Share

Bab 2 Sesak napas

"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang. 

"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.

Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.

Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah. 

"Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku.

"Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik.

"Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat.

"Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul diucapkan, maka tanggung jawab atas sepenuhnya diriku akan berpindah tangan pada Abang. Bahkan, orang tuaku sedikitpun tak ada lagi hak terhadapku. Aku juga dilarang untuk memberi sedikit gajiku pada orang tua. Aku ini, ibarat kata sudah 'Dibeli' oleh keluarga abang. Jadi, aku memberi harga lima Milyar saja. Tidak lebih dan tidak kurang," jawabku enteng.

"Tapi itu berlebihan, Ran! Di mana-mana, mahar paling banyak ratusan juta. Itu pun untuk seorang wanita yang berpendidikan tinggi dan sudah berprofesi sebagai dokter, dosen, bidan. Lah kamu, paling cuma tamat SMA, yang tak mengeluarkan banyak biaya," protes Bang Jali merendahkanku.

Emang dia pikir, hanya dokter, dosen, bidan, tentara, dan polisi saja, yang membutuhkan banyak biaya. Meskipun hanya tamatan SMA, yang digunakan orang tuaku tetaplah uang. Bukan daun jambu yang tumbuh subur tanpa di tanam, lalu memetiknya sesuka hati. Enak saja bibirnya kalau ngomong!

Katanya sekolah tinggi sampe jadi sarjana. Tapi kok pikirannya sempit, kaya semvak kekecilan!

"Siapa bilang hanya tamat SMA saja tidak banyak mengeluarkan biaya? Abang bayangkan saja. Dari satu hari aku di dalam kandungan ibu, dia sudah memberiku makanan dan minuman. Hitunglah berapa uang yang harus dikeluarkan perharinya hingga usia kandungan sembilan bulan sepuluh hari. Belum lagi saat aku dilahirkan. Berapa biaya persalinannya serta pakaian yang mereka beli. Terus, yang namanya melahirkan taruhannya nyawa. Masa orang yang sedang bertaruh nyawa untuk kehidupanku tidak diperhitungkan bayarannya? Belum lagi setetes Asi yang tiap harinya kuminum untuk membentuk darah dan dagingku. Bayangkan bila susu formula, satu kotaknya sepuluh ribu pada zaman dahulu. Sampai aku berumur dua tahun, berapa kotak yang telah kuhabiskan. Tapi, karena aku hanya meminum Asi, kamu tahukan harga Asi lebih mahal ketimbang susu formula. Maka kamu hitung tiap tetesnya dan di kalikan seribu rupiah. Aku yang baru dilahirkan, belum bisa melakukan apa-apa. Jadi saat aku pup, pipis, semua yang mengganti pakaian adalah orang tuaku. Tak peduli malam mereka terkantuk tetap saja pakaianku selalu diganti saat basah. Hitunglah biaya begadang mereka, dan anggaplah sebagai baby sister." Aku menjeda perkataanku untuk menarik napa panjang dan melanjutkan perhitungan. 

"Jangan lupa, hitung juga ilmu yang mereka berikan padaku. Anggap saja sebagai guru yang harus dibayarkan gajinya. Dari aku mulai belajar angkat kepala, telungkup, merangkak, berdiri, jalan dan berbicara. Semua orang tuaku yang mengajarkannya. Jangan lupa pendidikanku dari mulai TK, SD, SMP hingga SMA, sudah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk makan, biaya sekolah -"

"Cukup! Saya tidak mau lagi mendengar rincian kamu!" ucap calon ibu mertua menghentikan perhitungku.

Kipas yang kini berada di tangannya, ia kipaskan dengan begitu keras. Sepertinya dia sedang emosi.

Hmmm, inilah akibat dari ulah anakmu, Bu! 

"Seperti ucapan anak saya, kami tidak pernah mendengar mahar sebesar ini!" ucapnya ketus. Wajahnya sudah berubah, dari yang awalnya datang dengan ceria serta memamerkan gelangnya. Kini, seperti cacing kepanasan yang dari tadi gerak kesana kemari tidak jelas.

"Ya, makanya kali ini ibu dengar dari saya. Kan tadi ibu sendiri yang bilang, bukankah seorang wanita wajib meminta mahar pada calon suaminya. Makanya, aku meminta dengan jumlah yang pas dengan pengorbananku  nanti setelah jadi istri Bang Jali," sahutku santai.

"Iya, memang benar. Tapi, wanita yang baik adalah yang meringankan maharnya,"

Nah, kalau sudah begini, baru ingat wanita yang baik yang meringankan maharnya. Lalu bagaimana dengan lelaki yang baik? Apakah yang menelantarkan mertuanya, setelah menikahi anaknya?

Bukankah lebih baik, jika suami istri saling membantu dan adil terhadap orang tua dan mertuanya? 

Meskipun anak lelaki harus berbakti pada ibunya sampai kapanpun. Karena sang ibu telah melahirkan dan membesarkannya. Seharusnya, suami juga paham, jika istri juga dilahirkan oleh seorang ibu. Bukan lahir dari kedebok pisang!

"Ya, kalau maharnya ringan. Orang tua saya nggak balik modal dong membesarkan saya! Kan Bang Jali sendiri yang mengatakan istri itu ibarat kata 'Dibeli'. Makanya saya memberi harga yang cocok. Bayangkan saja, ibu saya harus kehilangan anaknya yang selama dua puluh lima tahun dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Setelah menikah, anaknya tak boleh lagi, memberinya uang belanja, atau pun mengunjunginya. Sepertinya semua itu nggak seberapa. Cuma lima Milyar loh. Pasti nggak ada apa-apanya  bagi kalian. Itu hanya seujung kuku!"

"Rani, sebenarnya kamu mau mempermalukan keluargaku di sini kan? Dengan meminta mahar yang fantastis?" 

"Siapa yang mau mempermalukan abang? Aku, seumur hidup loh, hidup dengan Abang dan harus bekerja juga membantu keuangan. Bayangkan uang yang akan aku hasilkan selama sisa hidup. Pasti lebih banyak ketimbang Mahar itu. Jadi, Abang nggak akan rugi."

"Tapi tidak segitu juga kali!"

"Oh, begitu. Menurut Abang itu masih kurang? Baiklah, genapkan saja menjadi sepuluh milyar!" ucapku enteng dengan senyuman tanpa salah dan dosa.

"Pak, kayaknya Ibu butuh oksigen!" Calon Ibu mertuaku seperti kekurangan oksigen. Napasnya menjadi tersengal-sengal sambil memegangi dadanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status