Share

Kuntilanak dan Bunga Kematian
Kuntilanak dan Bunga Kematian
Author: Deva Shastravan

Chapter 01

Suasana Desa Tirtamaya tak seperti malam-malam biasanya, terasa lebih sunyi, bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, seolah-olah berhenti.

Arina tak dapat melupakan, dia masih teringat pertemuan terakhir dengan adiknya sebelum dia meninggal, sebuah keributan kecil dan mereka belum sempat berbaikan.

Lamunan Arina buyar tatkala dia mendengar suara ketukan halus di kaca jendelanya.

"Ah ... mungkin hanya perasaanku saja, bisa jadi itu karena hembusan angin," ujar Arini pada dirinya sendiri, karena kalau mau jujur ​​​​kesunyan malam ini benar-benar membuat perasaannya tak enak.

Sore tadi baru saja berlangsung acara tahlilan malam pertama adiknya itu, dan Arina tak mau memikirkan hal yang bukan-bukan tentang Arini, sebab dia teringat mitos yang tersebar di masyarakat kalau seseorang yang mati tak wajar akan gentayangan, tapi apakah kematian adiknya itu termasuk tak wajar?

Suara ketukan di jendela kamarnya kembali terdengar, sangat halus dan nyaris tak terdengar jika malam itu suasananya tak terlalu sunyi.

Degup jantung Arini mulai terasa semakin kencang, rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhnya, bayangan demi bayangan seram seperti yang pernah dilihatnya di dalam film-film horor kembali tampak jelas di benaknya, membuatnya kian takut, dan Arina mulai menggigil, tangannya gemetar.

Suara ketukan itu lagi, kali ini dibarengi dengan sebuah suara. Ya suara. Suara yang begitu dikenal Arina, suara itu memanggil namanya.

Terdengar begitu halus dan sedikit bergema, suara itu memanggilnya dengan nada seperti orang yang tengah terisak-isak, ada kesedihan mendalam yang ditanggungkannya. Arina semakin yakin kalau suara itu adalah suara ... Adiknya.

"Kak Rina ... Tolong aku, Kak. Sakit ... Sakit ...."

Sekali pun terdengar halus dan kecil, namun suara itu terdengar begitu jelas di telinga Arina, suara adiknya yang seperti meminta pertolongan.

Rasa takut bercampur rasa penasaran menggumpal menjadi satu dalam dada Arina. Perlahan dia bangkit dari tidurnya, berjalan menuju ke arah jendela kamar di mana tadi dia mendengar suara ketukan dan suara yang memanggil namanya.

"Kak Rina ...."

Dada Arina turun naik, napasnya tersengal. Ini adalah pengalaman pertamanya mengalami kejadian aneh dan terbilag cukup menakutkan. Namun dia tak bisa berdiam diri saja, karena suara panggilan dan ketika itu akan terus menyiksanya sepanjang malam jika dia tak membuka daun jendeka dan melihat sendiri siapa sebenarnya yang berada di sana, benarkan itu memang suara adiknya, sementara akalnya sendiri tahu dan berkata akalau adiknyabitu sudah meninggal. Mustahil untuk kembali lagi, mustahil untuk bergentayangan.

Gerendel jendela perlahan ditariknya, dan daun jendela berderit pelan membuka ke arah luar.

Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya pepohonan rindang yang bergoyang-goyang oleh terpaan angin, sementara hujan yang turun rintik-rintik masih betah berlama-lama turun membasahi tanah desa Tirtamaya malam itu. Udara dingin malam segera menyergap tubuh Arina ketika jendela kamarnya terbuka sepenuhnya.

"Tak ada siapa-siapa, memang ini hanya perasaanku saja, konyol sekali jika aku termakan perasaanku sendiri marasa kalau itu adalah suara Arini. Arini sudah tenang di alam sana, dan tak mungkin dia gentayangan sebagai ruh yang penasaran."

Sesekali terpaan air hujan rintik itu mengarah padanya terbawa hembusan dinginnya angin. Saat itu Arina mendengar suara lolongan anjing di kejauhan, lolongannya panjang dan terdengar menyayat hati bagi siapa yang mendengarnya.

Segera Arina menutup kembali jendela kamarnya rapat-rapat, dia ingin semua yang dialaminya malam ini segera berlalu. Dia tak mau larut dalam hakusianasinya sendiri dan berpikir yang tidak-tidak tentang adik tercintanya.

Kematian Arini yang tertabrak mobil itu sepatutnyalah hanya sebuah kecelakaan biasa. Hal yang membuat Arina heran adalah manakala dia mendengar bisik-bisik dari para pelayat yang mengatakan kalau Arini meninggal secara tidak wajar.

Sesampainya di pembaringan, Arina kembali merebahkan tubuhnya, dan memejamkan mata, tetapi lagi-lagi suara ketukan halus di jendela kamar kembali didengarnya.

Arina berdengus kesal, dia sudah membuka sendiri tadi dan jelas-jelas tak ada siapa pun di luar jendela. Apakah itu hanya orang iseng yang sekedar ingin menakut-nakutinya saja?

Tapi semakin lama suara ketukan di jendela malah semakin lebih sering di dengarnya, Arina bangkit dan cepat-cepat menuju jendela, mumbukanya dan ingin langsung menangkap basah siapa orangnya yang telah usil mengerjainya malam-malam begini.

Tetapi begitu jendela terbuka, mulut Arina langsung menganga tanpa satu suara pun yang keluar. Matanya jelas tak salah lihat, di luar sana sangat jelas sosok adiknya berdiri memunggunginya dengan rambut panjangnya yang terurai dan berderai tersapu angin malam.

"Kak Rina, tolong aku. Sakit, Kak...."

Suara halus yang memanggil namanya kembali terdengar, asalnya memang dari sosok yang berdiri di hadapannya. Arina ingin menyapa tapi lidahnya terasa kelu untuk bersuara. Dia masih tak peryaca kalau yang berdiri di hadapannya saat itu adalah sosok Arini, yang kini menjelma menjadi ruh yang penasaran.

Perlahan sosok itu berbalik sampai tubuhnya kini benar-benar menghadap ke arah Arina.

Arina melihatnya, sosok itu berdiri dengan menundukkan wajah, hingga rambutnya yang terurai itu menutupi keseluruhan mukanya. Memakai gaun berwarna putih yang terlihat kotor penuh dengan noda tanah, dan di beberapa bagian Arina bisa melihat jelas warna kemerahan yang pekat dan kental, itu adalah darah! Ya, bercak darah. Darah Arini!

Perlahan sosok itu mendekat ke arah jendela, jantung Arina kembali berdetak keras. Apalagi suara lolongan anjing itu makin terdengar pilu, seakan melakukan kesedihan yang teramat sangat.

Sosok itu kini telah berdiri tepat di dekat jendela, berharap-hadapan langsung dengan Arina yang mematung tak bersuara.

"Kak, ini aku Arini. Tolong...." perlahan tangan sosok bergaun putih lusuh itu bergerak naik, tampaklah kini kalau tangan itu berwarna sangat pucat. Sepucat mayat!

Tangan itu hendak meraih pundak Arina, dan saat menyentuh pundaknya, rasa dingin pun mulai menjalar ke sekujur tubuh.

Saat itulah Arina melihat satu gambaran di kepalanya, sebuah Altar terbuat dari batu, ada sosok perempuan yang tak berdaya terbaring di sana, di keliling oleh beberapa orang yang mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup kerudung hitam.

Di bagian dekat kepala gadis yang terbaring itu tampak seseorang dengan pakaian yang sama serba hitam memegang sebilah belati, setelah usai membaca sesuatu yang entah apa, dia menempelkan belati tersebut ke leher gadis itu, merobek ya dan mengalirlah darah segar membasahi altar.

Bayangan itu hilang, Arina kembali ke kesadarannya. Tapi alangkah terkejutnya Arina ketika dia membuka matanya. Sosok bergaun putih yang tubuhnya sudah basah kuyup oleh hujan itu tak lagi menunduk, wajahnya menghadap ke Arina.

Arina kaget bukan utama, karena wajah dihadapannya adalah wajah penuh luka. Kulit wajah mengelupas dan penuh darah, sementara salah memperhatikan dan hanya menyisakan lubang hitam yang berdarah.

Arina yang telah meningkatkan kesadarannya untuk berteriak dengan kuat, teriakan yang menyuarakan ketakutan. Siapapun yang mendengar teriakan itu pasti akan mulai berpikir, kalau ini adalah sebuah awal.

Awal dari kengerian yang akan membayang-bayangi Desa Tirtaya untuk waktu lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status