Banjarnegara, 10 Januari 2012
Tangan Mayang gemetar saat mencelupkan alat uji kehamilan pada wadah urinenya. Sesaat setelah stick penguji kehamilan diangkat dari wadah, Mayang mulai merapal doa. Jantungnya berdebar kencang sementara mulutnya tidak berhenti komat-kamit berdoa. Ia sangat berharap kalau hasilnya hanya garis satu, sesuai petunjuk yang tadi ia baca di kemasan.
Tidak siap dengan hasil yang akan segera ia dapatkan, Mayang memejamkan mata. Ia berusaha mengatur napas terlebih dahulu, agar tidak pingsan saat hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Setelah merasa lebih baik, Mayang pun membuka mata. Mayang berkali-kali mengucapkan kata Alhamdullilah dalam hati, saat mendapati garis satu pada stick. Syukurlah, ternyata ketakutannya tidak terbukti. Ia tidak hamil! Mayang berkali-kali mengelus dada. Berusaha untuk menenangkan perasaannya sendiri.
Saat ini ia berada di toilet pabrik. Jikalau ia pingsan di sini, rekan-rekan kerjanya pasti akan heboh. Apalagi saat mereka menemukan alat penguji kehamilan di tangannya. Bakalan habislah ia di tangan kedua orang tuanya. Makanya ia berusaha menenangkan diri terlebih dahulu sebelum kembali bekerja.
Baru saja ia bermaksud membuang hasil test ke tempat sampah, sesuatu terjadi. Garis pada stick yang tadinya hanya satu, kini berubah menjadi dua! Mayang kaget. Tanpa sadar menjatuhkan alat penguji kehamilan di lantai kamar mandi sambil menjerit lirih. Ia shock!
Tok... tok... tok
"Siapa sih di kamar mandi? Masa dari tadi nggak keluar-keluar? Gantian dong!" Suara gedoran pintu menyadarkan Mayang di mana dirinya berada. Mayang menarik napas dua kali sebelum menjawab.
"Sa--saya Mayang, Mbak. Sebentar lagi juga selesai kok." Mayang menyelipkan stick penguji kehamilannya di saku, sebelum membasuh wajahnya. Setelah merasa agak tenang, barulah ia membuka pintu kamar mandi. Di depan pintu kamar mandi, ia disambut oleh kehadiran beberapa rekan kerjanya yang kebelet pipis. Mereka semua mengomelinya karena kelamaan di kamar mandi. Mayang yang masih linglung berjalan menjauh tanpa menyahuti satu pun omelan mereka. Saat ini pikirannya penuh dengan rencana-rencana yang harus segera ia realisasikan. Salah satunya adalah menemui Mahesa di Jakarta.
"Mas, kita tidak boleh melakukan hal seperti ini? Kita 'kan belum menikah, Mas. Dosa?"
"Tidak apa-apa, Mayang. Kita 'kan saling cinta. Lagi pula, cepat atau lambat kamu toh akan menjadi istri Mas. Jadi tidak masalah kalau kita melakukan hal seperti ini sekarang. Kamu tidak usah takut ya?"
"Kalau nanti Mayang hamil bagaimana? Lusa 'kan Mas sudah kembali ke Jakarta."
"Mau kamu hamil atau tidak, Mas tetap akan kembali ke sini secepatnya untuk melamar kamu. Kalau kamu tidak percaya, ini alamat rumah Mas di Jakarta. Kamu boleh menyusul ke rumah Mas, kalau Mas bohong!"
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Mahesa dua bulan lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Mayang. Karena termakan bujuk rayu Mahesa kala itu, ia pun terlena. Ia menyerahkan mahkota kesuciannya begitu saja pada Mahesa. Ia yakin, Mahesa pasti tidak akan membohonginya. Tapi apa lacur. Dua bulan telah berlalu, namun Mahesa tidak juga kembali ke kampung. Apalagi untuk melamarnya. Dan sekarang ia hamil, sementara Mahesa entah berada di mana.
Keringat dingin kian bermanik di keningnya. Mayang ngeri membayangkan bagaimana kecewanya kedua orang tuanya, saat mengetahui bahwa dirinya hamil di luar nikah. Apalagi orang yang menghamilinya kabur begitu saja. Ia pasti akan diusir oleh kedua orang tuanya karena membawa aib dalam keluarga.
Mayang ketakutan. Dengan keringat dingin membanjir, ia mencoba kembali bekerja. Tugasnya di pabrik ini adalah sebagai buruh pengemas gula pasir. Pendidikan terakhirnya yang hanya kelas 2 SMA, membuatnya hanya bisa bekerja sebagai buruh. Tahun lalu, ia terpaksa berhenti sekolah karena ketiadaan biaya. Ayahnya tidak mampu membiayai pendidikan tiga orang anak sekaligus. Karena ia adalah anak perempuan sementara dua adiknya laki-laki, ayahnya memutuskan sebaiknya dirinya saja yang mengalah. Karena perempuan toh pada akhirnya akan ke dapur juga. Mayang pun mengalah. Ia kemudian melamar pekerjaan di pabrik gula yang tidak jauh dari rumahnya. Hingga hari ini, sudah setahun lebih dua bulan ia bekerja.
"Kenapa kamu malas-malasan bekerjanya, Mayang? Kamu mau dipecat hah?" Bentakan dari mandor pengawas pabrik, membuat Mayang terlonjak. Ia kaget. Gula pasir yang sedianya akan ia kemas pada mesin vertical packaging, nyaris tumpah karena gerakan tidak terkontrolnya.
"Maaf, Bu Henny. Saya sedikit kurang enak badan. Tapi saya janji akan mengemas gula-gula ini secepat mungkin," tukas Mayang cepat. Kalau ia sampai dipecat, bagaimana nasib pendidikan kedua adiknya? Semenjak ayahnya sakit-sakitan, kewajiban membiayai sekolah adik-adiknya kini telah berpindah ke punggungnya.
"Kamu ini saya perhatikan sudah dua bulan tidak semangat bekerja. Tepatnya semenjak anak magang yang bernama Mahesa itu kembali ke kota. Mayang, dengar baik-baik nasehat saya. Kamu jangan percaya begitu saja pada mulut manis mahasiswa kota itu. Dia memacari kamu hanya sekedar untuk membuang sepi di kampung ini. Jangan berharap terlalu banyak. Nanti kamu sakit hati sendiri. Mengerti? Sekarang sebaiknya kamu bekerja, kalau kamu tidak mau saya laporkan pada pihak perusahaan!"
"Ba--baik Bu Henny." Mayang dengan gugup kembali memaksakan diri bekerja. Ia harus mencari kesibukan agar pikirannya tidak melayang ke mana-mana. Mendengar nasehat Bu Henny tadi, tekadnya makin bulat untuk mencari Mahesa ke ibukota. Ia sekarang telah hamil di luar nikah. Itu artinya dan ia harus meminta pertanggungjawaban Mahesa.
Mayang memindai jam dinding. Dua jam lagi, waktu kerjanya akan usai. Ia berencana akan kembali menemui Bu Henny, untuk izin tiga hari. Ia tahu kalau izin yang ia minta, pasti akan diikuti dengan pemotongan gaji. Tetapi ia tidak peduli. Perutnya akan membesar dari hari ke hari. Hal seperti ini tidak bisa ditangguhkan lagi. Ia harus meminta pertanggungjawaban Mahesa secepat mungkin.
***
Sore hari saat pulang ke rumah, Mayang heran melihat banyaknya aneka makanan yang tersaji. Belum lagi kedua orang tuanya memakai pakaian terbaik, yang biasanya hanya mereka kenakan pada acara-acara tertentu. Ada tamu yang akan datang sepertinya. Kedua adiknya, Aris dan Arfan juga tidak kalah rapi. Mereka mengenakan kemeja kotak-kotak, yang merupakan pakaian lebaran mereka tahun lalu. Tamunya ini pasti sangat istimewa.
"Kamu kok lama sekali sih pulangnya, May? Sana cepat mandi dan berdandan yang rapi. Sebentar lagi Sena dan ibunya akan datang."
Kalimat sang ibu yang mengatakan Sena dan ibunya akan datang, menghadirkan rasa ngeri di hati Mayang. Bukan rahasia lagi kalau Sena itu menyukainya. Sena adalah anak tunggal Bu Zainab. Sedangkan ayahnya Sena, tidak seorang pun yang tahu keberadaannya. Menurut rumor, Sena adalah anak haram karena Bu Zainab hamil di luar nikah. Sedari kecil, Sena memang sering diolok-olok sebagai anak haram. Tetapi Bu Zainab dan Sena itu pekerja keras. Mereka mempunyai sebidang tanah yang lumayan luas. Mata pencaharian Bu Zainab dan Sena adalah bertani.
"Untuk apa Mas Sena dan Bu Zainab kemari, Bu?" tanya Mayang dengan jantung berdebar. Jangan... jangan...
"Untuk apa? Ya untuk melamar kamu lah. Sena itu sudah berumur 25 tahun. Sudah pantas untuk berumah tangga. Kamu memang baru berusia 17 tahun. Tapi kamu 'kan perempuan. Sudah tidak sekolah lagi. Jadi jika ada yang melamar, ya diterima saja. Apalagi yang kamu tunggu?" tutur ibunya.
Astaga, benar 'kan tebakannya? Bagaimana ini? Sedangkan saat ini, ia tengah berbadan dua.
"Tapi Bu--"
"Tidak ada kata tetapi. Ibu sudah setuju untuk menerima lamaran Sena. Titik."
Mayang bergeming. Tidak bisa begini. Ia harus melakukan sesuatu. Lamaran dari Sena, tidak boleh ia terima. Tetapi menilik sikap ibunya yang tidak mempedulikan keberatannya, ia harus memakai strategi lain. Mudah-mudahan saja, efek kejutnya ini berhasil menggagalkan lamaran Sena. Begitulah, saat mendengar suara motor Sena memasuki halaman, Mayang menarik napas panjang. Ia telah siap berakting. Ia tahu kalau kata-katanya ini akan sangat melukai Sena. Namun setidaknya luka ini akan menyelamatkan penyesalan tidak berkesudahan Sena, apabila ia menerima lamarannya. Sena pasti merasa seperti memakan kotoran, apabila melamar seorang wanita yang telah berbadan dua bukan?
Saat ketukan pintu terdengar, Mayang beranjak dari kursi dan membukanya dengan gerakan kasar.
"Mas mau apa membawa ibu Mas ke sini?" sembur Mayang kasar. Sekilas Mayang melihat keterkejutan di wajah Sena. Wajar Sena kaget. Karena selama ini ia tidak pernah berbicara kasar kepada siapa pun.
"M--Mas ma--mau melamar, Dek Mayang. Mas dan ibu Mas, sudah lebih dulu membicarakan masalah ini dengan ibunya Dek Mayang. Dan--dan ibu Dek Mayang sudah setuju," jawab Sena gagap.
Mayang menarik napas pendek-pendek demi menenangkan debaran jantungnya. Ia nyaris tidak sanggup melanjutkan sandiwara, saat melihat piasnya wajah Sena. Sena tampak serba salah. Mayang sendiri tidak mempersilahkan Sena dan Bu Zainab masuk. Ia menahan mereka berdua di depan pintu. Hal itu memang ia sengaja. Ia ingin mempermalukan Sena, sehingga niatnya buyar dan lamaran pun akhirnya dibatalkan.
"Mau melamar Mayang? Di rumah Mas Sena ada cermin tidak?" Mayang meringis. Ia tahu kalimat-kalimat yang akan ia lontarkan berikutnya akan menghancurkan harga diri Sena. Sementara para tetangga mulai berkumpul di halaman. Mereka tertarik mendengar suara ribut-ribut di depan rumahnya. Untungnya, saat ini kedua orang tuanya sedang berada di dapur. Ayahnya yang berpenyakit lambung memang tidak boleh terlambat makan. Tetapi Mayang yakin, sebentar lagi kedua orang tuanya pasti akan keluar. Mustahil mereka tidak mendengar suara ribut-ribut di luar. Untuk itu ia harus menyelesaikan sandiwaranya secepat mungkin. Saat melihat Sena mengangguk ragu, Mayang pun kembali mencecarnya.
"Oh ada toh . Nah, kalau ada, harusnya Mas bercermin dulu sebelum ke sini. Apa pantas Mas yang kere ini melamar Mayang? Yakin Mas sanggup menghidupi Mayang?" sindirnya sadis. Mayang sampai ingin menggigit lidahnya sendiri mendengar kata-kata tidak manusiwinya. Mata Bu Zainab berkaca-kaca. Mayang merasa sangat berdosa karena telah melukai hati Sena dan Bu Zainab. Namun hebatnya, Sena masih belum mau menyerah. Ia menebalkan muka dan tetap pada niatnya semula. Sementara para tetangga menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berkasak kusuk mengatakan kalau dirinya adalah perempuan yang tidak tau diri.
"M--Mas su--sudah lama menabung, Dek. Mas juga berjanji akan bekerja keras untuk menafkahi Dek Mayang." Suara Sena bergetar. Mayang sampai ingin menangis melihat perjuangan Sena. Sementara Bu Zainab sudah benar-benar menangis.
"Maaf, Mas. Seberapa keras pun Mas bekerja, Mas tidak akan mampu mewujudkan impian-impian Mayang. Mayang butuh laki-laki yang mapan dan kalau bisa tampan Mas. Bukan laki-laki kere dan ceking seperti Mas ini. Sadar diri dong, Mas."
Maafkan Mayang, Mas. Semua ini Mayang lakukan demi kebaikan Mas sendiri. Mayang minta maaf sekali ya, Mas? Bu Zainab.
"Sudahlah, Sena. Ayo kita pulang, Nak. Hati Ibu sakit mendengar kamu dihina seperti ini."
Hati Mayang pun sakit mendengar kata-kata Mayang sendiri. Maafkan, Bu. Maafkan.
"Ibu Mas benar. Sebaiknya Mas pulang saja. Kebetulan saya juga tidak ingin punya suami anak haram. Sudah miskin, jelek, anak haram lagi. Tidak ada satu hal pun di diri Mas yang bisa saya banggakan."
Plak!
Saat terdengar langkah-langkah bergegas dari arah dapur, Mayang tahu, pasti ibunya akan keluar. Dan tamparan pedas di pipinya ini adalah bukti kemarahan ibunya.
"Kamu membuat malu Ibu, Mayang! Ibu sudah menerima lamaran Sena sebelumnya. Sena itu anak baik. Kamu beruntung memiliki suami sebaik dia!"
"Kalau begitu, silahkan saja Ibu menikah dengan Sena!"
Plak! Plak!
Tamparan bolak balik dari ibunya, membuat Mayang begitu gembira. Ia puas karena ibunya menamparnya. Ia dengan senang hati menerima makian dari ibunya. Bahkan, umpatan dari para tetangga yang bergerombol di halaman depan pun ia terima dengan baik. Ia merasa dengan menerima makian dari mereka semua, sedikit melegakan hatinya. Ia memang pantas diperlakukan seperti ini. Sementara Sena dan Bu Zainab telah pergi dengan motor yang sengaja digas kencang. Sena tadi tampak malu dan sakit hati. Mayang yakin, seumur hidup, Sena tidak akan bisa melupakan penghinaan luar biasa yang diterimanya hari ini.
Dan sisa malam itu, ia habiskan dengan menerima segala kemarahan dan kekecewaan dari kedua orang tuanya. Ibunya terus mencecar bahwa ia membuang-buang kesempatan menjadi menantu orang kaya. Menurut ibunya, ayah kandung Sena itu kaya raya. Ibunya mendapatkan informasi itu dari mulut Bu Zainab sendiri. Dan ibunya berharap siapa tau ayah kandung Sena akan mencari putranya. Dengan begitu ia akan menjadi menantu orang kaya dan bisa membantu perekonomian keluarga.
Saat ibunya membahas tentang masalah perekonomian keluarga, Mayang merasa timingnya tepat sekali untuk ia meminta izin ke ibukota. Mayang beralasan kalau Tanti, anak Pak Dullah yang kini sudah sukses di Jakarta, mengajaknya bekerja. Dan ia ingin membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di sana. Pada mulanya kedua orang tuanya keberatan. Mereka takut kalau ia dijahati orang di luar sana. Tetapi saat ia membahas akan biaya pendidikan kedua adiknya, kedua orang tuanya luluh juga. Mereka mengizinkan karena mengira ada Tanti yang akan menjaganya di sana. Begitulah. Pada pukul tujuh malam, ia mengemas beberapa stel pakaiannya dalam satu tas ransel. Ia bertekad akan mencari Mahesa di Jakarta sesuai dengan alamat yang Mahesa berikan dua bulan lalu. Pikirannya penuh dengan rencana baru. Ia berpikir, seandainya pun ia pulang ke kampung dan tidak jadi bekerja dengan Tanti, tapi kini statusnya jelas. Ia adalah seorang istri dari Mahesa Haryanto. Sepanjang malam, Mayang tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Otaknya begitu penuh dengan rencana-rencana. Semoga saja apa yang ia rencanakan sesuai dengan kenyataan. Aamiin.
***
"Para hadirin yang berbahagia. Pembangunan suatu negara hakikatnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil. Dan goalsnya adalah menunjukkan grafik yang terus naik. Oleh karena itu, target utama yang menjadi landasan munculnya program-program nasional adalah pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran."Mayang membuka pidato seminar kewirausahawan mandiri yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia. DPCHPPKI ini secara khusus mengundangnya untuk memberikan pidato singkat tentang pengembangan Sumber Daya Manusia.Walaupun tengah hamil besar, Mayang tetap menerima undangan ini. Ia paling semangat jika diminta untuk memotivasi orang-orang. Ia ingin memberikan sedikit ilmu, namun banyak semangat kepada para generasi muda. Sudah saatnya kaum milenial ini berwiraswasta dan membuka lapangan pekerjaan. Daripada mereka ha
Enam bulan kemudian.Mayang memandangi rumahnya, yang kini telah menjadi rumah produksi usaha kecilnya. Kesibukan para teman-teman lamanya, yang dulu merupakan mantan PSK, membuatnya tersenyum haru.Sarah, Tikah, Yayuk, sibuk mengemas pakaian-pakaian yang telah selesai dijahit oleh Bu Nania dan Bu Syukri. Sementara Rita, Bu Renny dan Maria tengah asyik mencetak kue-kue. Bu Renny dan Bu Warsih sibuk memanggang. Beberapa mantan PSK yang dibawa oleh Sarah dan Tikah, terlihat dengan teliti menyusun kue-kue ke dalam toples. Mereka yang terakhir bergabung ini, memang belum mempunyai keahlian apa-apa. Yang mereka bawa hanyalah niat dan semangat untuk mengubah jalan hidup. Mayang sangat bangga dengan tekad kuat mereka semua.Mayang masih ingat, enam bulan lalu, ia memulai usaha kecil-kecilannya ini dengan Firdha. Ajang coba-coba kalau menurut istilah Firdha. Ia memulai bisnis dengan bakal kain tidak terpakai Fi
"Hallo, Pa. Kabar Nia baik. Papa tidak usah khawatir," getaran dalam suara Nia membuat hati Sena ikut bergetar. Ia sadar kalau ia sudah berlaku tidak adil pada Nia. Karena kisruhnya hubungan para orang-orang dewasa, hak-hak Nia hampir saja ia rampas."Iya, Pa. Nia juga kangen. Nia ngerti kok, Pa. Papa harus mencari uang yang banyak demi masa depan Nia. Nia sudah sudah besar sekarang. Jadi Nia sudah tahu kesulitan orang-orang dewasa. Hehehe." Sena membuang muka saat melihat Nia berusaha tertawa di tengah derai air matanya."Nggak apa-apa, Pa. Rindunya akan Nia tabung dulu biar banyak. Nanti kalau kita sudah boleh bertemu, akan Nia keluarkan semua rindu yang Nia kumpulkan. Papa tidak usah sedih. Perasaan Nia pada Papa tidak akan berubah di mana pun Papa berada. Di dunia ini, Nia cuma punya Papa. Mama kan sudah meninggalkan Nia lebih dulu. Jadi, Papa jangan lupa kalau ada Nia di sini ya, Pa?" pinta Nia dengan suara memelas.&
"Harus bisa, Mbak. Kita sudah terlalu lama memupuk dendam untuk hal yang sebenarnya bisa kita bicarakan. Mulai saat ini kita membahas hal yang ringan-ringan saja ya, Mbak? Coba Mbak yang mulai dulu. Cari topik pembicaraan yang menarik."Bu Mitha memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. Dirinya kan baru saja baikan dengan Zainab sekarang. Masa ia mereka berdua sudah ribut lagi saja?"Oke. Mari kita membahas hal yang ringan-ringan saja. Sekarang Mbak tanya, kenapa kamu tidak menyemir rambutmu, Mitha? Lihat itu, ubanmu sudah piknik ke mana-mana. Membuat penglihatan Mbak tercemar saja, sebagai sesama perempuan. Ke salon dong, Mitha. Jangan seperti orang susah," cibir Zainab.Bu Mitha memutar bola mata. Waktu berlalu, masa berganti. Namun Zainab ini tetap saja menempatkan penampilan di atas segala-galanya."Aku sedang malas ke salon, Mbak. Karena salon adalah tempat kumpulan kelompok ghiba
"Coba buka pintu gudang ini, Nani. Kalau agak susah membukanya karena lama tidak diminyaki, panggil saja Mang Ujang."Bu Mitha meminta suster Nani membuka gudang yang sudah lama sekali tidak pernah ia kunjungi. Ia ingat ada beberapa barang yang dulu sengaja ia sembunyikan di sana. Dan sore ini tiba-tiba saja ia ingin membongkarnya."Akan saya coba membukanya sendiri dulu ya, Bu? Kalau nanti tidak bisa, baru saya akan memanggil Mang Ujang," tukas suster Nani. Ia tidak mau menyusahkan Mang Ujang."Terserah kamu saja. Yang penting saya bisa masuk ke sana," ujar Bu Mitha datar. Benaknya saat ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa lalu. Setelah Sena dan Mayang berpamitan, semua kejadian di waktu lalu seperti saling berdesakan ingin keluar. Daripada ia pusing sendiri, ia bermaksud membaginya dengan Zainab. Siapa tahu dengan begitu bebannya akan berkurang. Bonus rasa penasarannya akan terjawab. Karena menurut Sena, keadaan
Mayang termangu. Ia sama sekali tidak menduga kalau Bu Zainab adalah kakak seayah dengan Bu Mitha. Karena Sumitro Iskandar itu adalah ayah kandung Bu Mitha. Pantas saya Bu Zainab kerap menceracau kalau ia adalah anak buangan. Ibu kandung tidak menginginkan keberadaannya. Sementara ayah kandungnya tidak mengetahui kalau ia ada. Kasihan sekali Bu Zainab."Saya lanjutkan ya?!" Suara keras Nek Tinah membuat lamunan Mayang buyar seketika."Silakan, Nek!" sahut Mayang tak kalah keras."Aini sudah lama menyukai Pak Sumitro, anak majikannya. Namun sayangnya Pak Sumitro sudah menikah dengan Widya. Hanya saja mereka belum dikaruniai momongan. Makanya Pak Broto, ayah Sumitro kerap bertengkar dengan Sumitro, karena Widya tidak kunjung hamil. Maklum saja, Sumitro itu anak tunggal. Tentu saja Pak Broto mengharapkan ada yang meneruskan silsilah keluarga.Suatu hari Sumitro yang dipaksa menikah lagi oleh
Mayang baru saja ingin memejamkan mata, saat terdengar suara-suara bernada tinggi dari luar kamar. Mayang seketika menegakkan tubuh. Sepertinya suara-suara itu berasal dari ruang tamu. Malam ini ia dan Sena memang menginap di rumah mertuanya. Bu Mitha dan Pak Candra beralasan sudah terlalu malam bagi mereka untuk pulang. Menurut mereka sebaiknya ia dan Sena menginap saja. Tidak baik kalau wanita yang tengah hamil muda pulang malam-malam.Demi menghormati kedua mertuanya, ia dan Sena memutuskan untuk menuruti keinginan Bu Mitha dan Pak Candra. Makanya malam ini ia pun tidur di kamar Sena dulu.Ketika suara-suara itu makin lama makin meninggi, Mayang bermaksud memeriksa keadaan. Siapa yang bertengkar saat tengah malam begini? Di rumah ini hanya ada Pak Candra, Bu Mitha, Manda, Nia dan Suster Nani. Sementara Ceu Esih, dan Mang Ujang, tidur di paviliun belakang. Berarti yang saat ini ribut-ribut adalah antara mereka semua. Mayang men
"Kamu kenapa tegang sekali, Mayang? Kita akan menghadiri acara makan malam keluarga. Bukannya menghadiri sidang. Jangan tegang begitu. Ayo tarik napas dulu."Di antara langkah-langkah kecil dirinya dan Sena, yang tengah memasuki rumah keluarga Dananjaya, Sena menghentikan langkahnya. Mayang yang berjalan di sisi Sena, refleks ikut berhenti juga. Sena benar. Malam ini Mayang memang sangat tegang hingga ia merasa mual.Ini adalah kali pertamanya memasuki rumah keluarga Dananjaya dengan status yang berbeda. Yaitu sebagai menantu. Bukan lagi sebagai perawat Bu Mitha, yang kini sudah berstatus sebagai ibu mertuanya. Walau bagaimanapun Sena dibuahi, ia adalah anak dari dari Pak Candra. Otomatis secara hukum, Sena adalah anak Bu Mitha juga. Bagaimana ia tidak tegang karenanya?"Ayo, tarik napas panjang dulu," Sena mengulangi kalimatnya. Mayang segera menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga
"Kita sudah sampai, Bu." Teguran supir taksi online memutus lamunan Mayang. Mayang memandang sekeliling. Ternyata ia berada di pintu gerbangsebuah Rumah Sakit Jiwa. Mayang tertegun. Dalam kekalutannya, ternyata ia menekan alamat Rumah Sakit Jiwa baru, tempat Bu Zainab dirawat pada aplikasi taksi onlinenya.Sepeninggal taksi online Mayang berjalan ke pintu gerbang. Sudah kadung berada di sini, sekalian saja ia menjenguk ibu mertuanya. Walau ia tidak yakin apakah akan diizinkan menjenguk. Mengingat jam besuk telah lewat.Syukurnya ia diperbolehkan menjenguk karena dianggap sebagai penanggung jawab keluarga. Bukan tamu biasa. Hanya saja ia diperingatkan untuk menjenguk pada jam-jam yang sudah ditentukan, apabila tidak ada hal-hal yang bersifat urgensi. Rumah Sakit Jiwa ini ternyata jauh lebih flexible dari Rumah Sakit Jiwa Bu Zainab yang lama.Mayang segera mengganti pakaiannya dengan seragam perawat, dan