"Jangan, Om! Tolong lepaskan saya!" rintih Maira dengan lengan menahan sakit karena dari tadi pria yang lebih matang dari gadis SMA itu menggenggam tangannya begitu kencang.
"Tak apa, Humaira! Om akan melakukannya secara halus dan pelan-pelan. Tenang saja, ya." Maira menggeleng cepat dengan tatapan mata yang minta dikasihani.
"Tidak! jangan, Om! Aku mohon!" Suara Maira bergetar.
Tes!
Buliran bening lolos dengan begitu derasnya dari pelupuk mata Maira dalam gelapnya ruangan itu membuat dadanya sesak. Gadis yang baru kemarin menerima ijazah SMA-nya itu sangat takut pada pria yang biasanya menjadi tamu Ibunya.
Pria itu menggandeng Maira dengan paksa ke kamar sewa yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Maira pun semakin kaget dan takut saat pria yang tak ia ketahui namanya itu tiba-tiba mematikan lampu karena geram melihat gadis remaja itu memohon.
"Tidak akan ada kesempatan lepas pagi ini, Humaira! Aku sudah menunggu lama untuk saat ini!" geramnya sambil melepas kancing seragam Maira.
"Tidaaak! Jangan! Tolong jangan lakukan ini padaku, Om!" Air mata Maira menetes lagi menahan lara dari kemungkinan terburuk yang terjadi. Suara berat dan bergetar yang hampir tercekat itu tak dipedulikan oleh laki-laki muda itu.
Dengan tatapan penuh ga*rah pria itu mendekat dan mengendus leher Maira, menjulurkan lidahnya membuat Maira ingin muntah dan menggamparnya. Namun tangan kecil gadis remaja itu lemas seperti jeli.
"Ibu! Tuhan!" Pekik Maira membuat pria yang sudah diliputi ga*rah itu tertawa dengan pandangan mengerikan yang nampak sekilas dari cahaya luar jendela yang remang.
"Teriaklah sekencang mungkin menyebut nama Ibumu dan Tuhanmu, Humaira! Mereka tak akan datang," ucapnya dengan seringai dan mata tajamnya yang berkilat dibawah cahaya yang menerobos dari luar jendela.
"Tidak, Om! Jangan apa-apakan Ibuku!" pinta Maira dengan derai air mata yang masih mengalir deras. Tidak ada yang boleh melukai Ibunya.
Tanpa menjawab, tangannya menyapu pipi Maira membuat darah dan amarah gadis remaja itu beradu bercampur menuju puncak ubun-ubunnya. Hingga sebuah air ludah Maira daratkan di wajah pria otak kotor itu.
"Jangan kurang ajar, Humaira!" gertaknya sambil mencengkram dagu Maira dengan kerasnya. Sementara tangan kirinya mengusap ludah di wajahnya dan memasukkan jari kemulutnya.
'Menjij*kkan!' Maira tambah bergidik bulu kudukknya. Menyiutkan nyali yang sudah ciut dari tadi.
"To-long lep-pas-kan say-ya dann Ib-bu!" ucap Maira dengan susah payah. Sorot mata pria didepan Maira itu makin berkilat dengan senyum liciknya.
"Ib-bu!" Maira teringat satu-satunya wajah yang selama ini menemani harinya.
"Melepaskan? Tidak bisa, Humaira! Aku sudah lama menantikan saat ini. Menunggu waktu Ibumu terpedaya olehku." Dia mengecup kedua mata Maira yang masih saja menangis. Turun ke pipi ... Maira semakin muak pada kelakuannya. Daan ...
"Hmmmph!" Bagai mendapat kekuatan super, lutut Maira menendang bagian v*tal dan mendorong pria didepannya hingga dia terpukul mundur beberapa meter kebelakang dan terjerembab ke lantai keramik warna hijau daun itu. Lalu dengan langkah seribu Maira berlari kedalam kamar mandi dan menguncinya cepat.
Maira terduduk dibelakang pintu sambil memeluk lutut dan mengumpulkan kekuatan. Ada ribuan kekhawatiran jika pria itu nekat mendobrak pintu, apa yang harus ia lakukan. Ia harus berpikir cepat. Maira ingat tasnya yang masih menempel dibadan. Dengan napas terengah-engah itu kini sedikit merasa lega saat ia menemukan benda pipih itu.
"Ibu ... Untung tadi aku pas mau ke sekolah sudah memakai tas ..." gumam Maira seperti mendapat secercah harapan ditengah-tengah keputus asaannya.
"Humaira! Ayo buka pintunya!" Pria itu mencoba merayu Maira dengan suara lembutnya. Mencoba bersabar menghadapi gadis kecil yang kini sangat menggiurkan dimatanya. Ketukan pintu pun sangat lembut. Ponsel ditangan Maira pun hampir terjatuh saking kagetnya Maira mendengar suara pria itu. Maira mengangkat tubuhnya dan berjalan ke tempat yang paling jauh dari sudut pintu, berharap pria itu tak mendengar suaranya nanti saat menelpon.
Dengan tangan gemetar, Maira menghubungi Ibunya yang sempat pergi sebentar sebelum ia pergi ke sekolah untuk membelikannya sarapan di warung depan komplek. Siapa lagi yang akan Maira hubungi selain ibunya? Ya, gadis remaja cantik itu hanya mengenal Ibunya saja di lingkungan tempat tinggalnya. Di komplek pel***ran ini Maira tak mengenal siapapun. Ibunya tak pernah membiarkan putri yang ia lahirkan tanpa suami itu bergaul dengan tetangganya. Hingga pagi naas ini datang, saat pria yang sering datang ke rumahnya itu membawa Maira kabur tanpa sepengetahuan Ibunya.
"Humaira! Buka, Sayang!" Suara serak pria tanpa nama itu terus saja memanggil nama Maira sambil menggedor-gedor pintu dengan tambah keras.
Hati Maira mencelos saat menanti jawaban telepon yang mulai tersambung.
Tuuut tuuut
"Tolong angkat, Bu! Hiks," gumam mulut kecil Maira tiada henti sambil terus menitikkan air mata.
"Humaira!"
Brak!
Suara pintu digebrak dengan begitu kerasnya. Tangan Maira semakin gemetar saat panggilannya tak kunjung ada jawaban.
Tes!
"Tuhan ... Selamatkan aku. Ibu ... Angkat telepon Maira!"
***
"
*** (Assalamualaikum, Mai!) sapa ibu Maira di seberang. "Ibu! Tolong Maira! Om tamu Ibu membawa aku ke kamar sewa." Dengan suara lirih yang bergetar Maira sangat berharap Ibunya datang menyelamatkan kesuciannya yang selama ini ia jaga. (Iya, Mai! Ibu akan segera ke sana!) Ibu Maira langsung menutup sambungan ponselnya. "Ibu ...," panggil Maira di sela-sela Isak tangisnya. Di luar, Om itu masih saja mengoceh yang entah bicara apa, Maira sudah tak peduli pada ucapan dan tangan atau badan pria menjij*kkan itu, yang tak berhenti berulah pada pintu. Maira begitu muak saat ingat lelaki yang ia benci dalam diamnya itu melecehkan dirinya. Saat ia membawa Ibunya pergi saja rasanya sudah muak dan ingin menggampar apalagi saat ini dirinya langsung yang kena sentuhan tangan dan bibir yang tak punya ad*b itu. 'Oh, Tuhan! Apa salahku yang tak punya Ayah ini? Aku hanya mengandalkan tangan seorang Ibu. Disaat gadis seusiaku datang ke sekolah diantar oleh Ayahnya, aku merasa iri. Kepala ini tak
***Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."Tes!Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om A
*** "Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni. Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit. 'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu. "Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri. "Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak. 'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri .
*** "Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah. "Hayo-hayo Bandung ...." "Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu. Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas. "Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman. "
*** "Oke, aku maafkan. Tadi malaikat kecil ini udah pesen dulu. Ini yang kedua. Berapa totalnya?" "5 ribu, P-pa-k, eh-- Kak ..." ucap Maira menggantung, tampak ragu dan takut. Raditya menahan tawa, demi dilihat si penjual cilok itu seperti ketakutan tak berani menatap matanya yang dari tadi terpaku pada gadis itu. 'Aku galak, ya? Hahaha,' batin Raditya tertawa. "Semua?" Raditya menaikkan alisnya. "Yang pertama saya niatkan sodaqoh." Raditya mengulum senyum tipisnya, tak ingin terlihat rasa bangganya pada gadis itu. Raditya mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan ditaruh diatas gerobak Maira. "Kembaliannya, Pak! Eh, Kak!" Raditya yang sudah berjalan meninggalkan Maira. "Dasar orang kaya sombong!" Maira ngedumel sambil mengambil kembalian untuk pria yang tak mau dipanggil bapak itu. Setelah selesai mengambil sejumlah kembalian, dia menghadang langkah Raditya. "Ini kembaliannya, Pak." Napas Maira terengah-engah. Raditya memandangnya cukup lama. 'Gadis yang menggemaskan. Mu
***Sementara itu di rumah Andri tampak putrinya yang bernama Nayla sedang tersenyum manis menyambut kekasihnya yang dari fakultas ekonomi di kampus yang sama dengannya.Namun sebelum Zian Bintoro-nama kekasih Nayla itu menghampiri Nayla, matanya melongok kearah kebun belakang rumah Andri."Nyari apa sih, Yang?" tanya Nayla kesal karena ia tahu kekasihnya pasti mencari keberadaan Maira."Maira ada?" Nayla mencebikkan bibirnya kesal karena Zian selalu saja menanyakan Maira saat ke rumahnya."Aku di sini lho, Yang! Ngapain kamu tanya pembantuku?""Ada apa tidak?" tanya Zian dingin."Gak ada, dia jualan. Udah ah! Jangan bahas dia lagi. Menjadikan mood kita buruk. Lebih baik kamu duduk dulu, aku ambilin kudapan.""Yang buat Maira?" Nayla kesal karena Zian dari tadi hanya bertanya Maira-Maira melulu."Ya iyalah, namanya juga pembantu. Ya tugasnya masakin semuanya buat kita. Bentar, ya?" Zian mengangguk tersenyum karena disaat ia ke rumah Nayla selalu bisa menikmati makanan buatan Maira-mah
***Setiba Maira di halaman rumah Andri-adik dari ibu Maira, mata Maira melihat Nayla-adik sepupunya dan pacarnya tengah ngobrol di teras. Maira mengerem sepedanya dan memasuki halaman rumah Om-nya dengan menuntunnya pelan-pelan ke belakang. Andri menyediakan sebuah kamar kecil dibelakang rumah mewahnya untuk Maira."Maira!" teriak pacar Nayla dan mendekat pada Maira.Deg!"Ya Tuhan, kenapa lelaki itu memanggilku? Bisa habis aku kena marah Nayla nanti," gumam Maira lirih. Maira pura-pura tak mendengar dan terus saja menuntun sepedanya."Maira! Tolong berhenti!" Mendengar kata 'tolong', Maira reflek menghentikan sepedanya.'Aduh bagaimana ini?' Maira bingung saat melirik lelaki itu menghampiri Maira dan disusul langkah Nayla dari belakang lelaki itu."Ciloknya masih?" tanyanya setelah sampai di dekatnya."Habis, Mas." Dia tertawa kecil mendengar jawaban Maira."Kenapa panggil aku 'Mas', hmm? Bukankah sudah aku katakan kita satu kampus?" Maira diam saja, dia lebih takut reaksi Nayla yan
***"Kakinya berdarah," jawab Zian lalu berbalik pergi. Maira yang dari tadi mengintip dari jendela membuka kamar dan hendak mencuci kakinya di kran yang tak jauh dari kamarnya supaya tak ada kuman dan cepat kering lukanya.Betapa kagetnya Maira saat mendapati Zian duduk di kursi kecil yang biasa Maira duduki saat membuat dagangan. "Z-zi-ann??" "Duduklah, Mai. Aku akan mengobati lukamu." Zian mengangkat tubuhnya dan memberikan tempat yang barusan didudukinya."Saya sudah gak apa-apa, kok." Maira menolak halus demi mendapati Nayla yang sudah berdiri didepan Maira dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada dengan pandangan tak suka."Nanti kalau gak segera diobati akan infeksi," cetus Zian."Iyakah? Gak semengerikan itu lah, Sayang. Toh hanya luka lecet doang," cicit Nayla."Iya, besok juga kering kok, Zian. Pergilah dan teruskan apel kamu." Maira hendak masuk ke kamar tapi Zian berdiri didepannya."Annisa Humaira! Kapan sih kamu peduli pada dirimu sendiri? Kalau kamu acuh pada diri