Share

BAB VII

Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis.

Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. 

Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. 

“Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku.

Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku.

“Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setelah itu, ke  rumah bapakmu untuk meminta restu. Akan tetapi, sepertinya ia tidak bisa menjadi penghulu. Demikian kata Pak Penghulu.”

Aku mengerutkan kening. Mengapa tidak bisa?

“Ah, ibu sudah bertemu dengannya?” tanyaku penasaran.

Ibu bisa tahu semua itu, tentu saja mestinya dari penghulu itu. Ibu bukan orang yang tahu tentang ketentuan nikah. Ia bukan orang muslim yang berilmu. Hanya ikut-ikutan saja.

“Sudah waktu pulang tadi. Biaya nikah, empat ratus ribu. Selain itu ada wali hakim dua ratus ribu, karena kamu tidak bisa menggunakan bapakmu sebagai wali,” ucap ibu selanjutnya.

Aku tidak bertanya lagi, karena takut melukai ibu. Pasti ada sesuatu yang berbeda, mengapa tidak bisa menjadi wali nikahku. Setelah selesai melakukan pekerjaan rumah, aku mencari dokumen-dokumen itu. Ternyata, ada dokumen yang aku cocokkan menjadi penyebab bahwa bapakku tidak bisa menjadi wali. Aku mengembuskan napas panjang. Keadaan ini, harus aku tanyakan kepada ibu. Meskipun mungkin akan melukai perasaannya.  

Aku menemukan bahwa akta lahir dan tanggal nikah ibu hanya selisih satu hari. Ibu menikah tanggal dua sedangkan tanggal tiganya hari kelahiranku. Aku mengerutkan kening.

“Mungkinkah aku ada sebelum pernikahan? Atau hanya pencatatannya saja? Aku harus bertanya pada ibu tentang ini,” batinku.

Aku mengumpulkan persyaratan untuk membuat akta nikah. Setelah itu, keluar dari kamar untuk menemui tamu, karena sepertinya ada suara mengetuk pintu. Aku tersenyum, karena ternyata itu adalah calon suamiku.

“Bagaimana jadinya?” tanyanya setelah duduk dan aku memberikan minum untuknya.

“Kata ibu, kita harus memberi tahu bapak,” ucapku.

“Ya memang kita harus ke sana. Pakai motormu, ya? Aku tidak punya motor sudah dijual,” ucapnya.

Aku menelan ludah payah. Motor yang aku pakai ini, memang hasil kami berdua. Bukan beli cash melainkan kredit. Untuk DP, aku mengiur sekitar tujuh puluh persen, sedangkan ia tiga puluh persennya.

“Baiklah, memang motormu kemana?” tanyaku.

Akhirnya pecah juga pertanyaan itu dari kemarin. Rasa penasaranku semoga terjawab, karena melihatnya menggunakan sepeda.

“Motorku dijual untuk membiayai adik. Dia … dia berantem sehingga harus memberikan kompensasi pada orang yang dipukul itu,” ucapnya.

Aku memejamkan mata. Keluarga apa yang sebenarnya aku kenal. Sebagai info, calon suamiku ini juga suka sekali minum minuman keras, sehingga saat ia mabuk kadang juga di luar kendali. Akan tetapi,  entah dari mana kepercayaan diri aku datang, ingin membawanya untuk kembali ke jalan yang benar. Aku melihat, suatu saat nanti ia akan bisa berubah ke jalan yang benar. Aku punya Allah, pasti akan bisa.

“Baiklah, kapan mau ke sana?” ucapku.

Dia terlihat berpikir sejenak.

“Besok saja,” katanya.

Seperti biasa. Kami memang tidak memiliki tema yang akan dibahas.

Di depannya, selalu saja tidak bisa bicara. Aku selalu merasa harus berhati-hati jika di depannya. Takut menyinggung perasaannya, takut tidak sesuai yang ia inginkan. 

Kami berpisah dengan saling memeluk. Tentu saja, kami mencuri momen itu. Jika sampai ada yang melihat, akan sangat bahaya. Aku berada di desa. Bagi orang desa, pantang bagi pemuda dan pemudi hanya sekedar berpelukan saja, sebelum halal. 

Esok hari, kami benar-benar pergi menemui bapakku. Kami ke sebuah kota yang berada jauh dari kota yang kami tinggali. Perjalanan ke sana, sekitar empat jam. Kami menaiki motor bebek berboncengan. Saat ini, hanya rasa bahagia dan optimis. 

Aku sudah beberapa kali ke rumah bapak.

Sebagai informasi, ibuku bercerai saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku sendiri tidak mengetahui sebabnya. Aku hanya menduganya, karena bapak berbohong pada ibu. Ia tidak mengaku selama delapan belas tahun menikah dengan ibu, jika dirinya sudah beristri sebelumnya. 

"Semoga pilihanku ini tepat," lirihku menenangkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status