Share

Bab 3. Rindu Ibu

***

Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.

'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.

Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?

"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."

Tes!

Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om Andri. Dalam mimpinya ia kesulitan untuk bernapas karena om Andri dan Nayla mulai menutup seluruh wajahnya dengan kain serba hitam. Hingga keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Maira yang terbungkus selimut di kamar Feni sang sahabat.

"Ibu!!!" teriak Maira dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Feni-sang sahabat yang tidur disamping Maira terbangun karena teriakan Maira yang sangat kencang lalu menggoyangkan tubuh Maira yang gemetar dan lemas.

"Apa kamu gak nyaman menginap di rumahku, Mai?" gumam Feni gusar sambil terus menggoyangkan tubuh Maira. "Mai! bangun ..." Suara Feni semakin khawatir karena Maira terus meneteskan air mata dalam keadaan mata terpejam. Ia kembali memanggil bestienya sejak awal masuk kampus hingga sekarang itu berulang kali hingga Maira membuka matanya kaget.

Dadanya naik turun, napasnya kembang kempis. "Ya Tuhan! Aku mimpi kejadian itu lagi. Apa yang aku pikirkan? Tidur di rumah sahabatku mimpi itu masih saja datang. Tuhan ...," batin Maira saat memorinya memutar kembali mimpi buruknya barusan.

"Kamu gak nyenyak nginep di rumah aku?" tanya Feni dijawab dengan gelengan kepala oleh Maira. Tangannya dengan lihai merogoh kuncir rambut dipergelangan kirinya lalu menguncir rambutnya asal.

"Mimpi buruk?" tanya Feni lagi dan dijawab dengan anggukan kepala. Feni sahabat yang selalu kepo ini tak pengertian banget kalau Maira sedang lemas begitu.

Feni yang merasa lega bestienya itu bangun segera mengangsurkan segelas air putih dan tisu.

Ia meneguk air putih itu dengan rakus. "Terima kasih." Suara Maira lemas dengan napas naik-turun.

Maira mengusap peluhnya dengan tisu. Tatapannya sendu mengenang hidupnya yang pilu. Mimpi tadi hanyalah sekeping dari ribuan keping kisah hidup Maira yang memilukan disepanjang jalan hidupnya. Diusianya yang kini hampir 21 tahun ia harus berjuang seorang diri meninggalkan kampung halaman tercinta dan menjadi mahasiswi sekaligus penjual cilok demi bertahan hidup di kota Solo ini.

Di kampus ia bertemu dengan Feni yang menjadi sahabatnya hingga saat ini. Walaupun sifat mereka bertolak belakang, tapi tali persahabatan diantara mereka semakin erat karena Maira bisa menjadi pendengar yang baik untuk Feni yang ekstrovert. Mendengarkan cuitan Feni bisa menjadi hiburan tersendiri bagi Maira yang dari segala permasalahan hidupnya.

"Jangan melamun, Mai! Ti-ati jam segini wayah lingsir wengi, hii, " peringat Feni membuat Maira bergidik. Maira menatap Feni yang meletakkan gelas ke nakas dengan tatapan sendunya.

"Jangan nakut-nakutin aku, Fen!" seru Maira sambil mendekap tubuhnya yang kini berasa lengket.

"Makanya jangan melamun!" Maira menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

'Apakah aku harus menceritakan masa laluku yang begitu pahit?' batin Maira. Namun tak berapa lama ia mengurungkan niatnya bercerita.

"Fen, aku pamit pulang, ya." Feni membulatkan matanya.

"What? Pulang? Yakin?" Feni menatap Maira yang mengangguk. "Ini masih jam setengah tiga, Mai ..." cegah Feni dengan halus.

"Iya, gak apa. Jam segini pasar sudah buka kok. Aku mau belanja. Hari ini aku akan jualan." Feni menghembuskan napas lalu mengedikkan bahunya.

"Makanya terima aja tawaran aku untuk jadi kakak ipar aku. Masku itu duda keren."

"Maaf, aku gak minat." Maira memajukan bibir bawahnya. "Pulang dulu, ya." Maira sudah berdiri dan hendak membuka handle pintu.

"Terserah kamulah. Ayo, aku antar kedepan." Feni tak mau mendebat sahabatnya takut ia akan tertekan karena ini pertama kalinya ia mau menginap di rumahnya. Gegas ia membuka pintu kamarnya dan keduanya keluar.

"Heh? Mai?" Feni menghentikan langkahnya saat netranya menangkap Maira yang berhenti cukup lama di ruang keluarga. Feni penasaran dengan apa yang menjadi pusat perhatian sahabatnya itu.

"Kamu melihat apa, Mai?" Maira tersenyum tipis saat tertangkap basah memandangi bingkai foto keluarga yang nampak begitu bahagia.

"Oh, itu? Itu foto keluargaku. Itu Papaku, yang disampingnya itu Mama, yang berdiri disamping Mama itu mas Radit, sang duda keren ... Yang disamping Papa itu mas Dandi, kakak pertama aku. Dan yang jongkok cantik itu namanya Feni Atmaja dan disamping aku itu keponakan mungilku bernama Aira," tutur Feni panjang lebar dengan wajah berbinar dan suaranya yang ceria.

Tanpa sadar bibir Maira menyunggingkan senyum masam melihat sahabatnya yang tampak bersemangat menunjukkan nama-nama anggota keluarganya didalam foto itu. Dalam hati Maira berkata, 'Tuhan ... Kapan aku punya keluarga yang utuh seperti ini?? Sebahagia itu ya punya keluarga yang utuh? Tuhan ...'

"Jadi pulang gak nih?" tanya Feni sambil menepuk bahu Maira.

Maira mengusap matanya yang sudah berembun, lalu mengangguk dan mengikuti langkah Feni menuju bagasi tempatnya menaruh sepeda bututnya.

"Hati-hati, di pasar nanti jangan lupa beli sarapan! Supaya menang kalau nanti diajak gelut sama sepupu songong kamu itu!" pesan Feni sambil melambaikan tangan pada sang sahabat yang mulai mengayuh sepedanya.

"Iya!" teriak Maira dengan senyum tak percayanya. Bisa-bisanya sang sahabat memberi saran seperti itu.

**

Sementara itu di rumah Andri-Om dari Maira, Andri tampak berang karena Maira tak di kamarnya.

"Keponakan kamu itu memang ja*ang, Mas! Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya," celetuk Sofi-istri Andri.

"Bikin malu keluarga saja! Awas kalau pulang nanti!"

"Tapi jangan diusir dulu, Mas! Bisa kita manfaatin itu tenaganya untuk jadi tukang masak kita!" cegah Sofi sambil  menyibak selimutnya.

"Tapi aku rasanya gak sabar untuk mengusir Maira. Nanti kalau tetangga pada tahu gimana?"

"Ya biar gak keluyuran malam lagi, setelah Maghrib kita kunci dia di kamarnya. Beres kan?" Andri mengangguk mendengar ide istrinya.

"Bolehlah kalau begitu. Toh ini juga baru pertama kalinya dia tak pulang!" Andri kembali masuk kedalam selimutnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status