Share

BAB VIII

Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak.

Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma?

Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak sendiri.

Sebelumnya, ia memang mengambil bahan di pengepul. Akan tetapi, sekarang sudah lebih baik karena ia sudah memilih masak sendiri ikan-ikan itu. Dulu, waktu aku tinggal di sini masih belum seperti ini. Akan tetapi sekarang, sudah lebih sukses.

Aku disambut oleh mantan istri bapak dahulu, karena ternyata kakakku itu sedang berada di Klaten, di rumah kakakku yang pertama. Sedang ada hajatan di sana. Aku mengembuskan napas perlahan. Tidak apa-apa, ini sudah jauh lebih baik karena sudah sampai sini.

Aku, menyampaikan niatku pada Budhe, demikian aku memanggil mantan istri bapak itu. Setelah menyampaikan niatku kepada budhe, ia menyuruhku menginap. Maka, aku mau saja menginap.

Tapi, entah mengapa ... aku dan calon suamiku, ditempatkan dalam satu kamar?!

“Aduh, bagaimana ini? Sungguh aku takut. Takut jika tidak bisa menahan ini. Kami berada di satu ruangan. Satu kamar? Bagaimana ini? Aku juga tidak mungkin meminta lebih untuk tinggal di lain kamar,” batinku.

Calon suamiku ini, mendekat padaku ketika sebelum tidur kita sepakat untuk tidur di lain sisi, karena kasur itu ada dua. Yang satu kasur lipat, yang satunya lagi agak tinggi. Akan tetapi, saat tengah malam tiba, ia mendekat padaku.

“Dik, aku kedinginan,” keluhnya.

Jantungku terasa mau copot ketika tangan kekarnya memeluk pinggangku. Ia memeluk dari belakang tidur di sampingku. Aku membuka mata, akan tetapi pura-pura tidak mendengar.

“Dik, kamu tidak mendengarku? Ada sesuatu yang berisik di dalam sana. Ia minta disayangi,” bisiknya.

Jantungku semakin tidak terkendali. Dari ucapannya, aku tahu bahwa dia sedang bergejolak juga. Apakah ini ujian? Atau bagaimana? Kenapa ia tidak sabar. Hanya menghitung hari, aku akan menjadi miliknya.

“Dik, menghadap ke sini. Paling tidak, jinakkan ini,” bisiknya.

Napasnya menyentuh leherku yang sebenarnya masih berkerudung. Ia mencium leherku, sehingga desir darahku semakin cepat menuju ke kepala. Tanganku gemetar, rupanya karena itu ia menyadari aku sudah bangun. Kedua tangannya meremas tanganku, dengan pelan ia mengarahkan tanganku ke bawah sana, ke bagian sensitif yang seharusnya belum bisa aku pegang.

“Hanya disayang saja, aku tidak minta lebih,” bisiknya.

“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana bisa aku bertahan kalau begini? Ini dosa, Ya Allah tolong selamatkan aku. Mengapa aku tidak bisa bilang tidak padanya?” ucapku. 

Ekor mataku melirik ke dinding ingin melihat jam, sudah pukul berapa? Akan tetapi, sulit sekali. Ingin bergerak, takut ia tambah merasa meledak dan kami berdua akan melakukan dosa yang lebih gila. Ia menggunakan tanganku … Ya Tuhan aku takut. Hingga sudah selesai, ia bangkit dan ke kamar mandi.

Aku sangat menyesal. Aku sudah menyentuh bagian yang belum halal bagiku? Apakah Allah akan memaafkanku? Semoga ini pertama dan terakhir, ia memintaku hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya.

“Dik, kenapa tidak melakukannya dengan benar? Aku cuma meminta tolong untuk pegang, karena ia sudah on banget ketika dekat denganmu,” bisiknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status