***
Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.
'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.
Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?
"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."
Tes!
Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om Andri. Dalam mimpinya ia kesulitan untuk bernapas karena om Andri dan Nayla mulai menutup seluruh wajahnya dengan kain serba hitam. Hingga keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Maira yang terbungkus selimut di kamar Feni sang sahabat.
"Ibu!!!" teriak Maira dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Feni-sang sahabat yang tidur disamping Maira terbangun karena teriakan Maira yang sangat kencang lalu menggoyangkan tubuh Maira yang gemetar dan lemas.
"Apa kamu gak nyaman menginap di rumahku, Mai?" gumam Feni gusar sambil terus menggoyangkan tubuh Maira. "Mai! bangun ..." Suara Feni semakin khawatir karena Maira terus meneteskan air mata dalam keadaan mata terpejam. Ia kembali memanggil bestienya sejak awal masuk kampus hingga sekarang itu berulang kali hingga Maira membuka matanya kaget.
Dadanya naik turun, napasnya kembang kempis. "Ya Tuhan! Aku mimpi kejadian itu lagi. Apa yang aku pikirkan? Tidur di rumah sahabatku mimpi itu masih saja datang. Tuhan ...," batin Maira saat memorinya memutar kembali mimpi buruknya barusan.
"Kamu gak nyenyak nginep di rumah aku?" tanya Feni dijawab dengan gelengan kepala oleh Maira. Tangannya dengan lihai merogoh kuncir rambut dipergelangan kirinya lalu menguncir rambutnya asal.
"Mimpi buruk?" tanya Feni lagi dan dijawab dengan anggukan kepala. Feni sahabat yang selalu kepo ini tak pengertian banget kalau Maira sedang lemas begitu.
Feni yang merasa lega bestienya itu bangun segera mengangsurkan segelas air putih dan tisu.
Ia meneguk air putih itu dengan rakus. "Terima kasih." Suara Maira lemas dengan napas naik-turun.
Maira mengusap peluhnya dengan tisu. Tatapannya sendu mengenang hidupnya yang pilu. Mimpi tadi hanyalah sekeping dari ribuan keping kisah hidup Maira yang memilukan disepanjang jalan hidupnya. Diusianya yang kini hampir 21 tahun ia harus berjuang seorang diri meninggalkan kampung halaman tercinta dan menjadi mahasiswi sekaligus penjual cilok demi bertahan hidup di kota Solo ini.
Di kampus ia bertemu dengan Feni yang menjadi sahabatnya hingga saat ini. Walaupun sifat mereka bertolak belakang, tapi tali persahabatan diantara mereka semakin erat karena Maira bisa menjadi pendengar yang baik untuk Feni yang ekstrovert. Mendengarkan cuitan Feni bisa menjadi hiburan tersendiri bagi Maira yang dari segala permasalahan hidupnya.
"Jangan melamun, Mai! Ti-ati jam segini wayah lingsir wengi, hii, " peringat Feni membuat Maira bergidik. Maira menatap Feni yang meletakkan gelas ke nakas dengan tatapan sendunya.
"Jangan nakut-nakutin aku, Fen!" seru Maira sambil mendekap tubuhnya yang kini berasa lengket.
"Makanya jangan melamun!" Maira menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.
'Apakah aku harus menceritakan masa laluku yang begitu pahit?' batin Maira. Namun tak berapa lama ia mengurungkan niatnya bercerita.
"Fen, aku pamit pulang, ya." Feni membulatkan matanya.
"What? Pulang? Yakin?" Feni menatap Maira yang mengangguk. "Ini masih jam setengah tiga, Mai ..." cegah Feni dengan halus.
"Iya, gak apa. Jam segini pasar sudah buka kok. Aku mau belanja. Hari ini aku akan jualan." Feni menghembuskan napas lalu mengedikkan bahunya.
"Makanya terima aja tawaran aku untuk jadi kakak ipar aku. Masku itu duda keren."
"Maaf, aku gak minat." Maira memajukan bibir bawahnya. "Pulang dulu, ya." Maira sudah berdiri dan hendak membuka handle pintu.
"Terserah kamulah. Ayo, aku antar kedepan." Feni tak mau mendebat sahabatnya takut ia akan tertekan karena ini pertama kalinya ia mau menginap di rumahnya. Gegas ia membuka pintu kamarnya dan keduanya keluar.
"Heh? Mai?" Feni menghentikan langkahnya saat netranya menangkap Maira yang berhenti cukup lama di ruang keluarga. Feni penasaran dengan apa yang menjadi pusat perhatian sahabatnya itu.
"Kamu melihat apa, Mai?" Maira tersenyum tipis saat tertangkap basah memandangi bingkai foto keluarga yang nampak begitu bahagia.
"Oh, itu? Itu foto keluargaku. Itu Papaku, yang disampingnya itu Mama, yang berdiri disamping Mama itu mas Radit, sang duda keren ... Yang disamping Papa itu mas Dandi, kakak pertama aku. Dan yang jongkok cantik itu namanya Feni Atmaja dan disamping aku itu keponakan mungilku bernama Aira," tutur Feni panjang lebar dengan wajah berbinar dan suaranya yang ceria.
Tanpa sadar bibir Maira menyunggingkan senyum masam melihat sahabatnya yang tampak bersemangat menunjukkan nama-nama anggota keluarganya didalam foto itu. Dalam hati Maira berkata, 'Tuhan ... Kapan aku punya keluarga yang utuh seperti ini?? Sebahagia itu ya punya keluarga yang utuh? Tuhan ...'
"Jadi pulang gak nih?" tanya Feni sambil menepuk bahu Maira.
Maira mengusap matanya yang sudah berembun, lalu mengangguk dan mengikuti langkah Feni menuju bagasi tempatnya menaruh sepeda bututnya.
"Hati-hati, di pasar nanti jangan lupa beli sarapan! Supaya menang kalau nanti diajak gelut sama sepupu songong kamu itu!" pesan Feni sambil melambaikan tangan pada sang sahabat yang mulai mengayuh sepedanya.
"Iya!" teriak Maira dengan senyum tak percayanya. Bisa-bisanya sang sahabat memberi saran seperti itu.
**
Sementara itu di rumah Andri-Om dari Maira, Andri tampak berang karena Maira tak di kamarnya.
"Keponakan kamu itu memang ja*ang, Mas! Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya," celetuk Sofi-istri Andri.
"Bikin malu keluarga saja! Awas kalau pulang nanti!"
"Tapi jangan diusir dulu, Mas! Bisa kita manfaatin itu tenaganya untuk jadi tukang masak kita!" cegah Sofi sambil menyibak selimutnya.
"Tapi aku rasanya gak sabar untuk mengusir Maira. Nanti kalau tetangga pada tahu gimana?"
"Ya biar gak keluyuran malam lagi, setelah Maghrib kita kunci dia di kamarnya. Beres kan?" Andri mengangguk mendengar ide istrinya.
"Bolehlah kalau begitu. Toh ini juga baru pertama kalinya dia tak pulang!" Andri kembali masuk kedalam selimutnya.
***
***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang
***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k
***Mata Maira merah menahan amarah. Hidungnya kembang kempis dengan deru napas yang naik turun. Namun ia hanya mampu diam dan menunduk. Ia tak mau mengotori mulutnya dengan kata-kata kasar pada pria angkuh dan galak itu. Andai ia bukan kakaknya Feni ia pilih berlari pulang.Hati Maira yang baru saja tertawa melihat tingkah adiknya kini harus tersulut emosi lagi karena abangnya.'Mulut pedasnya itu! Ah! Tapi apa salahnya? Dia mengatakan hal yang benar kan? Memang aku ini hanya penjual cilok. Sabar, Mai! Kenapa harus tersinggung coba?' Dalam kepalanya yang masih menunduk, Maira mencoba menjerang senyumnya meski sulit untuk menguatkan hatinya."Mas Radit gak boleh gitu! Meskipun ia penjual cilok, tapi cantik kan?" ujar Feni untuk mencairkan ketegangan yang semakin menguar.Glek!Raditya menelan salivanya. Memang tidak salah yang dikatakan adiknya. Memang dari tadi pagi ia sudah terpesona pada gadis penjual cilok ini. Ah! Takdir yang manis! Ia bahkan lebih manis dari Aina-mantan istrinya
***Maira tak menghiraukan pandangan Feni yang dari tadi meliriknya. Ia lebih mengkhawatirkan pandangan Nayla yang tak ada dibalik mobil."Pulanglah! Kasihan Nayla sudah menunggu," jawab Maira lirih tapi penuh penekanan membuat Zian kecewa karena jawaban gadis itu tak nyambung dari pertanyaannya. Zian melengos sambil mengusap dadanya. Kecewa? Sudah pasti! Mengapa gadis disampingnya ini selalu menutup diri darinya. Sabar, Zi!Namun saat dirinya ingat aksi nekatnya di mall tadi, seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya.Ia tak mau putus asa. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Zian menguatkan tekadnya. Keinginan yang lama ia pendam, bisa dekat dengan Annisa Humaira, mahasiswi pekerja keras yang dari awal melihatnya langsung mencuri hatinya. Satu-satunya gadis acuh dan tak mengindahkan keberadaannya. Jika sampai dirinya melanjutkan studinya ke Amerika dan ia belum juga bisa mengungkapkan cintanya pada Maira ia akan sangat menyesal. 'Aku harus segera mengungkapkan cintaku!'"Aku tunggu
***~Kediaman Hanni~"Ayo, Mas! Buruan telpon adikmu!" titah Hanni pada Raditya yang baru selesai mandi."Iya-iya, Ibukku tersayang ..." Raditya meraih ponselnya disamping MacBook-nya. Baru menyalakan layar ponselnya, sudah berdering duluan.Raditya melirik Ibunya sembari tersenyum. "Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nih, bocah telpon!" Raditya menggeser gagang telpon warna hijau dan wajahnya berubah menjadi serius dan sedikit menegang. Hanni jadi ikut cemas."Share lok! Mas akan jemput kamu!" Tak berapa lama ia memutus panggilannya."Motornya mogok, Buk! Aku akan jemput dia!" Hanni mengangguk cepat dan menoleh kearah Aira yang kini bermain dengan ART-nya."He'em, buruan jemput, Mas! Kasihan adekmu. Mana mendung gelap begini.""Siap, Bu komandan!" Hanni sedikit tersenyum mendengar kekonyolan Raditya. Sudah punya anak juga masih saja bisa menggoda Ibunya.Raditya menaruh ponselnya kesakunya setelah mendapat pesan Wh*tsApp lokasi keberadaan Feni dan temannya.'Mana tega aku biarin Feni susah
*** Maira kembali gusar saat merasakan deru napas yang naik turun teratur menyapu sela-sela rambutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Hatinya berkecamuk berbagai rasa. Darahnya mengalir dengan begitu derasnya. Ingin marah tapi kenapa tak bisa? Ingin menangis tapi kenapa tak lagi meneteskan air mata? Zian memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan tangannya dikepala Maira. Aroma shampo dirambut mahasiswi jurusan hukum yang lama dicintainya dalam diam itu menguar dan masuk dalam indra penciumannya. Menenangkan pikirannya. Namun tidak dengan degup jantungnya yang seperti genderang ditabuh sangat cepat membuat darahnya memanas dan mengalir deras. Berbagai rasa membuncah didadanya. 'Ya Tuhan, kenapa dia tak melepasku?' batin Maira mulai was-was lagi. Dalam perasaannya yang semakin membuncah, Zian sadar tak boleh melewati batasan. Ia ingin menjaga gadis yang dicintainya itu tanpa merusaknya. Ia membuka matanya dan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Maira dengan tatapan yang dalam, d