Share

Bab 6 Berencana Menikah

Huuuuuh kenapa ya tiba-tiba Mas Gavin jadi sangat sensitif siang ini. Oooh Aku belum mengecek ponsel. Siapa Tahu ada problem dengan si Alwa kesayanganbya, Terkait kerja samaku dengannya tadi siang. Ya aku harus  cepat bertindak, siapa tahu menyangkut diriku. 

     

Kubuka aplikasi chat mereka. Setelah kubuka, ternyata benar dugaanku. Perempuan itu ternyata merengek-rengek minta tambahan jatah pada suamiku. Hehe tapi tak apalah. Yang penting Aku dapat menikmati uangnya. 

     

"Pokoknya Aku tidak mau tahu Mas. Aku mau tambahan dua juta lagi. Uang kemaren sudah habis terpakai buat pengobatan ibuku.  Katanya Mas sayang ke Alwa. Masa uang segitu saja pelitnya minta ampun."

     

"Bukan begitu, Alwa. Mas ini lagi ngumpulin duit buat  dp mobil. Kan malu Mas terus pake mobil butut itu. Lagian Ibumu sakit apa sayang. Kok nggak bilang ke Mas sih. Kan Mas juga pengen jenguk calon mertua."

     

"Bukannya nggak mau ngajak Mas ke sana. Kalau Mas kesana apa tanggapan Ibu ke Alwa? Bisa-bisa ribet dah. Ibuku orangnya cerewet minta ampun. Kapan kasih ceramah pasti bawa-bawa nama Ferdi sialan itu. Pokoknya tambahin ajah uang ke Aku Mas. Penting.!."

     

"Emang si Ferdi nggak ngirimin kamu uang?."

     

"Uang dari mana. Kamu kan tahu Mas Ferdi itu nggak pernah peduliin Aku. Nggak kayak kamu yang selalu ada buat Aku."

     

"Kasian juga ya kamu sayang.  Nanti Mas kirimin deh. Nggak tega juga biarin kamu terlantar. Pengen rasanya Mas nikahin kamu cepat-cepat."

     

"Nah gitukan enak dengernya. Makanya Aku bisa makin sayang ke Mas. Ngomong-ngomong Aku juga mau jadi istri Mas Gavin. Tapi bagai mana caranya?"

     

"Cerein saja si Ferdi itu. Bukankah dia tidak pernah memberimu nafkah, itu bisa kamu jadikan alasan di gugat cerai Alwa. Soal biaya perceraianmu biar Mas yang tanggung jawab."

     

"Iya ya Mas. Ide bagus. Tapi sayang, sekarang sepertinya Aku harus lebih fokus ke kesehatan ibuku. Nanti setelah ibuku  dari sakitnya, maka baru Aku bisa melakukan gugat cerai."

     

"Lalu istri Mas bagaimana?"

     

"Itu soal mudah sayang. Dia di sini cuma numpang. Rumah ini Mas beli pakai uang dari jerih payah Mas sendiri. Sedangkan dia itu kerjaannya cuma diam ongkang-angking kaki di rumah ini.  Tinggal makan, minum sesuka hati. Itu masih untung Mas mau membiayai hidupnya yang tak berguna itu."

     

Airmata yang kutahan akhirnya menetes juga membaca kata-kata Mas Gavin. Artinya peranku selama ini nol besar. Dia pikir kerjaanku di rumah ini sesantai duduk di kedai kopi.

     

Oooh kalian mau menikah?. Memang sepantasnya kalian itu menikah. Karena sifat kalian sama. Sebenarnya pintar juga perempuan itu berbohong. Sama pintarnya dengan Mas Gavin. Bisa-bisanya dia beralasan ibunya sedang sakit. Hahahaaa teruslah kalian berbohong dan mengkhianat. Yang penting rupiah mengalir tabunganku. Aku akan terus memantau sepak terjang kalian. 

     

Dengan uang dari perempuan itu, tepatnya dari suamiku sendiri, maka Aku tidak terlalu pusing lagi untuk menutupi keuangan rumah tangga kami. Sedangkan sisanya tetap Aku tabung untuk keperluan yang akan datang. Aku sadar betul, Aku memiliki tiga anak yang akan terus beranjak remaja. Aku tidak mau berfoya-foya. Sedangkan bisnis online ku semakin berkembang. Aku semakin sibuk mengurus orderan. Beruntung kedua putriku mengerti keadaan. Mereka rajin membantu tanpa minta di upah. Dengan begitu secara tidak langsung mereka belajar berbisnis. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang mandiri. 

     

Aku harus menyiapkan diri melepaskan diri dari Gavin. Tidak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat dia akan menceraikan Aku. Untuk menikahi Alwa. Kalaupun dia tidak menceraikan Aku, maka Akulah yang akan menggugatnya. Sudah cukup selama ini dia menganggapku hanyalah seorang babu gratis di rumahku sendiri. Ku letakkan hpku kembali ke tempat yang aman.

     

"Vinaaaaaa!"

     

Terdengar suara Mas Gavin memanggil dengan suara terdengar di seluruh ruangan. Sampai-sampai Praskaku terbangun. Kuraih tubuh imutnya lalu mengikuti asal suara Mas Gavin tadi.

     

"Ada apa Mas? Kok pake teriak-teriak. Kan Praska ikut terbangun nih."

     

"Hei malah pake menasehati lagi. Lagakmu ya. Coba lihat itu apaaa?"

     

Kulirik sesuatu yang di tujuk oleh Mas Gavin. Seonggok muntahan kucing di lantai dapur. Ini ulah si Manis. Kucing kesayanganku.

     

"Astaga Mas, ini pasti baru saja si Manis muntah. Maaf ya Mas adek baru lihat."

     

Buru-buru ku ambil kain lap dan pengepel. 

"Kamu itu ya dek diam di rumah, keadaan rumah di perhatikan jangan pura-pura tidak tahu. Masa kotoran kucing saja sampai tidak lihat. Bikin selera makan hilang. Sadar diri dong kamu."

     

Degh.... Jantungku berdetak mendengar penuturan Mas Gavin. 

     

"Sadar diri bagaimana maksud Mas?"

     

"Ya sadar dirilah, pake nanya lagi. Diam di rumah, kerjanya ya urusi rumah. Bikin hati suami senang!, Rumah dibersihkan! Udah di suruh di rumah saja malah kerjanya cuma ongkang-angking kaki. Badan melar nggak tahu bentuknya lagi bagaimana. Bagaimana mau nyenengin hati suami. Menyesal Aku kasih uang setiap bulan ke kamu kalau hasilnya seperti ini."

     

"Istighfar Mas. Ini cuma gara-gara kotoran kucing. Tidak usah di besar-besarkan. Adek minta maaf."

     

"Maaf, maaf, maaf... kata maaf saja tidak bisa mengubah keadaan. Pusing saya di rumah ini."

     

Bergegas Mas Gavin ke kamar mengambil jaket, dan mengeluarkan mobil. Lalu berlalu entah kemana dalam keadaan marah. Entahlah, mengapa tiba-tiba dia bisa berubah begitu drastis. Ah bodoh amat.. bisa gila saya kalau terus-terusan dipikirin. Mau tidak pulang sekalian silahkan. Mending nggak ada kamu di rumah ini. Supaya otak menjadi tenang.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

      

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status