***
(Assalamualaikum, Mai!) sapa ibu Maira di seberang.
"Ibu! Tolong Maira! Om tamu Ibu membawa aku ke kamar sewa." Dengan suara lirih yang bergetar Maira sangat berharap Ibunya datang menyelamatkan kesuciannya yang selama ini ia jaga.
(Iya, Mai! Ibu akan segera ke sana!) Ibu Maira langsung menutup sambungan ponselnya.
"Ibu ...," panggil Maira di sela-sela Isak tangisnya.
Di luar, Om itu masih saja mengoceh yang entah bicara apa, Maira sudah tak peduli pada ucapan dan tangan atau badan pria menjij*kkan itu, yang tak berhenti berulah pada pintu. Maira begitu muak saat ingat lelaki yang ia benci dalam diamnya itu melecehkan dirinya. Saat ia membawa Ibunya pergi saja rasanya sudah muak dan ingin menggampar apalagi saat ini dirinya langsung yang kena sentuhan tangan dan bibir yang tak punya ad*b itu.
'Oh, Tuhan! Apa salahku yang tak punya Ayah ini? Aku hanya mengandalkan tangan seorang Ibu. Disaat gadis seusiaku datang ke sekolah diantar oleh Ayahnya, aku merasa iri. Kepala ini tak pernah merasakan usapan tangan seorang Ayah. Tangan ini tak pernah bisa merengkuh tangan kekar seorang Ayah. Andai ada Ayah, ia pasti akan melindungi aku dari pria jahat seperti Om itu. Huhuhu. Ibu ... Aku ingin Ayah,' rintih Maira dalam hati dengan disusul deraian air mata.
"Humaira! Ayolah! masa bermain-main telah habis. Jangan sampai kesabaran Om hilang dan Om akan bermain kasar sama kamu. Kalau kamu keluar sekarang, Om janji akan memperlakukan kamu dengan lembut dan tak menyakitkan. Om janji, Humaira!"
Maira bersumpah dalam hatinya sampai kapanpun tidak akan pernah percaya pada janji laki-laki sepertinya. Laki-laki buaya yang sering mempermainkan wanita. Kehadirannya di dunia ini juga termasuk salah satu dari janji palsu pria yang menjadi Ayah biologisnya. Ya! Laki-laki semuanya sama saja! Mereka hanya mau manisnya wanita setelah itu membuangnya seperti Ibu, pikir Maira.
"Humaira! Ayo, Sayang. Punya Om sudah tak sabar ingin masuk ini ..." Suara lembutnya Maira yakini itu adalah suara iblis yang menyesatkan.
'Jangan pernah berharap aku akan membukakan pintu ini. Biar napasku habis di kamar mandi ini pun aku rela asalkan aku masih bisa menjaga diri dari tubuh set*nnya!' tegas Maira dalam hati.
Cuih!
Maira meludah ke lantai disampingnya merasa jij*k padanya. Dalam hati ia mengumpat laki-laki tak bermor*l sepertinya.
Ceklek ceklek
Terdengar suara kunci dari luar. Pria yang dari tadi meminta Maira agar mau membuka pintu untuknya, kini matanya terbelalak sempurna demi dilihat seorang wanita yang ia kenal masuk ke kamar sewanya. Dibelakangnya ada dua orang pria yang tinggi besar menyeramkan dengan tato disepanjang lengannya.
'Shit!' umpatnya dalam hati.
"Bram! Mana putriku?" tanya wanita yang tampak berkilat marah itu garang.
"A-an-an-ni ... Bagaimana kamu bisa disini?" tanya pria yang dipanggil 'Bram' dengan suara gugupnya. Tangannya mengepal, matanya menatao tajam kearah kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dalam hati ia merutuki kebodohannya mengapa tak membuang semua yang menempel dibadan Humaira.
'Argh! Shit!' Bram menunjukan tangannya ke pintu kamar mandi hingga Maira langsung mundur beberapa langkah dengan bulu kuduk merinding.
"Ibu!" teriak Maira dari dalam kamar mandi.
"Tangkap pria ini, Pak! Dia tak menyerahkan identitas pada Mami dan melarikan putriku!" Maira mengelus dada lega mendengar suara Ibunya. Namun ia masih tak berani membuka pintu. Tubuhnya masih ada sisa-sisa gemetar. Sementara 2 pria bertato itu langsung mencekal tangan dan pundak Bram.
"Pak, saya akan urus itu nanti. Mami tahu siapa saya! Lepaskan saya!" Suara Bram meninggi mencoba memberontak dari cengkraman kuat 2 pria kekar bertato itu. Namun itu hal yang sia-sia.
"Jangan pernah sentuh putriku lagi, Bram! Aku bisa lakukan hal yang lebih nekat dari ini!" ancam ibu Maira dengan kilatan amarah yang masih berkumpul di mata merahnya. Lalu ia berjalan ke kamar mandi selepas Bram menghilang dibalik pintu kamar sewa.
"Maira! Keluar, Nak!" Maira membuka kunci, dan ...
Ceklek!
"Ibu ... Maira takut ... Hiks!" Maira langsung masuk kedalam pelukan sang Ibu dan meluapkan tangisnya kembali.
Setelah tangis Maira reda wanita yang dipanggil Ibu itu menyuruhnya tidur.
Disaat Maira membuka mata ...
"Maira! Ibu khawatir dengan keberadaan kamu disini, Nak. Tempat ini tak aman untuk kamu. Kamu tahu kan, Nak? Betapa Ibu sangat menyayangi kamu?" Maira menatap kedua netra sang Ibu yang juga tengah menatapnya dalam.
"Kamu harus pergi ke rumah Om Andri. Dia adik Ibu di kota." Maira menggeleng.
"Tapi, Bu ... Maira gak mau jauh dari Ibu."
"Ini untuk kebaikan kamu, Sayang. Ini! simpanlah baik-baik. Sedikit uang ini kamu pakai sehemat mungkin, ya ... Tadi malam ibu sudah menghubungi Om Andri dan dia akan menjemput kamu di terminal."
"Bu ... Tolong jangan pisahkan aku sama Ibu."
"Tenanglah, Nak. Disana Nanti kamus akan melanjutkan pendidikan kamu. Kamu harus rajin belajar supaya menjadi orang yang berguna, tidak seperti Ibu." Maira menggeleng lagi.
"Mai! Nanti setelah Ibu punya modal cukup, Ibu akan menyusul kamu ke kota dan kita akan tinggal bersama lagi. Sekarang bersiaplah!"
"Tapi, Bu ... Maira gak bisa ..." rengek gadis remaja itu sambil mengerjapkan bulu matanya hingga memperlihatkan wajah oriental yang semakin cantik meskipun baru bangun tidur. Ia memeluk tubuh sang Ibu yang tak kalah cantik.
"Ibu janji, Ibu akan menyusul kamu suatu saat nanti, jangan menghubungi Ibu supaya kamu tak terendus oleh pria seperti Bram. Nanti Ibu yang akan menghubungi kamu," ucap sang Ibu dengan wajah sendu.
'Cukup Ibu saja, kamu jangan sampai terjun ke lembah hitam ini, Mai!' batin Ibu Maira dengan tatapan nanar tertuju pada Maira.
Dengan berat hati disore hari ini Maira meninggalkan tempat dimana ia dilahirkan. Tempat yang indah yang terkenal dengan wanita-wanita yang menggoda iman. Meskipun tempat ini tempat pel***ran tapi semua terorganisir. Orang-orang yang masuk kesitu sudah terdaftar dan tak bisa sembarang orang. Namun sama saja pada pandangan gadis kecil yang baru mengambil ijazah SMA-nya itu.
'Tuhan ... tempat ini terlalu baik untuk perbuatan kotor manusia-manusia tak ber*dab seperti itu.' Maira meskipun ia masih SMA tapi pikirannya sudah dewasa dan ia berjanji pada dirinya dia ingin menjadi sarjana hukum dan memberi perlindungan hukum pada wanita-wanita tak berdaya seperti ibunya. Ia sangat membenci pria-pria yang datang silih berganti, keluar masuk ke komplek lingkungan tempat tinggalnya.
"Selamat tinggal, tanah kelahiranku,"
***
***Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."Tes!Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om A
*** "Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni. Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit. 'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu. "Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri. "Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak. 'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri .
*** "Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah. "Hayo-hayo Bandung ...." "Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu. Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas. "Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman. "
*** "Oke, aku maafkan. Tadi malaikat kecil ini udah pesen dulu. Ini yang kedua. Berapa totalnya?" "5 ribu, P-pa-k, eh-- Kak ..." ucap Maira menggantung, tampak ragu dan takut. Raditya menahan tawa, demi dilihat si penjual cilok itu seperti ketakutan tak berani menatap matanya yang dari tadi terpaku pada gadis itu. 'Aku galak, ya? Hahaha,' batin Raditya tertawa. "Semua?" Raditya menaikkan alisnya. "Yang pertama saya niatkan sodaqoh." Raditya mengulum senyum tipisnya, tak ingin terlihat rasa bangganya pada gadis itu. Raditya mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan ditaruh diatas gerobak Maira. "Kembaliannya, Pak! Eh, Kak!" Raditya yang sudah berjalan meninggalkan Maira. "Dasar orang kaya sombong!" Maira ngedumel sambil mengambil kembalian untuk pria yang tak mau dipanggil bapak itu. Setelah selesai mengambil sejumlah kembalian, dia menghadang langkah Raditya. "Ini kembaliannya, Pak." Napas Maira terengah-engah. Raditya memandangnya cukup lama. 'Gadis yang menggemaskan. Mu
***Sementara itu di rumah Andri tampak putrinya yang bernama Nayla sedang tersenyum manis menyambut kekasihnya yang dari fakultas ekonomi di kampus yang sama dengannya.Namun sebelum Zian Bintoro-nama kekasih Nayla itu menghampiri Nayla, matanya melongok kearah kebun belakang rumah Andri."Nyari apa sih, Yang?" tanya Nayla kesal karena ia tahu kekasihnya pasti mencari keberadaan Maira."Maira ada?" Nayla mencebikkan bibirnya kesal karena Zian selalu saja menanyakan Maira saat ke rumahnya."Aku di sini lho, Yang! Ngapain kamu tanya pembantuku?""Ada apa tidak?" tanya Zian dingin."Gak ada, dia jualan. Udah ah! Jangan bahas dia lagi. Menjadikan mood kita buruk. Lebih baik kamu duduk dulu, aku ambilin kudapan.""Yang buat Maira?" Nayla kesal karena Zian dari tadi hanya bertanya Maira-Maira melulu."Ya iyalah, namanya juga pembantu. Ya tugasnya masakin semuanya buat kita. Bentar, ya?" Zian mengangguk tersenyum karena disaat ia ke rumah Nayla selalu bisa menikmati makanan buatan Maira-mah
***Setiba Maira di halaman rumah Andri-adik dari ibu Maira, mata Maira melihat Nayla-adik sepupunya dan pacarnya tengah ngobrol di teras. Maira mengerem sepedanya dan memasuki halaman rumah Om-nya dengan menuntunnya pelan-pelan ke belakang. Andri menyediakan sebuah kamar kecil dibelakang rumah mewahnya untuk Maira."Maira!" teriak pacar Nayla dan mendekat pada Maira.Deg!"Ya Tuhan, kenapa lelaki itu memanggilku? Bisa habis aku kena marah Nayla nanti," gumam Maira lirih. Maira pura-pura tak mendengar dan terus saja menuntun sepedanya."Maira! Tolong berhenti!" Mendengar kata 'tolong', Maira reflek menghentikan sepedanya.'Aduh bagaimana ini?' Maira bingung saat melirik lelaki itu menghampiri Maira dan disusul langkah Nayla dari belakang lelaki itu."Ciloknya masih?" tanyanya setelah sampai di dekatnya."Habis, Mas." Dia tertawa kecil mendengar jawaban Maira."Kenapa panggil aku 'Mas', hmm? Bukankah sudah aku katakan kita satu kampus?" Maira diam saja, dia lebih takut reaksi Nayla yan
***"Kakinya berdarah," jawab Zian lalu berbalik pergi. Maira yang dari tadi mengintip dari jendela membuka kamar dan hendak mencuci kakinya di kran yang tak jauh dari kamarnya supaya tak ada kuman dan cepat kering lukanya.Betapa kagetnya Maira saat mendapati Zian duduk di kursi kecil yang biasa Maira duduki saat membuat dagangan. "Z-zi-ann??" "Duduklah, Mai. Aku akan mengobati lukamu." Zian mengangkat tubuhnya dan memberikan tempat yang barusan didudukinya."Saya sudah gak apa-apa, kok." Maira menolak halus demi mendapati Nayla yang sudah berdiri didepan Maira dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada dengan pandangan tak suka."Nanti kalau gak segera diobati akan infeksi," cetus Zian."Iyakah? Gak semengerikan itu lah, Sayang. Toh hanya luka lecet doang," cicit Nayla."Iya, besok juga kering kok, Zian. Pergilah dan teruskan apel kamu." Maira hendak masuk ke kamar tapi Zian berdiri didepannya."Annisa Humaira! Kapan sih kamu peduli pada dirimu sendiri? Kalau kamu acuh pada diri
***"Tahu! Hati Mas emang bahannya kayaknya beda sama kebanyakan hati manusia pada umumnya deh!" Raditya mencebik merutuki adiknya dalam hati."Terima aja lah Mbak-Mbak temennya mas Dandi keburu bangkotan itu punya Mas. Lagian mereka gak kalah cantik sama Mbak Aina kok," ledek Feni sambil berlari ke kamarnya lagi sebelum Mas-nya itu mengamuknya. Bisa gawat kalau macan tidur Masnya itu bangun."Sialan tuh mulut! Dikuliahin malah ngehina Mas-nya," teriak Raditya tanpa mau mengejar Feni."Kenapa harus temennya mas Dandi jika ada penjual cilok yang mandiri dan menggemaskan? Huft! Sepertinya aku gak bisa berhenti memikirkan gadis cilok tadi." Sesimpul senyum terbit menghiasi wajah Raditya. "Maira ..." Raditya menyugar rambutnya kebelakang. Hatinya berdesir saat mulutnya menyebut nama Maira."Papa ... Aiya mau maem!" Aira menarik lengan Raditya meminta makan."Oke, Sayang!" Tangan Raditya mengusap-usap kepala Aira dengan bibir tersenyum, ia ingat tadi pagi Maira juga mengelus-elus kepala A