Huuuuuh kenapa ya tiba-tiba Mas Gavin jadi sangat sensitif siang ini. Oooh Aku belum mengecek ponsel. Siapa Tahu ada problem dengan si Alwa kesayanganbya, Terkait kerja samaku dengannya tadi siang. Ya aku harus cepat bertindak, siapa tahu menyangkut diriku.
Kubuka aplikasi chat mereka. Setelah kubuka, ternyata benar dugaanku. Perempuan itu ternyata merengek-rengek minta tambahan jatah pada suamiku. Hehe tapi tak apalah. Yang penting Aku dapat menikmati uangnya.
"Pokoknya Aku tidak mau tahu Mas. Aku mau tambahan dua juta lagi. Uang kemaren sudah habis terpakai buat pengobatan ibuku. Katanya Mas sayang ke Alwa. Masa uang segitu saja pelitnya minta ampun."
"Bukan begitu, Alwa. Mas ini lagi ngumpulin duit buat dp mobil. Kan malu Mas terus pake mobil butut itu. Lagian Ibumu sakit apa sayang. Kok nggak bilang ke Mas sih. Kan Mas juga pengen jenguk calon mertua."
"Bukannya nggak mau ngajak Mas ke sana. Kalau Mas kesana apa tanggapan Ibu ke Alwa? Bisa-bisa ribet dah. Ibuku orangnya cerewet minta ampun. Kapan kasih ceramah pasti bawa-bawa nama Ferdi sialan itu. Pokoknya tambahin ajah uang ke Aku Mas. Penting.!."
"Emang si Ferdi nggak ngirimin kamu uang?."
"Uang dari mana. Kamu kan tahu Mas Ferdi itu nggak pernah peduliin Aku. Nggak kayak kamu yang selalu ada buat Aku."
"Kasian juga ya kamu sayang. Nanti Mas kirimin deh. Nggak tega juga biarin kamu terlantar. Pengen rasanya Mas nikahin kamu cepat-cepat."
"Nah gitukan enak dengernya. Makanya Aku bisa makin sayang ke Mas. Ngomong-ngomong Aku juga mau jadi istri Mas Gavin. Tapi bagai mana caranya?"
"Cerein saja si Ferdi itu. Bukankah dia tidak pernah memberimu nafkah, itu bisa kamu jadikan alasan di gugat cerai Alwa. Soal biaya perceraianmu biar Mas yang tanggung jawab."
"Iya ya Mas. Ide bagus. Tapi sayang, sekarang sepertinya Aku harus lebih fokus ke kesehatan ibuku. Nanti setelah ibuku dari sakitnya, maka baru Aku bisa melakukan gugat cerai."
"Lalu istri Mas bagaimana?"
"Itu soal mudah sayang. Dia di sini cuma numpang. Rumah ini Mas beli pakai uang dari jerih payah Mas sendiri. Sedangkan dia itu kerjaannya cuma diam ongkang-angking kaki di rumah ini. Tinggal makan, minum sesuka hati. Itu masih untung Mas mau membiayai hidupnya yang tak berguna itu."
Airmata yang kutahan akhirnya menetes juga membaca kata-kata Mas Gavin. Artinya peranku selama ini nol besar. Dia pikir kerjaanku di rumah ini sesantai duduk di kedai kopi.
Oooh kalian mau menikah?. Memang sepantasnya kalian itu menikah. Karena sifat kalian sama. Sebenarnya pintar juga perempuan itu berbohong. Sama pintarnya dengan Mas Gavin. Bisa-bisanya dia beralasan ibunya sedang sakit. Hahahaaa teruslah kalian berbohong dan mengkhianat. Yang penting rupiah mengalir tabunganku. Aku akan terus memantau sepak terjang kalian.
Dengan uang dari perempuan itu, tepatnya dari suamiku sendiri, maka Aku tidak terlalu pusing lagi untuk menutupi keuangan rumah tangga kami. Sedangkan sisanya tetap Aku tabung untuk keperluan yang akan datang. Aku sadar betul, Aku memiliki tiga anak yang akan terus beranjak remaja. Aku tidak mau berfoya-foya. Sedangkan bisnis online ku semakin berkembang. Aku semakin sibuk mengurus orderan. Beruntung kedua putriku mengerti keadaan. Mereka rajin membantu tanpa minta di upah. Dengan begitu secara tidak langsung mereka belajar berbisnis. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang mandiri.
Aku harus menyiapkan diri melepaskan diri dari Gavin. Tidak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat dia akan menceraikan Aku. Untuk menikahi Alwa. Kalaupun dia tidak menceraikan Aku, maka Akulah yang akan menggugatnya. Sudah cukup selama ini dia menganggapku hanyalah seorang babu gratis di rumahku sendiri. Ku letakkan hpku kembali ke tempat yang aman.
"Vinaaaaaa!"
Terdengar suara Mas Gavin memanggil dengan suara terdengar di seluruh ruangan. Sampai-sampai Praskaku terbangun. Kuraih tubuh imutnya lalu mengikuti asal suara Mas Gavin tadi.
"Ada apa Mas? Kok pake teriak-teriak. Kan Praska ikut terbangun nih."
"Hei malah pake menasehati lagi. Lagakmu ya. Coba lihat itu apaaa?"
Kulirik sesuatu yang di tujuk oleh Mas Gavin. Seonggok muntahan kucing di lantai dapur. Ini ulah si Manis. Kucing kesayanganku.
"Astaga Mas, ini pasti baru saja si Manis muntah. Maaf ya Mas adek baru lihat."
Buru-buru ku ambil kain lap dan pengepel.
Degh.... Jantungku berdetak mendengar penuturan Mas Gavin.
"Sadar diri bagaimana maksud Mas?"
"Ya sadar dirilah, pake nanya lagi. Diam di rumah, kerjanya ya urusi rumah. Bikin hati suami senang!, Rumah dibersihkan! Udah di suruh di rumah saja malah kerjanya cuma ongkang-angking kaki. Badan melar nggak tahu bentuknya lagi bagaimana. Bagaimana mau nyenengin hati suami. Menyesal Aku kasih uang setiap bulan ke kamu kalau hasilnya seperti ini."
"Istighfar Mas. Ini cuma gara-gara kotoran kucing. Tidak usah di besar-besarkan. Adek minta maaf."
"Maaf, maaf, maaf... kata maaf saja tidak bisa mengubah keadaan. Pusing saya di rumah ini."
Bergegas Mas Gavin ke kamar mengambil jaket, dan mengeluarkan mobil. Lalu berlalu entah kemana dalam keadaan marah. Entahlah, mengapa tiba-tiba dia bisa berubah begitu drastis. Ah bodoh amat.. bisa gila saya kalau terus-terusan dipikirin. Mau tidak pulang sekalian silahkan. Mending nggak ada kamu di rumah ini. Supaya otak menjadi tenang.
Bersyukur sekali rasanya bisa bertemu dengan Mas Gavin ini. Lelaki yang sangat royal kepadaku dan tidak segan-segan menuruti keinginanku. Posisinya bisa mengganti Mas Ferdi di sisi hidupku. Bagaimana tidak Mas Ferdi tahunya kerja, kerja dan kerja saja. Pulang paling-paling sebulan sekali. Itupun paling-paling hanya tiga hari. Untuk ikut dengannya Aku ogah . Siapa sih yang mau deket-deket sama keluarganya yang super duper usil itu. Mentang-mentang orang kaya. Ih jijik. Memang sih, setiap bulan kirimannya selalu datang untukku. Sebenarnya lebih dari cukup. Nominalnya bahkan lebih dari yang kuterima dari Mas Gavin. Memangnya hidup hanya cukup dengan materi?. Tapi bagaimanapun kebutuhanku juga banyak. Rencananya Aku mau membeli rumah lain atas namaku sendiri. Tanpa sepengetahuan Mas Ferdi. Sebetulnya kalau tidak karen
Rasanya sesak sekali ketika Mas Gavin mengataiku hanya menumpang di rumah ini. Terlebih lagi dia mengatakannya kepada wanita selingkuhannya. Menganggapku hanya makan minum saja di rumah ini. Tidak sadarkah ia, rumah ini di dapatkan dari perjuangan bersama-sama. Bahkan terkadang aku tak segan-segan membantu dengan uangku sendiri. Memang dia tidak tahu, bagaimana susahnya Aku mengatur keuangan yang minim itu. Seandainya dia mau jujur dengan pendapatannya, seandainya dia mengetahui bahwa uang yang dia berikan tidak mencukupi, seandainya saja dia mau meringankan bebanku, dengan membayar cicilan rumah misalnya, mungkin Aku tidak sepusing ini. Tapi sepertinya memang dianya yang tidak mau tahu. Buktinya setiap Aku mencoba membicarakan hal ini, pasti Akulah yang ia salahkan. Aku istri boroslah, tidak pandai mengatur keuanganlah. Lagi-lagi Aku yang salah. Boro-boro mau menambah keuangan. Malah uangnya lebih senang ia berikan kepada seling
Aku memutar otak agar rencanaku tidak bisa tercium oleh Mas Gavin. Karena jika tidak, bisa-bisa Aku yang akan terjebak. Aku memang harus memutar otak. Tidak terasa sudah dua bulan Aku menikmati setoran Alwa. Artinya Aku harus segera bertindak lebih. Besok adalah hari di mulainya liburan sekolah anak-anak. Aku berencana untuk mengajak mereka untuk liburan di rumah neneknya. "Mas besok anak-anak mulai memasuki hari libur semester lho mas!" "Mmmm iya Dek, kalau mereka libur emangnya kenapa?" "Kira-kira kita bawa mereka liburan kemana ya, Mas?" "Liburan? Dek, Dek. Kamu kira hidup ini mudah? Cari uang mudah? Terus kamu kira liburan itu harus? Sadar Dek! Sudah dua bulan ini, Mas ini lagi kena masalah soal keuangan Kamu seharusnya mengerti
Di rumah Ibuku bisnis online ku terus berlanjut. Walaupun pikiran kalut, tetapi uang harus tetap mengalir. Aku tidak boleh kalah dari si Gavin congkak tersebut. Dia tidak tahu kalau uang yang Aku hasilkan terkadang melebihi uang yang dia kasih ke Aku. Sedangkan uangnya sendiri sebagian besar ia habiskan untuk dirinya sendiri. Biarlah dia menganggapku bodoh tidak tahu apa-apa. Memangnya itu penting buat di pikirkan? Tentu saja tidak. Dari rumah Ibuku Aku terus memantau gerak gerik mereka. Pertama ku coba mengecek penyadap suara di kamar kami. Lalu terdengarlah pembicaraan-pembicaraan mereka. "Wah itu foto anak-anak ya, Mas. Mereka ganteng dan cantik-cantik. Mereka mirip sama Ayahnya. Beda jauh sama Ibu mereka." "Iya dong sayang, siapa dulu ayahnya. Apalagi kalau Mas punya anak dari kamu, pasti wajah mereka tambah
Di rumah orang tuaku, Aku menyusun strategi. Aku ingin menghubungi seseorang untuk mendukung keinginanku. Orang itu adalah Ferdi suaminya Alwa. Aku memang belum mengenal pria itu. Berbekal nomor ponselnya. Aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Awalnya dia menolak. Tapi setelah aku berhasil meyakinkannya, dia setuju. Untuk menemuinya, memang sedikit memakan waktu sih. Tapi tak apalah. "Bu hari ini Vina mau antar orderan. Agak jauh Bu." "Lhoo kamu mau antar sendiri, kenapa nggak dikirim saja, nak?" "Kebetulan yang pesen teman lama Bu. Jadi ya Vina mau antar sendirilah, sekalian mau silaturahmi. Vina titip anak-anak ya Bu. Oh ya Vina pake mobil Ayah ya, Bu!" "Yang penting kamu ha
"Jadi apa yang kira-kira harus kita lakukan , Fer?" "Baiklah pertama kali sebaiknya kau amankan aset yang kalian miliki. Rumah, mobil atau apa yang menurutmu penting. Kamu tidak boleh jatuh sebelum terlambat, Vina. Pikirkan masa depan anak-anakmu." "Ya soal itu Aku mengerti. Aku berusaha semampuku. Aku tahu dalam beberapa waktu ke depan Mas Gavin akan menceraikan Aku." "Oleh sebab itu kamu harus mengambil langkah yang cepat, Vina. Kalau tidak kau akan kalah dengan mereka. Kalau kau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungiku." Sepulangnya dari sana Aku berpikir memang benar apa yang Ferdi katakan. Aku harus sedikit mempercepat langkahku. Sekarang Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar mobil
"Mmm kamu mau mengenalkan wanita itu padaku? Boleh. Siapa takut. Walaupun sebenarnya itu tidak penting bagiku." "Kau boleh mengatakan dia tidak penting untukmu, Vina. Tapi dia teramat penting dan spesial buatku. Bisa saja kau berkata demikian karena kau iri kan? Iri dengannya yang berbeda 180 derajat di banding kamu. Kalau kau di sandingkan dengannya, maka tak lebih terlihat seperti seorang nyonya dengan pembantunya." "Oh begitu ya. Baguslah kalau begitu. Boleh saja kamu bilang Aku iri. Kau pikir Aku bisa iri dengan seorang wanita yang menggaet suami orang? Iya? Pikiranmu dangkal, Mas. Harusnya Aku prihatin dengan wanita seperti itu. Sampai-sampai harus memanfaatkan uang suami orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi tak apalah, Karena perkataanmu sudah ku anggap angin lalu."
Pagi-pagi buta Aku dikejutkan dengan kedatangan Mas Gavin. Untuk apalagi bajingan itu kemari. Merusak pemandangan di pagi hari saja. " Ada perlu apalagi kamu datang kemari?" " Memangnya kenapa? Masalah buat kamu? Ini adalah rumahku. Terserah padaku mau datang, mau tinggal, mau apa saja. Sekarang Aku mau mengambil brankas yang berisi surat-surat penting itu. Soalnya Aku ingin segera mengurus perceraian denganmu." "Baiklah, ambil saja. Aku tidak keberatan." Dengan melengos dia pergi menuju ruang kerjanya dan mengambil brankas itu. tidak masalah, toh dia mau mengambil buku nikah buat mengurus perceraian kami. Tapi ada sedikit ketakutan merasuki pikiranku. Bagaiman