Share

Bab 2. Hari Perpisahan

***

(Assalamualaikum, Mai!) sapa ibu Maira di seberang.

"Ibu! Tolong Maira! Om tamu Ibu membawa aku ke kamar sewa." Dengan suara lirih yang bergetar Maira sangat berharap Ibunya datang menyelamatkan kesuciannya yang selama ini ia jaga.

(Iya, Mai! Ibu akan segera ke sana!) Ibu Maira langsung menutup sambungan ponselnya.

"Ibu ...," panggil Maira di sela-sela Isak tangisnya.

Di luar, Om itu masih saja mengoceh yang entah bicara apa, Maira sudah tak peduli pada ucapan dan tangan atau badan pria menjij*kkan itu, yang tak berhenti berulah pada pintu. Maira begitu muak saat ingat lelaki yang ia benci dalam diamnya itu melecehkan dirinya. Saat ia membawa Ibunya pergi saja rasanya sudah muak dan ingin menggampar apalagi saat ini dirinya langsung yang kena sentuhan tangan dan bibir yang tak punya ad*b itu.

'Oh, Tuhan! Apa salahku yang tak punya Ayah ini? Aku hanya mengandalkan tangan seorang Ibu. Disaat gadis seusiaku datang ke sekolah diantar oleh Ayahnya, aku merasa iri. Kepala ini tak pernah merasakan usapan tangan seorang Ayah. Tangan ini tak pernah bisa merengkuh tangan kekar seorang Ayah. Andai ada Ayah, ia pasti akan melindungi aku dari pria jahat seperti Om itu. Huhuhu. Ibu ... Aku ingin Ayah,' rintih Maira dalam hati dengan disusul deraian air mata.

"Humaira! Ayolah! masa bermain-main telah habis. Jangan sampai kesabaran Om hilang dan Om akan bermain kasar sama kamu. Kalau kamu keluar sekarang, Om janji akan memperlakukan kamu dengan lembut dan tak menyakitkan. Om janji, Humaira!"

Maira bersumpah dalam hatinya sampai kapanpun tidak akan pernah percaya pada janji laki-laki sepertinya. Laki-laki buaya yang sering mempermainkan wanita. Kehadirannya di dunia ini juga termasuk salah satu dari janji palsu pria yang menjadi Ayah biologisnya. Ya! Laki-laki semuanya sama saja! Mereka hanya mau manisnya wanita setelah itu membuangnya seperti Ibu, pikir Maira.

"Humaira! Ayo, Sayang. Punya Om sudah tak sabar ingin masuk ini ..." Suara lembutnya Maira yakini itu adalah suara iblis yang menyesatkan.

'Jangan pernah berharap aku akan membukakan pintu ini. Biar napasku habis di kamar mandi ini pun aku rela asalkan aku masih bisa menjaga diri dari tubuh set*nnya!' tegas Maira dalam hati.

Cuih!

Maira meludah ke lantai disampingnya merasa jij*k padanya. Dalam hati ia mengumpat laki-laki tak bermor*l sepertinya.

Ceklek ceklek

Terdengar suara kunci dari luar. Pria yang dari tadi meminta Maira agar mau membuka pintu untuknya, kini matanya terbelalak sempurna demi dilihat seorang wanita yang ia kenal masuk ke kamar sewanya. Dibelakangnya ada dua orang pria yang tinggi besar menyeramkan dengan tato disepanjang lengannya.

'Shit!' umpatnya dalam hati.

"Bram! Mana putriku?" tanya wanita yang tampak berkilat marah itu garang.

"A-an-an-ni ... Bagaimana kamu bisa disini?" tanya pria yang dipanggil 'Bram' dengan suara gugupnya. Tangannya mengepal, matanya menatao tajam kearah kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dalam hati ia merutuki kebodohannya mengapa tak membuang semua yang menempel dibadan Humaira.

'Argh! Shit!' Bram menunjukan tangannya ke pintu kamar mandi hingga Maira langsung mundur beberapa langkah dengan bulu kuduk merinding.

"Ibu!" teriak Maira dari dalam kamar mandi.

"Tangkap pria ini, Pak! Dia tak menyerahkan identitas pada Mami dan melarikan putriku!" Maira mengelus dada lega mendengar suara Ibunya. Namun ia masih tak berani membuka pintu. Tubuhnya masih ada sisa-sisa gemetar. Sementara 2 pria bertato itu langsung mencekal tangan dan pundak Bram.

"Pak, saya akan urus itu nanti. Mami tahu siapa saya! Lepaskan saya!" Suara Bram meninggi mencoba memberontak dari cengkraman kuat 2 pria kekar bertato itu. Namun itu hal yang sia-sia.

"Jangan pernah sentuh putriku lagi, Bram! Aku bisa lakukan hal yang lebih nekat dari ini!" ancam ibu Maira dengan kilatan amarah yang masih berkumpul di mata merahnya. Lalu ia berjalan ke kamar mandi selepas Bram menghilang dibalik pintu kamar sewa.

"Maira! Keluar, Nak!" Maira membuka kunci, dan ...

Ceklek!

"Ibu ... Maira takut ... Hiks!" Maira langsung masuk kedalam pelukan sang Ibu dan meluapkan tangisnya kembali.

Setelah tangis Maira reda wanita yang dipanggil Ibu itu menyuruhnya tidur.

Disaat Maira membuka mata ...

"Maira! Ibu khawatir dengan keberadaan kamu disini, Nak. Tempat ini tak aman untuk kamu. Kamu tahu kan, Nak? Betapa Ibu sangat menyayangi kamu?" Maira menatap kedua netra sang Ibu yang juga tengah menatapnya dalam.

"Kamu harus pergi ke rumah Om Andri. Dia adik Ibu di kota." Maira menggeleng.

"Tapi, Bu ... Maira gak mau jauh dari Ibu."

"Ini untuk kebaikan kamu, Sayang. Ini! simpanlah baik-baik. Sedikit uang ini kamu pakai sehemat mungkin, ya ... Tadi malam ibu sudah menghubungi Om Andri dan dia akan menjemput kamu di terminal."

"Bu ... Tolong jangan pisahkan aku sama Ibu."

"Tenanglah, Nak. Disana Nanti kamus akan melanjutkan pendidikan kamu. Kamu harus rajin belajar supaya menjadi orang yang berguna, tidak seperti Ibu." Maira menggeleng lagi.

"Mai! Nanti setelah Ibu punya modal cukup, Ibu akan menyusul kamu ke kota dan kita akan tinggal bersama lagi. Sekarang bersiaplah!"

"Tapi, Bu ... Maira gak bisa ..." rengek gadis remaja itu sambil mengerjapkan bulu matanya hingga memperlihatkan wajah oriental yang semakin cantik meskipun baru bangun tidur. Ia memeluk tubuh sang Ibu yang tak kalah cantik.

"Ibu janji, Ibu akan menyusul kamu suatu saat nanti, jangan menghubungi Ibu supaya kamu tak terendus oleh pria seperti Bram. Nanti Ibu yang akan menghubungi kamu," ucap sang Ibu dengan wajah sendu.

'Cukup Ibu saja, kamu jangan sampai terjun ke lembah hitam ini, Mai!' batin Ibu Maira dengan tatapan nanar tertuju pada Maira.

Dengan berat hati disore hari ini Maira meninggalkan tempat dimana ia dilahirkan. Tempat yang indah yang terkenal dengan wanita-wanita yang menggoda iman. Meskipun tempat ini tempat pel***ran tapi semua terorganisir. Orang-orang yang masuk kesitu sudah terdaftar dan tak bisa sembarang orang. Namun sama saja pada pandangan gadis kecil yang baru mengambil ijazah SMA-nya itu.

'Tuhan ... tempat ini terlalu baik untuk perbuatan kotor manusia-manusia tak ber*dab seperti itu.' Maira meskipun ia masih SMA tapi pikirannya sudah dewasa dan ia berjanji pada dirinya dia ingin menjadi sarjana hukum dan memberi perlindungan hukum pada wanita-wanita tak berdaya seperti ibunya. Ia sangat membenci pria-pria yang datang silih berganti, keluar masuk ke komplek lingkungan tempat tinggalnya.

"Selamat tinggal, tanah kelahiranku,"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status