"Jangan keterlaluan kamu, Rani! Jika maharnya sebesar itu, mana ada lelaki yang mau jadi suamimu!" ucap Bang Jali, meninggikan suaranya.
"Hush! Jangan ngomong begitu! Kalau persyaratan menjadi istrimu juga seperti itu, nggak akan ada yang mau jadi istrimu!" jawabku masih santai. Meladeni orang seperti dia, tak perlu dengan emosi juga. Dengan begini saja, pasti dia semakin kebakaran jenggot.
"Kamu tidak tahu saja, banyak yang mengantri untuk menjadi istriku. Apalagi pekerjaanku sudah mapan. Seharusnya kamu bersyukur, karena beruntung akan menjadi istri seorang PNS!"
Beruntung apanya? Yang ada malah buntung. Mending dapat suami buruh tani, tapi mau bekerja sama dan saling membantu untuk orang tua. Daripada dapat PNS, maunya menang sendiri.
"Ya, karena mereka yang antre, belum tahu kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani setelah menikah. Makanya mereka sampai rela antre. Coba kalau sudah tahu akan dijadikan romusha, pasti mereka semua kabur satu persatu."
"Romusha bagaimana maksudmu?"
"Ya, itu! Kerja beresin rumah, kerja bantu cari duit juga. Terus kapan istri istirahatnya? Punya suami kok kayak dijajah Jepang!"
"Sudah menjadi tugas istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga!" Dia terus saja kekeuh pada pendiriannya.
"Dan sudah menjadi tugas suami mencari nafkah!" balasku tak mau kalah.
"Istri bekerja mencari uang, hanya untuk membantu keuangan suaminya, agar bisa cepat memiliki rumah sendiri. Emang mau selamanya menumpang dengan mertua?"
"Sandang, pangan, papan, itu adalah tanggung jawab suami, bukan istri. Tanggung jawab istri, menjaga harta suami, mendidik anak. Tak ada mencari nafkah agar terpenuhi papannya."
Bang Jali terdiam. Hidungnya kembang kempis seperti menahan amarah.
Jika tak sanggup untuk memenuhi segala kebutuhan istri, untuk apa menikah coba? Aku juga tak sebodoh yang dia pikirkan. Mana mungkin mau menjadi babu plus-plus. Bukannya dapat gaji, malah kerja bakti. Sorry, dory strawberry!
Suasana yang awalnya adem ayem, kini berubah rusuh. Acara lamaran berubah menjadi acara debat sengit. Bang Jali, seakan merasa paling benar, dengan segala pemikirannya. Dan aku merasa semua pemikiran lelaki itu salah dan harus dibenahi.
Sebenarnya, aku juga akan meringankan beban suami dengan tidak mempersulit mahar. Tapi, karena calon suami seperti Bang Jali, makanya aku akan minta setinggi langit dan seindah bulan.
"Rumah butut, pekerjaan hanya sebagai buruh pabrik, tapi mahar minta milyaran rupiah. Nggak tahu malu! Daripada mengeluarkan uang banyak, dan dapat istrinya kamu, lebih baik aku melamar Ayu ting-ting! yang sudah jelas dalam segala hal!" sungut Bang Jali.
Geli sekali melihatnya seperti itu. Baru bekerja sebagai guru yang kebetulan sudah negri saja, sok mau melamar artis. Paling berapalah gaji dia sebulannya. Kurasa gajiku sebagai mandor di pabrik sama besarnya dengan dia.
Ternyata lelaki jika sudah kalah telak, akan menghina sampai ke akarnya. Aku pikir, wanita saja yang bisa seperti itu.
"Ya, silahkan Bang. Lamar saja Ayu ting-ting. Palingan, masih sampai pintu gerbangnya, abang sudah diusir," ucapku cekikikan. Dan tentu saja membuat lelaki itu semakin marah. Wajahnya sudah merah padam seperti tersiram air mendidih.
"Ayo, Bu, Pak, kita pulang saja. Batalkan pernikahan ini. Jangan lupa, cincin tunangannya ambil kembali!" ucap Bang Jali sengit. Wajah kedua orang tua Bang Jali serta keluarganya juga tak kalah sengit.
Selain menahan malu, mereka juga pasti menahan pipis.
"Alhamdulillah ... " celetukku lantang dan membuat semua orang memandangku dengan aneh.
Bagaimana tidak aneh, biasanya wanita yang gagal menikah akan menangis tersedu-sedu. Sementara aku, malah mengucapkan syukur.
Ibu menyenggol lenganku pelan. Saat tersadar spontan mengucapkan hamdalah, aku langsung menutup mulut dengan kelima jari.
Kulepaskan cincin di jari manis yang sempat disematkan oleh calon ibu mertua.
"Dengan senang hati, kukembalikan cincin pertunangan kita, Bang!" Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Tangan ini langsung menyerahkan sang cincin tepat di telapak tangan mantan calon suami. Tak lupa senyuman termanis kuberikan padanya, sebagai salam perpisahan.
"Kukembalikan dengan ikhlas," bisikku, yang pasti didengar olehnya.
"Ingat, tidak hanya satu cincin, tapi dua cincin yang harus dikembalikan sebagai denda karena pertunangan ini putus!" ucapnya ketus.
"Hey, Bang PNS, yang mutusin kan situ! Rani ya nggak harus balikin dua kali lipatlah. Malah seharusnya, cincin itu hangus alias jadi milik Rani karena Abang yang membatalkannya!" celetuk, Murti tetangga samping rumahku.
Semua tetanggaku, memanggilnya Bang PNS, karena saat berkenalan dia selalu saja mengucapkan gelarnya sebagai guru yang sudah negri.
"Enak saja! Kegagalan pernikahan ini, kan disebabkan oleh dia!" tunjuknya yang tepat di keningku.
"Gara-gara dia meminta mahar yang tak masuk akal, makanya pertunangan ini putus. Jadi, dia harus mengganti rugi dua kali lipat!" lanjutnya, melirik sinis ke arahku.
"Udah Bang, pulang saja! Malu sama gelar sebagai PNS, tapi pertunangan putus, minta ganti dua kali lipat. Macam orang nggak mampu aja, Abang ini!" celetuk Misnah, dan berhasil membuat Bang Jali terdiam.
Bukan karena tetangga mereka membelaku. Tapi karena, semua yang mereka lihat dan dengar makanya semua berada di pihakku. Kecuali keluarga mereka.
Kadang suka heran. Mereka, punya anak perempuan. Apa mau, anaknya diperlakukan seperti itu nantinya? Atau memang sudah begitu adat istiadat keluarga Bang Jali? Entahlah. Malas memikirkannya.
"Sudah miskin! Tidak tahu diri. Untung anakku tidak jadi menikah denganmu!" ucap mantan calon ibu mertua sewot. Sesak napasnya sudah hilang. Berganti dengan keangkuhan.
Calon Bapak mertua juga ikut berdiri. Tapi ia tak mengeluarkan kata, sepatah ataupun duapatah. Hanya wajahnya saja, yang memperlihatkan kekesalan yang begitu besar.
Tak ada lagi ucapan salam, atau pun saling berjabatan tangan. Mereka semua pergi tanpa permisi.
"Daaa ... Selamat mendapatkan mantu Ayu Ting-ting!" teriakku sambil melambaikan tangan.
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela