikanku dari mulai TK, SD, SMP hingga SMA, sudah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk makan, biaya sekolah -"

"Cukup! Saya tidak mau lagi mendengar rincian kamu!" ucap calon ibu mertua menghentikan perhitungku.

Kipas yang kini berada di tangannya, ia kipaskan dengan begitu keras. Sepertinya dia sedang emosi.

Hmmm, inilah akibat dari ulah anakmu, Bu! 

"Seperti ucapan anak saya, kami tidak pernah mendengar mahar sebesar ini!" ucapnya ketus. Wajahnya sudah berubah, dari yang awalnya datang dengan ceria serta memamerkan gelangnya. Kini, seperti cacing kepanasan yang dari tadi gerak kesana kemari tidak jelas.

"Ya, makanya kali ini ibu dengar dari saya. Kan tadi ibu sendiri yang bilang, bukankah seorang wanita wajib meminta mahar pada calon suaminya. Makanya, aku meminta dengan jumlah yang pas dengan pengorbananku  nanti setelah jadi istri Bang Jali," sahutku santai.

"Iya, memang benar. Tapi, wanita yang baik adalah yang meringankan maharnya,"

Nah, kalau sudah begini, baru ingat wanita yang baik yang meringankan maharnya. Lalu bagaimana dengan lelaki yang baik? Apakah yang menelantarkan mertuanya, setelah menikahi anaknya?

Bukankah lebih baik, jika suami istri saling membantu dan adil terhadap orang tua dan mertuanya? 

Meskipun anak lelaki harus berbakti pada ibunya sampai kapanpun. Karena sang ibu telah melahirkan dan membesarkannya. Seharusnya, suami juga paham, jika istri juga dilahirkan oleh seorang ibu. Bukan lahir dari kedebok pisang!

"Ya, kalau maharnya ringan. Orang tua saya nggak balik modal dong membesarkan saya! Kan Bang Jali sendiri yang mengatakan istri itu ibarat kata 'Dibeli'. Makanya saya memberi harga yang cocok. Bayangkan saja, ibu saya harus kehilangan anaknya yang selama dua puluh lima tahun dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Setelah menikah, anaknya tak boleh lagi, memberinya uang belanja, atau pun mengunjunginya. Sepertinya semua itu nggak seberapa. Cuma lima Milyar loh. Pasti nggak ada apa-apanya  bagi kalian. Itu hanya seujung kuku!"

"Rani, sebenarnya kamu mau mempermalukan keluargaku di sini kan? Dengan meminta mahar yang fantastis?" 

"Siapa yang mau mempermalukan abang? Aku, seumur hidup loh, hidup dengan Abang dan harus bekerja juga membantu keuangan. Bayangkan uang yang akan aku hasilkan selama sisa hidup. Pasti lebih banyak ketimbang Mahar itu. Jadi, Abang nggak akan rugi."

"Tapi tidak segitu juga kali!"

"Oh, begitu. Menurut Abang itu masih kurang? Baiklah, genapkan saja menjadi sepuluh milyar!" ucapku enteng dengan senyuman tanpa salah dan dosa.

"Pak, kayaknya Ibu butuh oksigen!" Calon Ibu mertuaku seperti kekurangan oksigen. Napasnya menjadi tersengal-sengal sambil memegangi dadanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 71

    Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 70

    Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 69

    "Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 68

    Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 67

    Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 66

    Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status