Share

Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua
Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua
Author: Ardhya Rahma

Bab 1 Pagi yang Penuh Cinta

"Berapa lama Mas di kantor cabang?" tanya Marisa. Sambil menunggu jawaban, tangannya mengambil setumpuk pakaian milik suaminya dari lemari dan meletakkannya di kasur. 

"Mungkin tiga sampai empat hari, Dik." 

Marisa mengangguk. Kembali tangannya bergerak cekatan menata empat pasang baju kerja dan tiga pasang baju santai suaminya ke dalam tas. 

"Hari Selasa depan itu waktu suburku, Mas. Berarti jadwal kita kontrol ke Dokter Anita. Kita check up lagi, ya, Mas?" Marisa menghentikan aktivitasnya menata pakaian dan mengangkat wajah. Matanya menatap penuh harap kepada suaminya yang sedang bersandar di kepala ranjang. 

"Kan Dokter Anita bilang tidak ada masalah dengan kamu, Dik. Jadi, jangan terlalu terbebani, nanti malah stress." Irawan bangkit berdiri seolah-olah menghindari tatapan Marisa. 

"Nggak terbebani, kok, Mas. Memang aku ingin segera menggendong bayi. Bukankah mama juga mau segera  punya cucu dari kamu, Mas?"

Irawan berjalan menjauh dari ranjang dan segera menuju kamar mandi yang ada di pojok kiri kamar. Sebelum menutup pintu toilet dia menatap Marisa dan berkata pelan kepada istrinya itu. "Jangan diambil hati omongan Mama, Dik. Aku tahu Mama kalau bicara suka nyelekit."

"Enggak, sih, Mas. Aku juga mau cepat punya anak. Makanya, yuk kita ke Dokter Anita lagi. Memang anak itu takdir Allah, tapi kan kita kudu ikhtiar. Ini ikhtiar kita. Jadi,   Selasa kita ke Dokter Anita, ya, Mas." Marisa terus membujuk suaminya.

Irawan mengembuskan napas dengan keras. "Ya sudahlah kalau mau kamu begitu."

"Terima kasih, Mas," teriak Marisa ke arah pintu kamar mandi yang sudah ditutup suaminya. 

Di dalam kamar mandi, Irawan berdiri menatap cermin. Dia bisa melihat seraut wajah dengan tatapan sedih sekaligus gusar terpantul di kaca. Ekspresinya tampak memprihatinkan. Kepalanya menggeleng berulang kali ketika dari luar terdengar senandung riang Marisa.  Tangannya perlahan-lahan terkepal seiring pantulan dirinya yang memburam di cermin. Lelaki itu mengangkat  tangannya seakan ingin menghancurkan kaca. Namun, dia hanya mengusap kasar cermin yang berkabut akibat shower air panas yang sudah dinyalakannya dan kembali menatap nanar pantulan wajahnya. 

***

"Tidak ada yang ketinggalan, kan, Mas?" 

"Ada," Irawan menjawab lalu tersenyum menggoda.

"Lho … apa? Biar aku masuk dan ambilkan. Di kamar?" 

"Enggak. Di sini. Di depanku." 

Marisa menatap bingung kepada suaminya yang sedang tertawa kecil. Perasaannya mulai tak enak. "Apaan sih, Mas, kok malah senyam senyum nggak jelas gitu." 

"Yang ketinggalan tuh ini." Irawan maju selangkah. Dia meraih tubuh Marisa, merapat ke pinggangnya yang ramping dan mengecup keningnya cukup lama. Ulah Irawan itu membuat semburat merah mewarnai pipi istrinya yang putih. 

"Mas, jangan gini aah. Malu sama Bi Asih. Malu juga sama tetangga kalau mereka lewat dan ngelihat kita." 

"Lho kenapa mesti malu? Kita kan suami istri. Ini juga di teras kita sendiri. Kalau ada yang iri, salah sendiri pakai acara ngintip." Irawan terbahak-bahak ketika kepalan mungil tangan Marisa memukul dada bidangnya dengan perlahan. Lantas, dia semakin mempererat  pelukannya. 

"Ingat, ya, Dik. Selama aku pergi jaga hatimu. Jangan tergoda oleh guru ganteng yang lagi PPL di sekolahmu." 

"Apaan, sih, Mas. Gak mungkinlah aku tertarik dengan lelaki lain kalau di rumah sudah ada yang sempurna." Marisa berkata sambil mengelus pipi suaminya dengan sayang. 

"Jadi, kalau aku nggak sempurna kamu bisa naksir laki-laki lain?" Irawan mengurai pelukan dan menatap nanar istrinya. 

"Ya nggak gitu juga, Mas. Pokoknya aku nggak bakalan selingkuh apa pun yang terjadi."   

Irawan kembali menatap Marisa dengan tatapan yang sulit diartikan bahkan oleh istrinya sendiri. 

"Kamu kenapa, sih, Mas?" Mata hazel Marisa menelisik mata Irawan yang sedang menatap lekat.

"Gak apa-apa. Mas berangkat dulu, ya." 

"Ya, Mas. Hati-hati di jalan. O ya aku jadi pesan antrian nomor di Dokter Anita, kan?" 

"Terserah kamu aja. Tapi ingat, aku tidak menuntutmu punya anak. Apa pun yang terjadi aku tetap sayang kamu apa adanya." 

Marisa menatap sang suami. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan belahan jiwanya itu. Tanpa dapat dicegah dia menghambur kembali ke pelukan Irawan. Sepasang suami istri itu lalu berpelukan erat seolah-olah tak terpisahkan.

Hari Selasa pagi pun tiba. Selama empat hari kepergian Irawan ke kantor cabang di Malang, Marisa kesulitan menghubungi suaminya itu. Setiap kali Marisa menelepon, ponsel sang suami selalu tidak aktif. Terpaksa Marisa hanya bisa menunggu Irawan meneleponnya. Suaminya itu memang menelepon … dua kali,  tetapi tidak pernah lebih dari sepuluh menit. Sedang sibuk itu alasan Irawan ketika marisa memprotes.

"Kenapa Mas Wawan belum menelepon juga, ya?" batin Marisa sambil menatap ponsel di tangannya.

"Seharusnya dia sudah sampai kantor atau paling tidak sudah di jalan. Masa sih Mas Irawan tidak ada waktu menelepon?" gumam Marisa kembali.

"Ya, sudahlah, aku mengajar dulu. Nanti aku coba telepon saja."

Marisa melangkah menuju kelas yang akan dia berikan pelajaran. Namun, baru saja perempuan itu meletakkan tas dan bersiap menyapa murid-muridnya ponsel di saku blazernya berbunyi. Dia meminta maaf sekaligus izin mengangkat telepon sebentar setelah melihat nama yang tertera di layar. Cintaku. 

"Halo, Mas. Aku sudah mau ngajar, nih." 

"Selamat pagi, Bu. Saya dari kepolisian Mojokerto." 

Kelopak mata Marisa mengerjap. "Polisi? Kenapa suaranya bukan suara Mas Irawan? Kenapa polisi meneleponnya?" 

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Rita Sum
lanjutkan kak
goodnovel comment avatar
DayNella
awlannya cukup seru nih. jadi penasaran
goodnovel comment avatar
bestrahma73
wah kok ada polisi?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status