Share

Bab 8 Perubahan Itu Semakin Nyata

Rasanya sesak sekali ketika Mas Gavin mengataiku hanya menumpang di rumah ini. Terlebih lagi dia mengatakannya kepada wanita selingkuhannya. Menganggapku hanya makan minum saja di rumah ini. Tidak sadarkah ia, rumah ini di dapatkan dari perjuangan bersama-sama. Bahkan terkadang aku tak segan-segan membantu dengan uangku sendiri.

     

Memang dia tidak tahu, bagaimana susahnya Aku mengatur keuangan yang minim itu. Seandainya dia mau jujur dengan pendapatannya, seandainya dia mengetahui bahwa uang yang dia berikan tidak mencukupi, seandainya saja dia mau meringankan bebanku, dengan membayar cicilan rumah misalnya, mungkin Aku tidak sepusing ini. Tapi sepertinya memang dianya yang tidak mau tahu. Buktinya setiap Aku mencoba membicarakan hal ini, pasti Akulah yang ia salahkan. Aku istri boroslah, tidak pandai mengatur keuanganlah. Lagi-lagi Aku yang salah. Boro-boro mau menambah keuangan. Malah uangnya lebih senang ia berikan kepada selingkuhannya.

      

Tiada kata-kataku yang mampu merubah sifatnya. Oleh karena itu, senjataku adalah diam.  Buat apa kita bicara, kalau ucapan kita tidak berguna? Sama saja dengan membuang-buang suara belaka. 

      

Rupanya dia lebih bahagia untuk berpacaran bersama selingkuhannya. Mengajak wanita busuk itu berlibur, belanja, bahkan uangpun siap dia keluarkan setiap bulan untuk perempuan itu. Padahal di rumah anak-anaknyalah yang lebih membutuhkan.

      

Ku lihat wajah anak-anakku yang tertidur lelap. Sebenarnya hatiku miris mengingat sikap ayah mereka. Mengapa wanita itu lebih penting baginya. Tidak cukupkah ketiga buah hatinya ini sebagai penyemangat hidupnya. Bahkan tidak pernah sekalipun ia mengajak mereka hanya untuk sekedar menghabiskan hari libur bersama. Tidak perlu jauh-jauh, cukup mengajak mereka ke taman bermain di kota kami saja misalnya, itu pasti sudah cukup membuat hati mereka senang.

      

Oleh karena itu, Akulah sesekali yang mengajak mereka untuk sekedar jalan-jalan di sore hari. Itupun kalau sudah mendapatkan izin dari Mas Gavin. Memang selama ini Aku terlalu menurut dengan Mas Gavin. Kukira dia sungguh bekerja keras untuk rumah tangga kami. Ternyata zonk besar. 

      

Ternyata Aku dia anggap hanyalah seorang yang menumpang hidup padanya. Memang kamu kira siapalah dirimu Mas. Rugi besar selama ini Aku menaruh kepercayaan penuh pada seorang suami seperti kamu. Kamu bilang tubuhku melar tidak tahu bentuknya lagi. Tidak punya matakah dirimu Mas? Tubuhku tidak sejelek yang kau katakan. Itu terjadi karena kekagumanmu, perhatianmu telah kau bagi terlalu besar untuk perempuan bernama Alwa itu. Sehingga bagaimanapun sisi baik dari diriku kau anggap tidak ada artinya. 

      

Oke Gavin. Karena kau sudah menganggapku menumpang di rumah ini. Maka setelah ini kau yang akan ku buat menumpang di rumah ini. Tinggal menunggu waktu saja. Aku sadar Aku memerlukan seseorang yang handal untuk memuluskan rencanaku. Ya dia adalah Pak Nugraha, pengacara andalan Ayahku. Dimana pengalamannya di bidang hukum bisa di acungi jempol. Gerak cepat kulakukan. Agar Aku tidak terlambat, sebelum rencana mereka untuk menikah terwujud. 

      

Setelah tujuanku lebih dulu terwujud. Terserah pada kalian. Mau menikah, silahkan. 

*****

Sedang sibuk mengemaskan pesanan yang akan kukirim ke pelangganku, Praska terjaga dari tidurnya. Tanpa memperdulikan kesibukanku, Mas Gavin malah berteriak memanggilku. 

     

"Deeek, kamu tidak dengar apa? Tuh Praska bangun. Buruan gendong, sibuuuk saja mengurus jualan. Bolehlah kamu sibuk begitu kalau mendapatkan uang banyak. Ini penghasilan sedikit, gayanya selangit. Ngurus sesuatu yang tidak menguntungkan, anak di biarkan menangis. Istri macam apa kamu ini."

     

Anak menangis bukannya bantu membujuk, malah mengomel melebihi emak-emak. Dengan cepat Aku menggendong putraku.

     

"Iya Mas maaf!" Timpalku pendek

     

"Maaf maaf. Bosan saya mendengarmu minta maaf."

     

Sifat pemarah suamiku ini semakin menjadi-jadi. Masalah kecil bisa menjadi besar. Aku melengos melewatinya. Kubiarkan dia menatapku penuh aura kebencian. Terserah padamu Mas. Malas saya meladenimu yang sudah jauh berbeda ini. Sudah mengkhianat, kasar lagi.

     

"Kayak begini nih, kalau istri tidak punya sopan santun. Di bilangi pura-pura tidak dengar. Apa budek kamu."

     

"Iya iya.. sudah ah Mas. Silahkan kamu mau anggap Aku apa terserah."

     

"Ooooh jadi begini kamu sekarang ya. Sudah bisa melawan ke suami. Kurang ajar kamu...!"

     

"Saya sudah minta maaf, saya akui saya salah. Jadi tidak usah di panjang-panjangkan lagi Mas. Aku capeek kalau terus begini. Lagian kalau kamu mau juga tadi kamu bisa bantuin Aku membujuk Praska. Jangan cuma bisanya menyalahkan Aku."

     

Mendengar jawabanku, sontak Mas Gavin mengangkat tangan kanannya. Aku terkejut melihat perbuatan Mas Gavin. Ia ingin menamparku. Sebelum niatnya terjadi dengan cepat Ciya putriku berlutut di depan suamiku. Membuatku khawatir, jangan sampai Ciya menjadi korban kemarahan Ayahnya.

     

"Sudah yah. Jangan pukul Ibu. Ciya mohoon.. Yah. Jangan sakiti Ibu. Ciya yang salah tadi tidak membantu mengasuh Praska. Karena kita-kita sedang sibuk Yah..." Huhuuuu. Ciya menangis.

     

Ya Tuhaan. Begini pembelaan yang ku dapat dari putriku. Ia berusaha melindungiku. Terimakasih Tuhaan. Kau menganugerahkan anak-anak yang sangat menyayangiku. Melihat aksi Ciya rupanya Mas Gavin sedikit luluh. Masih dengan wajah marahnya yang mengerikan. Dia keluar sambil membanting pintu. Tak ku perdulikan dia mau kemana. Ku peluk ketiga anakku. Kalianlah penyemangat Ibu nak. Ibu akan selalu memperjuangkan yang terbaik untuk kalian. 

     

Melihat pebuhan yang semakin menjadi ini, membuatku harus melangkah lebih cepat. Selain meminta bantuan kepada Pak Nugraha. Ada misi lain yang harus Aku jalani sendiri. Memang ini akan sedikit memakan waktuku. Ada seseorang yang harus mendukung laju rencanaku.

     

     

     

     

     

     

      

     

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
cepat bergerak vina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status