Usai menyapu dan mencuci pakaiannya serta milik Ammar, Ayudia bergegas mandi. Pukul setengah tujuh, Ayudia selesai bersiap dengan rok plisket warna hitam dan kemeja putih serta jilbab segi empat warna hitam menutup sampai di bawah dada.
"Yah, notebook nya error. Untung saja semua data ada di flashdisk." Gumam Ayudia.
Setelah mengecek alat kerja yang ternyata bermasalah, Ayudia keluar meninggalkan benda tersebut. Lalu ia ikut bergabung dengan keluarganya di meja makan.
"Assalamualaikum, Abah. Umi." Dia menyalami Abah dan Umi. Lalu duduk di sana, di depan Muammar.
Muha memimpin do'a makan, lanjut santap pagi bersama dengan menu sayur kangkung, tempe goreng dan telur goreng. Ayudia menikmati masakan Umi dengan lahap. Ia harus makan dengan baik, setelah hampir dua bulan ia mengurangi isi yang masuk ke lambung.
Kini Ayudia mulai memikirkan kesehatannya, ia mengembalikan napsu makannya yang sempat hilang. Ayudia tak ingin Ammar selalu mengeluh akibat ia
Pukul dua belas siang, lonceng sekolah berdenting. Semua siswa bersorak bahagia karena waktu pulang telah tiba.Sayonara ....Para guru pun ikut senang, hanya saja tak menunjukkan di depan muridnya. Guru juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah.Ayudia keluar terakhir, ia masuk ke dalam kantor sudah tak ada batang hidung Ammar dan Adam. Ayudia membereskan buku-buku yang ia bawa, memasukkan ke dalam tas.Satu persatu guru pulang, sudah menjadi kebiasaan sejak mengajar di SD Kipyuh, Ayudia selalu pulang paling akhir. Mengunci pintu kantor, sekalipun ada yang bertugas menguncinya.Saat semua sudah beranjak, Ayudia mengambil sulak, membersihkan debu yang menempel di lemari maupun meja guru. Ketika pagi, Ayudia tak selalu sempat bersih-bersih kantor. Datangnya kadang malah terlambat, hingga ia berinisiatif mengganti waktu bersih-bersih saat siang. Di saat semua guru berlomba cepat-cepat untuk sampai di rumah, Ayudia justru memilih b
Ayudia tak henti-hentinya terisak pelan. Umi Aida sungguh prihatin menyaksikan kepedihan itu. Bingung harus melakukan apa, karena Ayudia tak ingin kalau sampai Abah mengetahui semua kenyataan pahit yang terjadi di rumah tangganya. "Nduk, ayo masuk kamar. Istirahat dulu, nanti Umi akan coba kembali bicara sama Ammar." Kata Umi Aida. "Ndak perlu, Umi. Kalau diizinkan, Dia mau tidur di kamar Najma saja, Mi. Dia ndak mau selalu membuat Kak Ammar ndak nyaman. Sekali ini saja, Dia mohon, Mi." Ucap Ayudia memelas. "Ya sudah, ayo ke kamar Najma." "Sebentar, Mi. Dia mau mengambil barang-barang Dia dulu." Kamar Najma tidak dikunci, meski penghuninya belum pulang. Ayudia masuk ke dalam, dan Umi pergi entah kemana. Gadis itu segera masuk kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air wudhu. Lalu Ayudia sholat Dzuhur. Hatinya sudah lebih tenang, ia kembali berpikir keras bagaimana cara agar masalahnya tidak melebar kemana-mana. Perpisahan bukan
Sepeninggal Ayudia, Ammar menjalankan aktivitas seperti biasa. Ia sekolah, saat sampai di sekolah. Ammar berniat pergi ke ruang kepala sekolah, memberikan surat izin yang ia tulis atas nama Ayudia."Mau kemana, Am?" Tanya Adam."Ke ruang kepsek. Ada perlu.""Perlu apa, aku juga dari sana. Tadi Pak Abdul bilang mau rapat di luar.""Kamu ngapain, Dam?""Ngantar titipan surat dari Dia. Tadi Najma yang ngasih ke aku pagi-pagi."Deg!Bagaimana dengan perasaan Ammar, hanya dia yang tahu. Hihi.Bukan apa-apa, Adam juga tak seberani itu jika tahu Ammar memperlakukan Ayudia dengan baik. Adam seperti itu juga karena Ammar, karena pria tersebut tidak bisa menghargai Ayudia, tidak bisa sedikit saja menganggapnya sebagai istri.Ammar berbalik badan, melenggang masuk ke dalam kantor. Mengambil buku untuk mengajar dan pergi ke kelas enam tanpa menoleh lagi."Ndak inget apa, kalo udah punya suami, dasar cewek ndak bener." Gumamny
"Sombong sekali dia."Ammar hanya mengatakan itu dalam hati.Tidak menunggu Ayudia selesai membersihkan luka di keningny. Ammar menghidupkan mobil, mengemudi dengan ugal-ugalan. Tak perlu dibawa ugal-ugalan pun sudah mengombang-ambingkan tubuh Ayudia.Perut Ayudia sampai mual karena guncangan yang stabil dan cukup kuat. Ia tak tahan lagi menahannya."Tolong berhenti dulu, Kak." Pinta Ayudia, matanya merem menahan gejolak."Tanggung, bentar lagi sampe." Ketus Ammar,"Kak, perut Dia sakit. Dia mohon." Kata Ayudia memelas.Ammar tak menghiraukan, ia tetap melaju dengan kecepatan sedang. Namanya trek berlumpur dan berlubang, jika dilibas dengan kecepatan sedang, rasanya sudah tak karuan.Ayudia membungkuk, tangan kanannya memegang perut dan tangan kiri berpegangan pada pegangan yang ada di atas pintu.Bibirnya sudah pucat, mata Ayudia sayu. Saking mualnya sampai air mata keluar sendiri.Alhamdulillah,Akhirnya
Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk memilih. Sebenarnya ungkapan itu kurang cocok, karena semua orang menjalani hidup tentu dengan pilihan. Artinya, semua orang menjalani kehidupan dengan pilihan. Terlepas beruntung atau tidaknya takdir memeluk kita.Seperti yang sedang Ayudia alami. Ayudia memilih jalannya sendiri untuk tetap bertahan dengan Ammar. Bukan karena datangnya Ammar dari keluarga terhormat, bukan juga karena parasnya yang masuk ke dalam kategori tampan dan rupawan.Ayudia memilih tetap bertahan meski menyakitkan, karena kakek-neneknya yang telah mengeluarkan banyak keringat untuk merawat dirinya. Hanya mereka yang Ayudia miliki, bahagianya tak hanya hidupnya. Namun juga kebahagiaan kakek-neneknya. Sedangkan, kakek berkata 'Atuk akan tenang bahagia kalau Dia sudah menikah, apalagi menjadi menantu Abah Ahmad, itu hal yang Atuk dan Uti tunggu sejak dulu'.Lebih dari setengah hidupnya ia lalui dengan sang nenek dan kakek. Bahkan Ayudia lupa waja
Ayudia perlahan sadar, saat sekantong darah Ela sudah menyatu dengan darahnya."Uti ... Dia dimana?""Dia ... hei, ini aku ... Ela." Kata Ela.Ayudia mengucek matanya, puing-puing ingatan mulai masuk ke dalam memori Ayudia."Bangun, Nduk. Ini Umi."Ayudia membuka mata lebar, menatap satu persatu manusia yang tengah berdiri di samping ranjang pesakitan."Ela ... Umi." Ucapnya dengan suara khas orang sakit."Iya, ini Umi.""Apa yang terjadi?" Tanya Ayudia,Ela dan Umi saling pandang, bingun hendak menjawab apa. Seharusnya mereka yang bertanya apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa ia sampai tak sadarkan diri. Namun, apa yang terjadi malah sebaliknya. Akhirnya Umi mengangguk, memberi kode pada Ela untuk menjelaskan apa yang telah terjadi."Ingat Allah, apapun yang terjadi jangan sampai kamu malah sakit begini. Banyak anak yang menunggumu untuk mendapat ilmu darimu. Bukankah itu keinginanmu dari dulu? Sabar ... sabar
Kesehatan Ayudia sudah pulih seratus persen. Seminggu sejak kejadian mengenaskan itu menimpa, ia tak serta merta lupa akan itu.Ayudia ingat bagaimana Ammar merasainya. Bukan karena hanyut oleh keheningan malam, Ayudia rasa karena kebencian yang sangat dalam padanya. Kini, gadis itu tak mau lagi menegur Ammar, menatapnya saja Ayudia seolah trauma.Ayudia menuju kamar mandi, membasahi wajahnya dari kran air yang ia biarkan menyala. Terlihat ada jerawat yang tumbuh dibeberapa titik wajahnya. Rambutnya juga tampak kusut, karena sudah dua hari Ayudia malas menyisir. Entah mengapa, ia sedang tak ingin bersolek, bahkan untuk sekedar menyisir rambut.Ayudia kembali ke kamar. Sekarang ia bebas menggunakan kamar itu. Tak lagi takut akan kemarahan Ammar. Ayudia duduk di depan cermin. Membetulkan ikatan rambutnya, lalu memakai jilbab instan untuk menutupi surai hitam tersebut.Gadis itu tersenyum, sampai merona kemerahan di kedua pipinya. Ia sendiri tak mengerti ken
Akhirnya lonceng kepulangan berdenting nyaring, sampai menyentil gendang telinga Ammar yang berada di kelas paling jauh. Hari itu Ammar hanya memberi soal kepada murid-muridnya, sedangkan ia duduk melamun.Bawaannya ingin marah melulu. Anak-anak ikut kecipratan getahnya."Sudah belum? Kalau sudah selesai cepat kumpulkan. Terus siap-siap berdo'a dan pulang!" Teriaknya,Seperti paduan suara, satu kelas itu kompak menjawab; "beluuumm, Paaak!"Ammar berdiri, berjalan ke meja siswa yang paling depan, lalu menarik buku mereka satu persatu."Kalian ini, soal cuma segitu belum selesai juga, Bapak sudah menunggu sampai jam pulang, kalian belum selesai juga, kalian mau dihukum?!" Marahnya pada anak-anak yang tidak tahu apa-apa.Sang ketua kelas berdiri,"Kami mohon ma'af, Pak. Kami belum ada yang menyelesaikan soal-soal yang Bapak beri. Menurut kami, soal yang bapak berikan sangat banyak dan menyulitkan kami. Dari kami ber-30, hanya berapa anak