Share

Bab 7 Penggemar Rahasia

Author: Reg Eryn
last update Last Updated: 2022-09-09 19:38:12

"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu.

Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya.

"He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya.

"Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u

"He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. 

"Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku.

Belum tau aja dia, kalau yang lebih nggak masuk akal itu, adalah tetangganya.

Es teh di gelas sudah tandas kuminum, lontong sayur juga sudah habis dan hanya menyisakan piring bersih berkilau. Ini saatnya membuka suara agar Sinta tak salah paham seperti yang lainnya. Kalau aku diam aja, nanti semua orang berpikir buruk tentangku. Walaupun aku bukan orang yang baik, setidaknya orang lain tidak memandang buruk tentang diriku ini.

"Semua itu tak seperti yang kau bayangkan, Sinta!" ucapku, mengusap mulut pakai tisu. 

"Maksudmu?"

Aku menarik napas dalam. Ngomong sama Sinta, harus secara jelas. Biar dia ngerti. Karena kadang, ot*knya suka eror.

"Kamu bayangkan aja. Siapa wanita yang mau diperistri oleh lelaki yang maunya menang sendiri? Masa setelah menikah, aku nggak boleh kasih uang gajiku sedikit pada ibu. Belum lagi, aku harus tetap bekerja demi membantu keuangannya, dengan alasan agar cepat punya rumah. Sementara dia, boleh saja memberi ibunya uang karena surganya ada di telapak kaki ibunya, dan dia harus patuh karena sudah dilahirkan dan dibesarkan. Terus juga dia bilang kalau istri harus patuh sama suaminya karena ibarat kata sudah 'Dibeli'. Ya udah, kalau menurutnya dibeli, ya aku kasih harga yang sesuai dong," ucapku menjelaskan semuanya panjang lebar. 

"Oh, begitu ceritanya. Gayanya aja selangit. Tapi punya istri mau dijadikan babu. Enak banget dia! Kalau aku jadi kamu, udah langsung tak hih, itu mulutnya."

"Itulah, makanya kuberi mahar yang nggak masuk akal. Biar batal sekalian nikahannya. Karena aku yakin mereka nggak akan sanggup. Dan ternyata benar. Mereka nggak sanggup. Kamu tau, apa yang terjadi habis aku katakan jumlah maharnya?"

Sinta menggeleng.

"Mereka mengataiku. Ibunya ngatain aku nggak tau diri, rumah mau roboh dan lain sebagainya. Anaknya ngatain lebih bagus nikahin Ayu ting-ting ketimbang diriku yang pasti lebih dari Ayu ting-ting ini," ucapku percaya diri.

Iya, lebih hancur maksudnya. Bukan lebih cantik, ya! Kalau cantiknya, sudah pasti aku kalah. Perawatan ratusan juta dengan ratusan rupiah. 

"Halah, gayanya aja selangit. Sok mau ngelamar artis. Diminta iuran masjid aja mencak-mencak, kayak manusia paling terzolimi di muka bumi!" sungut Sinta.

"Itulah tetanggamu!"

"Sebenernya, keluarganya itu, memang terkenal sombong. Apalagi karena Si Jali PNS. Behhh ... Makin menjadi sombongnya. Udah berasa paling kaya di kampung, pokonya. Kamu tau? Gelang yang dipakai ibunya, dari lengan sampe pergelangan tangan. Belum lagi kalungnya gede-gede kayak rantai kapal, cincin dari jempol sampe kelingking, tiap hari selalu pamer. Kemana-mana udah kayak toko emas berjalan. Tapi pelitnya, na'uzubillahiminzalik! Ada orang kesusahan, bukannya ditolongin, ehh malah direndahin. Untung nggak jadi mertuamu!"

"Udah tau gitu, nggak kamu larang pula aku tunangan sama dia! Seharusnya, sebagai teman yang baik, dari awal mencegah temannya terjerumus ke dalam lubang kegelapan!" ucapku sewot.

Kalau dari awal tahu semua tentang keluarganya, pasti pertunangan itu nggak akan terjadi. Ibarat nasi, udah menjadi lontong, nggak akan pernah kembali jadi nasi lagi.

"Ya, mau gimana. Aku melihat di matamu penuh cinta. Makanya, diri ini hanya bisa tutup mata rapat-rapat,"

"Halah! Bilang aja kamu mau menjerumuskanku ke dalam jurang yang berisi harimau sekandang kan?"

"Tidak seperti itu, Roma!"

"Ah, sudahlah, Hani!" ucapku menirukan serial drama jadul.

"Mmmmm, kalau kukenalkan sama yang lain, mau nggak?" tanya Sinta, menaik turunkan alisnya.

"Ah, nanti sama aja dengan Bang Jali."

"Enggak, ini beda. Dia udah lama nanyain kamu terus. Dari nama, tempat tinggal, usia, sampe nomor be-ha!"

"Idungmu! Terus kamu kasih tahu nomor be-haku?"

"Enggaklah, kan aku nggak pernah ngintip kamu mandi! Jadi nggak tau ukurannya."

'Plak!'

Kutampar pahanya, agar dia tersadar dari kerasukan jin dari timur tengah.

"Aduh! Sakit, gi-la!" makinya sambil terus mengusap pahanya.

"Ini serius loh, ada yang mau kenalan sama kamu. Tapi, ya cuma petani. Bukan PNS kayak mantanmu."

"Aku nggak pernah masalah, mau petani, pelaut, pemulung, atau pe yang lainnya. Yang penting, sayang sama aku, dan ibu. Tidak pilih kasih antara orang tua dan mertua."

"Ya, kalau masalah sayang sama mertua atau enggak, aku nggak tau. Kan dia belum pernah nikah sama aku. Kalau dia mantan suamiku barulah aku tau mendetail tentangnya!" ucapnya sok polos.

"Hiihh, memang pikiranmu itu, sesempit lubang hidung! Maksud aku itu, nggak masalah kenalan dengan siapapun gitu. Bukan harus tau mendetail tentangnya juga, SINTA, yang tak punya RAMA!"

"Eh, tapi aku tau kok ukuran semvaknya. L kalau nggak salah!"

"Memang perlu dikasih kaporit, ot-akmu itu! Biar putih bersih, seperti bayi baru lahir!"

"Heheh. Beneran loh, Ran. Kemarin, pas aku lewat di bawah jemurannya, ada semvak laki-laki di sana. Makanya-"

"Makanya kamu kena sawan!" potongku cepat. Bisa makin edyan kalau ngomong sama Sinta. Jarang banget dia warasnya. Sering kumatnya.

Daripada ketularan sawan, lebih bagus kutinggalkan aja dia sendiri di kantin. 

"Rani, tungguin! Aku belum siap makan nih!" teriaknya saat kakiku sudah menjauh darinya.

"Aku ogah nungguin kamu! Yang ada makin sarap!" teriakku meninggalkannya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
regina cancer
lucu ceritanya ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 71

    Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 70

    Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 69

    "Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 68

    Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 67

    Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 66

    Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status