Share

Bab 7 Penggemar Rahasia

"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu.

Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya.

"He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya.

"Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u

"He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. 

"Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku.

Belum tau aja dia, kalau yang lebih nggak masuk akal itu, adalah tetangganya.

Es teh di gelas sudah tandas kuminum, lontong sayur juga sudah habis dan hanya menyisakan piring bersih berkilau. Ini saatnya membuka suara agar Sinta tak salah paham seperti yang lainnya. Kalau aku diam aja, nanti semua orang berpikir buruk tentangku. Walaupun aku bukan orang yang baik, setidaknya orang lain tidak memandang buruk tentang diriku ini.

"Semua itu tak seperti yang kau bayangkan, Sinta!" ucapku, mengusap mulut pakai tisu. 

"Maksudmu?"

Aku menarik napas dalam. Ngomong sama Sinta, harus secara jelas. Biar dia ngerti. Karena kadang, ot*knya suka eror.

"Kamu bayangkan aja. Siapa wanita yang mau diperistri oleh lelaki yang maunya menang sendiri? Masa setelah menikah, aku nggak boleh kasih uang gajiku sedikit pada ibu. Belum lagi, aku harus tetap bekerja demi membantu keuangannya, dengan alasan agar cepat punya rumah. Sementara dia, boleh saja memberi ibunya uang karena surganya ada di telapak kaki ibunya, dan dia harus patuh karena sudah dilahirkan dan dibesarkan. Terus juga dia bilang kalau istri harus patuh sama suaminya karena ibarat kata sudah 'Dibeli'. Ya udah, kalau menurutnya dibeli, ya aku kasih harga yang sesuai dong," ucapku menjelaskan semuanya panjang lebar. 

"Oh, begitu ceritanya. Gayanya aja selangit. Tapi punya istri mau dijadikan babu. Enak banget dia! Kalau aku jadi kamu, udah langsung tak hih, itu mulutnya."

"Itulah, makanya kuberi mahar yang nggak masuk akal. Biar batal sekalian nikahannya. Karena aku yakin mereka nggak akan sanggup. Dan ternyata benar. Mereka nggak sanggup. Kamu tau, apa yang terjadi habis aku katakan jumlah maharnya?"

Sinta menggeleng.

"Mereka mengataiku. Ibunya ngatain aku nggak tau diri, rumah mau roboh dan lain sebagainya. Anaknya ngatain lebih bagus nikahin Ayu ting-ting ketimbang diriku yang pasti lebih dari Ayu ting-ting ini," ucapku percaya diri.

Iya, lebih hancur maksudnya. Bukan lebih cantik, ya! Kalau cantiknya, sudah pasti aku kalah. Perawatan ratusan juta dengan ratusan rupiah. 

"Halah, gayanya aja selangit. Sok mau ngelamar artis. Diminta iuran masjid aja mencak-mencak, kayak manusia paling terzolimi di muka bumi!" sungut Sinta.

"Itulah tetanggamu!"

"Sebenernya, keluarganya itu, memang terkenal sombong. Apalagi karena Si Jali PNS. Behhh ... Makin menjadi sombongnya. Udah berasa paling kaya di kampung, pokonya. Kamu tau? Gelang yang dipakai ibunya, dari lengan sampe pergelangan tangan. Belum lagi kalungnya gede-gede kayak rantai kapal, cincin dari jempol sampe kelingking, tiap hari selalu pamer. Kemana-mana udah kayak toko emas berjalan. Tapi pelitnya, na'uzubillahiminzalik! Ada orang kesusahan, bukannya ditolongin, ehh malah direndahin. Untung nggak jadi mertuamu!"

"Udah tau gitu, nggak kamu larang pula aku tunangan sama dia! Seharusnya, sebagai teman yang baik, dari awal mencegah temannya terjerumus ke dalam lubang kegelapan!" ucapku sewot.

Kalau dari awal tahu semua tentang keluarganya, pasti pertunangan itu nggak akan terjadi. Ibarat nasi, udah menjadi lontong, nggak akan pernah kembali jadi nasi lagi.

"Ya, mau gimana. Aku melihat di matamu penuh cinta. Makanya, diri ini hanya bisa tutup mata rapat-rapat,"

"Halah! Bilang aja kamu mau menjerumuskanku ke dalam jurang yang berisi harimau sekandang kan?"

"Tidak seperti itu, Roma!"

"Ah, sudahlah, Hani!" ucapku menirukan serial drama jadul.

"Mmmmm, kalau kukenalkan sama yang lain, mau nggak?" tanya Sinta, menaik turunkan alisnya.

"Ah, nanti sama aja dengan Bang Jali."

"Enggak, ini beda. Dia udah lama nanyain kamu terus. Dari nama, tempat tinggal, usia, sampe nomor be-ha!"

"Idungmu! Terus kamu kasih tahu nomor be-haku?"

"Enggaklah, kan aku nggak pernah ngintip kamu mandi! Jadi nggak tau ukurannya."

'Plak!'

Kutampar pahanya, agar dia tersadar dari kerasukan jin dari timur tengah.

"Aduh! Sakit, gi-la!" makinya sambil terus mengusap pahanya.

"Ini serius loh, ada yang mau kenalan sama kamu. Tapi, ya cuma petani. Bukan PNS kayak mantanmu."

"Aku nggak pernah masalah, mau petani, pelaut, pemulung, atau pe yang lainnya. Yang penting, sayang sama aku, dan ibu. Tidak pilih kasih antara orang tua dan mertua."

"Ya, kalau masalah sayang sama mertua atau enggak, aku nggak tau. Kan dia belum pernah nikah sama aku. Kalau dia mantan suamiku barulah aku tau mendetail tentangnya!" ucapnya sok polos.

"Hiihh, memang pikiranmu itu, sesempit lubang hidung! Maksud aku itu, nggak masalah kenalan dengan siapapun gitu. Bukan harus tau mendetail tentangnya juga, SINTA, yang tak punya RAMA!"

"Eh, tapi aku tau kok ukuran semvaknya. L kalau nggak salah!"

"Memang perlu dikasih kaporit, ot-akmu itu! Biar putih bersih, seperti bayi baru lahir!"

"Heheh. Beneran loh, Ran. Kemarin, pas aku lewat di bawah jemurannya, ada semvak laki-laki di sana. Makanya-"

"Makanya kamu kena sawan!" potongku cepat. Bisa makin edyan kalau ngomong sama Sinta. Jarang banget dia warasnya. Sering kumatnya.

Daripada ketularan sawan, lebih bagus kutinggalkan aja dia sendiri di kantin. 

"Rani, tungguin! Aku belum siap makan nih!" teriaknya saat kakiku sudah menjauh darinya.

"Aku ogah nungguin kamu! Yang ada makin sarap!" teriakku meninggalkannya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
regina cancer
lucu ceritanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status