"Berapa lama Mas di kantor cabang?" tanya Marisa. Sambil menunggu jawaban, tangannya mengambil setumpuk pakaian milik suaminya dari lemari dan meletakkannya di kasur.
"Mungkin tiga sampai empat hari, Dik."
Marisa mengangguk. Kembali tangannya bergerak cekatan menata empat pasang baju kerja dan tiga pasang baju santai suaminya ke dalam tas.
"Hari Selasa depan itu waktu suburku, Mas. Berarti jadwal kita kontrol ke Dokter Anita. Kita check up lagi, ya, Mas?" Marisa menghentikan aktivitasnya menata pakaian dan mengangkat wajah. Matanya menatap penuh harap kepada suaminya yang sedang bersandar di kepala ranjang.
"Kan Dokter Anita bilang tidak ada masalah dengan kamu, Dik. Jadi, jangan terlalu terbebani, nanti malah stress." Irawan bangkit berdiri seolah-olah menghindari tatapan Marisa.
"Nggak terbebani, kok, Mas. Memang aku ingin segera menggendong bayi. Bukankah mama juga mau segera punya cucu dari kamu, Mas?"
Irawan berjalan menjauh dari ranjang dan segera menuju kamar mandi yang ada di pojok kiri kamar. Sebelum menutup pintu toilet dia menatap Marisa dan berkata pelan kepada istrinya itu. "Jangan diambil hati omongan Mama, Dik. Aku tahu Mama kalau bicara suka nyelekit."
"Enggak, sih, Mas. Aku juga mau cepat punya anak. Makanya, yuk kita ke Dokter Anita lagi. Memang anak itu takdir Allah, tapi kan kita kudu ikhtiar. Ini ikhtiar kita. Jadi, Selasa kita ke Dokter Anita, ya, Mas." Marisa terus membujuk suaminya.
Irawan mengembuskan napas dengan keras. "Ya sudahlah kalau mau kamu begitu."
"Terima kasih, Mas," teriak Marisa ke arah pintu kamar mandi yang sudah ditutup suaminya.
Di dalam kamar mandi, Irawan berdiri menatap cermin. Dia bisa melihat seraut wajah dengan tatapan sedih sekaligus gusar terpantul di kaca. Ekspresinya tampak memprihatinkan. Kepalanya menggeleng berulang kali ketika dari luar terdengar senandung riang Marisa. Tangannya perlahan-lahan terkepal seiring pantulan dirinya yang memburam di cermin. Lelaki itu mengangkat tangannya seakan ingin menghancurkan kaca. Namun, dia hanya mengusap kasar cermin yang berkabut akibat shower air panas yang sudah dinyalakannya dan kembali menatap nanar pantulan wajahnya.
***
"Tidak ada yang ketinggalan, kan, Mas?"
"Ada," Irawan menjawab lalu tersenyum menggoda.
"Lho … apa? Biar aku masuk dan ambilkan. Di kamar?"
"Enggak. Di sini. Di depanku."
Marisa menatap bingung kepada suaminya yang sedang tertawa kecil. Perasaannya mulai tak enak. "Apaan sih, Mas, kok malah senyam senyum nggak jelas gitu."
"Yang ketinggalan tuh ini." Irawan maju selangkah. Dia meraih tubuh Marisa, merapat ke pinggangnya yang ramping dan mengecup keningnya cukup lama. Ulah Irawan itu membuat semburat merah mewarnai pipi istrinya yang putih.
"Mas, jangan gini aah. Malu sama Bi Asih. Malu juga sama tetangga kalau mereka lewat dan ngelihat kita."
"Lho kenapa mesti malu? Kita kan suami istri. Ini juga di teras kita sendiri. Kalau ada yang iri, salah sendiri pakai acara ngintip." Irawan terbahak-bahak ketika kepalan mungil tangan Marisa memukul dada bidangnya dengan perlahan. Lantas, dia semakin mempererat pelukannya.
"Ingat, ya, Dik. Selama aku pergi jaga hatimu. Jangan tergoda oleh guru ganteng yang lagi PPL di sekolahmu."
"Apaan, sih, Mas. Gak mungkinlah aku tertarik dengan lelaki lain kalau di rumah sudah ada yang sempurna." Marisa berkata sambil mengelus pipi suaminya dengan sayang.
"Jadi, kalau aku nggak sempurna kamu bisa naksir laki-laki lain?" Irawan mengurai pelukan dan menatap nanar istrinya.
"Ya nggak gitu juga, Mas. Pokoknya aku nggak bakalan selingkuh apa pun yang terjadi."
Irawan kembali menatap Marisa dengan tatapan yang sulit diartikan bahkan oleh istrinya sendiri.
"Kamu kenapa, sih, Mas?" Mata hazel Marisa menelisik mata Irawan yang sedang menatap lekat.
"Gak apa-apa. Mas berangkat dulu, ya."
"Ya, Mas. Hati-hati di jalan. O ya aku jadi pesan antrian nomor di Dokter Anita, kan?"
"Terserah kamu aja. Tapi ingat, aku tidak menuntutmu punya anak. Apa pun yang terjadi aku tetap sayang kamu apa adanya."
Marisa menatap sang suami. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan belahan jiwanya itu. Tanpa dapat dicegah dia menghambur kembali ke pelukan Irawan. Sepasang suami istri itu lalu berpelukan erat seolah-olah tak terpisahkan.
Hari Selasa pagi pun tiba. Selama empat hari kepergian Irawan ke kantor cabang di Malang, Marisa kesulitan menghubungi suaminya itu. Setiap kali Marisa menelepon, ponsel sang suami selalu tidak aktif. Terpaksa Marisa hanya bisa menunggu Irawan meneleponnya. Suaminya itu memang menelepon … dua kali, tetapi tidak pernah lebih dari sepuluh menit. Sedang sibuk itu alasan Irawan ketika marisa memprotes.
"Kenapa Mas Wawan belum menelepon juga, ya?" batin Marisa sambil menatap ponsel di tangannya.
"Seharusnya dia sudah sampai kantor atau paling tidak sudah di jalan. Masa sih Mas Irawan tidak ada waktu menelepon?" gumam Marisa kembali.
"Ya, sudahlah, aku mengajar dulu. Nanti aku coba telepon saja."
Marisa melangkah menuju kelas yang akan dia berikan pelajaran. Namun, baru saja perempuan itu meletakkan tas dan bersiap menyapa murid-muridnya ponsel di saku blazernya berbunyi. Dia meminta maaf sekaligus izin mengangkat telepon sebentar setelah melihat nama yang tertera di layar. Cintaku.
"Halo, Mas. Aku sudah mau ngajar, nih."
"Selamat pagi, Bu. Saya dari kepolisian Mojokerto."
Kelopak mata Marisa mengerjap. "Polisi? Kenapa suaranya bukan suara Mas Irawan? Kenapa polisi meneleponnya?"
"Po-polisi?" Marisa tergeragap menjawab ucapan peneleponnya. "Betul, Bu. Saya Aiptu Rizal dari kepolisian Mojokerto." "Mo-Mojokerto?" Kembali suara gagap Marisa terdengar. Perasaan perempuan cantik itu mulai tidak enak. "Benar, Bu. Kami menghubungi karena ingin bertanya, apa ibu kenal dengan Bapak Irawan Syahputra? Catatan panggilan terakhir di ponsel Pak Irawan adalah nomor Ibu.""Pak Irawan suami saya. Memang ada apa, Pak? Kok ponsel suami saya bisa di tangan bapak?" "Mohon maaf, Bu. Pak Irawan mengalami kecelakaan di Tol Mojokerto. Sekarang beliau dilarikan ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto." "A-apa, Pak? Ti-tidak mungkin! Suami saya dinas ke Malang. Jadi mana mungkin ada di Mojokerto?" Marisa membantah penjelasan dari peneleponnya. Namun, dia juga bingung kenapa ponsel suaminya ada di tangan polisi. Kepolisian Mojokerto pula. Bagaimana bisa? "Silakan dicek langsung ke rumah sakit, Bu. Sementara ini kendaraan dan semua barang di dalam mobil akan kami amankan untuk penyeli
"Tapi tidak bisa begitu, Bu." Bu Aisyah menahan lengan Marisa. "Kenapa tidak bisa?" Mata Marisa melotot marah ke arah rekan gurunya itu. "Bu Marisa tidak bisa pergi dalam kondisi syok begini! Lihat kaki Ibu! Bahkan Ibu tidak mengenakan sepatu karena masih terguncang. Sebaiknya ibu menghubungi keluarga dan meminta mereka mengantar Ibu. Bahaya kalau Ibu pergi sendirian."Marisa terdiam mendengar ucapan rekannya itu. "Bu Aisyah ada benarnya," batin Marisa. Jadi, dia berusaha keras menguasai dirinya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. Perempuan itu juga menurut ketika Bu Aisyah membimbingnya duduk di sofa di ruang UKS. "Ibu mau memastikan korban kecelakaan Tol SUMO ke mana? Apa Bu Marisa sudah tahu tujuannya di Mojokerto?" tanya Bu Aisyah sambil mengelus pelan lengan Marisa. "Sudah, Bu. Saya mau ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto. Polisi yang menelepon saya tadi pagi bilang kalau korban dibawa ke sana." "Kalau sudah jelas alamat yang dituju, Bu Marisa bisa h
"Mas Rian apa-apaan, sih!" Marisa balas membentak. Dia merasa kesal dengan ulah Rian yang absurd. Tangannya sampai memerah karena ditepis tangan Rian yang besar. Ditambah masih harus menerima bentakan."Maaf Risa tadi itu spontan." "Memangnya kenapa kalau ada suara radio di mobil? Biar nggak sepi, Mas. Pikiranku sekarang ini lagi sumpek, jadi pengen dengar lagu-lagu gitu." "Cuma dengar lagu, kan? Bisa dengerin lewat HP. Mau Mas pinjemin ponsel Mas? Koleksi lagunya banyak dan bagus-bagus," bujuk Rian. "Gak cuma lagu, sih. Risa juga mau dengerin berita. Biasanya kan di E-100 ada berita macam itu." "Sudahlah Risa. Lebih baik kamu tidur. Pulihkan dulu kondisi mental kamu. Perjalanan masih jauh. Kalau bisa istirahat, kamu akan lebih tenang." Marisa terdiam mendengar perkataan kakak sepupunya itu. Dia menoleh dan menatap sepupunya dari samping. Lelaki itu tampak serius dengan permintaannya. "Iya kamu benar, Mas. Lebih baik aku tidur. Lumayan bisa satu jam." Rian mengangguk. "Katakan
"Aku belum nemu fotonya di google.""Ada yang tahu akun medsosnya?"Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan. "Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian. "Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat. Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi. Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian."O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?" "Saya kakak iparnya dan ini istrinya.""O kala
"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!" Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil. Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika. "I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya. "Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita." "Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh." Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartaw
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.