Share

Kupinang Kau Walau Tak Berayah
Kupinang Kau Walau Tak Berayah
Penulis: Nick RA

Bab 1. Masa Pahit

"Jangan, Om! Tolong lepaskan saya!" rintih Maira dengan lengan menahan sakit karena dari tadi pria yang lebih matang dari gadis SMA itu menggenggam tangannya begitu kencang.

"Tak apa, Humaira! Om akan melakukannya secara halus dan pelan-pelan. Tenang saja, ya." Maira menggeleng cepat dengan tatapan mata yang minta dikasihani.

"Tidak! jangan, Om! Aku mohon!" Suara Maira bergetar.

Tes!

Buliran bening lolos dengan begitu derasnya dari pelupuk mata Maira dalam gelapnya ruangan itu membuat dadanya sesak. Gadis yang baru kemarin menerima ijazah SMA-nya itu sangat takut pada pria yang biasanya menjadi tamu Ibunya.

Pria itu menggandeng Maira dengan paksa ke kamar sewa yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Maira pun semakin kaget dan takut saat pria yang tak ia ketahui namanya itu tiba-tiba mematikan lampu karena geram melihat gadis remaja itu memohon.

"Tidak akan ada kesempatan lepas pagi ini, Humaira! Aku sudah menunggu lama untuk saat ini!" geramnya sambil melepas kancing seragam Maira.

"Tidaaak! Jangan! Tolong jangan lakukan ini padaku, Om!" Air mata Maira menetes lagi menahan lara dari kemungkinan terburuk yang terjadi. Suara berat dan bergetar yang hampir tercekat itu tak dipedulikan oleh laki-laki muda itu.

Dengan tatapan penuh ga*rah pria itu mendekat dan mengendus leher Maira, menjulurkan lidahnya membuat Maira ingin muntah dan menggamparnya. Namun tangan kecil gadis remaja itu lemas seperti jeli.

"Ibu! Tuhan!" Pekik Maira membuat pria yang sudah diliputi ga*rah itu tertawa dengan pandangan mengerikan yang nampak sekilas dari cahaya luar jendela yang remang.

"Teriaklah sekencang mungkin menyebut nama Ibumu dan Tuhanmu, Humaira! Mereka tak akan datang," ucapnya dengan seringai dan mata tajamnya yang berkilat dibawah cahaya yang menerobos dari luar jendela.

"Tidak, Om! Jangan apa-apakan Ibuku!" pinta Maira dengan derai air mata yang masih mengalir deras. Tidak ada yang boleh melukai Ibunya.

Tanpa menjawab, tangannya menyapu pipi Maira membuat darah dan amarah gadis remaja itu beradu bercampur menuju puncak ubun-ubunnya. Hingga sebuah air ludah Maira daratkan di wajah pria otak kotor itu.

"Jangan kurang ajar, Humaira!" gertaknya sambil mencengkram dagu Maira dengan kerasnya. Sementara tangan kirinya mengusap ludah di wajahnya dan memasukkan jari kemulutnya.

'Menjij*kkan!' Maira tambah bergidik bulu kudukknya. Menyiutkan nyali yang sudah ciut dari tadi.

"To-long lep-pas-kan say-ya dann Ib-bu!" ucap Maira dengan susah payah. Sorot mata pria didepan Maira itu makin berkilat dengan senyum liciknya.

"Ib-bu!" Maira teringat satu-satunya wajah yang selama ini menemani harinya.

"Melepaskan? Tidak bisa, Humaira! Aku sudah lama menantikan saat ini. Menunggu waktu Ibumu terpedaya olehku." Dia mengecup kedua mata Maira yang masih saja menangis. Turun ke pipi ... Maira semakin muak pada kelakuannya. Daan ...

"Hmmmph!" Bagai mendapat kekuatan super, lutut Maira menendang bagian v*tal dan mendorong pria didepannya hingga dia terpukul mundur beberapa meter kebelakang dan terjerembab ke lantai keramik warna hijau daun itu. Lalu dengan langkah seribu Maira berlari kedalam kamar mandi dan menguncinya cepat.

Maira terduduk dibelakang pintu sambil memeluk lutut dan mengumpulkan kekuatan. Ada ribuan kekhawatiran jika pria itu nekat mendobrak pintu, apa yang harus ia lakukan. Ia harus berpikir cepat. Maira ingat tasnya yang masih menempel dibadan. Dengan napas terengah-engah itu kini sedikit merasa lega saat ia menemukan benda pipih itu.

"Ibu ... Untung tadi aku pas mau ke sekolah sudah memakai tas ..." gumam Maira seperti mendapat secercah harapan ditengah-tengah keputus asaannya.

"Humaira! Ayo buka pintunya!" Pria itu mencoba merayu Maira dengan suara lembutnya. Mencoba bersabar menghadapi gadis kecil yang kini sangat menggiurkan dimatanya. Ketukan pintu pun sangat lembut. Ponsel ditangan Maira pun hampir terjatuh saking kagetnya Maira mendengar suara pria itu. Maira mengangkat tubuhnya dan berjalan ke tempat yang paling jauh dari sudut pintu, berharap pria itu tak mendengar suaranya nanti saat menelpon.

Dengan tangan gemetar, Maira menghubungi Ibunya yang sempat pergi sebentar sebelum ia pergi ke sekolah untuk membelikannya sarapan di warung depan komplek. Siapa lagi yang akan Maira hubungi selain ibunya? Ya, gadis remaja cantik itu hanya mengenal Ibunya saja di lingkungan tempat tinggalnya. Di komplek pel***ran ini Maira tak mengenal siapapun. Ibunya tak pernah membiarkan putri yang ia lahirkan tanpa suami itu bergaul dengan tetangganya. Hingga pagi naas ini datang, saat pria yang sering datang ke rumahnya itu membawa Maira kabur tanpa sepengetahuan Ibunya.

"Humaira! Buka, Sayang!" Suara serak pria tanpa nama itu terus saja memanggil nama Maira sambil menggedor-gedor pintu dengan tambah keras.

Hati Maira mencelos saat menanti jawaban telepon yang mulai tersambung.

Tuuut tuuut

"Tolong angkat, Bu! Hiks," gumam mulut kecil Maira tiada henti sambil terus menitikkan air mata.

"Humaira!"

Brak!

Suara pintu digebrak dengan begitu kerasnya. Tangan Maira semakin gemetar saat panggilannya tak kunjung ada jawaban.

Tes!

"Tuhan ... Selamatkan aku. Ibu ... Angkat telepon Maira!"

***

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status