Kamar Eric memiliki ruang tamu dan kamar mandi sendiri. Perabotan pun tidak sedikit.
Yuna tiduran di sofa setelah menyelesaikan semua pekerjaan. "Gila, capek sekali! Kenapa kamarnya sangat besar?" dengusnya.Ia hanya mengenakan pakaian dalam karena tidak punya baju ganti. Sementara kaos yang ia kenakan tadi digunakan untuk membersihkan seluruh kamar dan masih dijemur.Tidak sekali pun Yuna pernah membayangkan jika harus melakukan pekerjaan rumah tangga. 'Pantas saja Eric membayarku mahal,' batin Yuna.Yuna meraih ponsel lalu menelepon dokter adiknya. "Dok, adik saya sudah siuman?""Belum, Mbak. Hari ini nggak datang ya?""Iya Dok, saya sibuk bekerja. Kalau saya nggak bisa datang tolong jagain adik saya baik-baik ya, Dok.""Tentu saja. Nanti saya kabari kalau ada perkembangan baru."Yuna membuka mata setelah beberapa jam ketiduran. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam dan Eric masih belum pulang.Setelah mandi, perutnya keroncongan. Ia terpaksa meneguk air minum satu botol. Sebab Eric tidak mengizinkan keluar dan tidak meninggalkan makanan.Yuna menahan perut perih sampai dua jam lamanya. Akhirnya Eric membuka pintu kamar.Hal yang pertama dilakukan pria itu adalah meneliti pekerjaan Yuna. Ia mengangguk tanda puas oleh hasilnya."Bagus, bagus. Kamu sudah makan?""Belum.""Aku mau mandi. Kalau ada yang mengetuk pintu, diamkan saja. Nanti setelah mereka pergi, kamu keluar ambil troli makanan.""Baik ""Oh, benar. Kemarilah.""Ada apa?" tanya Yuna ketika berhadapan dengan Eric."Buka bajuku. Tugasmu melayaniku, bukan?"Yuna sedikit terbiasa dengan Eric. Ia tidak lagi ragu membuka satu persatu kancing kemejanya. Pun ketika melorotkan celana panjang pria itu.Namun ia tetap belum terbiasa melihat benda di bawah perut Eric yang menegang sempurna. Bahkan dua kali lebih besar dari milik Aldo. Seukuran milik orang barat yang pernah ditonton dari ponsel temannya. Karena Eric memang berdarah campuran."Lakukan seperti biasa," perintah Eric.Tanpa basa-basi, Yuna melakukan aktivitas yang sama namun dengan gerakan yang sedikit berbeda. Yuna telah menemukan gaya baru untuk memuaskan sang tuan."Jadi... hah... kamu menyembunyikan bakatmu... ng..."Yuna tidak menjawab dan terus memainkan lidahnya di pusat area sensitif pria itu. Mendengar erangan Eric, Yuna semakin bersemangat dengan gerakan-gerakannya.Dalam hati Yuna bertanya-tanya, kenapa Eric tidak pernah menidurinya? Eric hanya meminta Yuna untuk melakukan oral dan bahkan tidak pernah menyentuh tubuhnya.Sebenarnya Yuna lega karena Eric tidak mencoba merenggut keperawanannya. Belum, tepatnya. Sekarang, Yuna hanya perlu mengorbankan mulutnya.'Atau dia akan melakukannya nanti malam?'"Arghhh!" Eric mengerang nikmat."Terima ini! Untuk mengganjal perutmu yang lapar."***Sudah dua hari Yuna melakukan aktivitas yang sama di tempat itu. Dan Eric masih belum menyentuhnya. Meskipun begitu, Eric semakin sering meminta Yuna untuk mengulum barang miliknya."Pekerjaanku lebih banyak dari sebelumnya," keluh Yuna.Sebelum berangkat kerja tadi, Eric membawa setumpuk kain kotor. Eric bilang, itu semua milik kakaknya."Kenapa juga aku harus mengurusi barang kakaknya?!"Di balik monitor, Eric tersenyum puas melihat Yuna yang tampak kesusahan. Keluh kesah gadis itu terdengar melalui pengeras suara yang menempel di telinga. Sampai ia tidak sadar seseorang mengetuk pintu kantornya."Eric!" seru Dina, sekretaris sekaligus teman kuliahnya."Kalau masuk ketuk pintu dulu!" hardiknya."Aku sudah mengetuk pintu sampai jariku lecet tapi kamu nggak jawab!" Dina menyadari kesibukan bosnya. "Lagi nonton apa?"Eric segera menutup laptop sebelum Dina sempat melihat. "Bukan urusanmu.""Nonton bokep ya?" goda Dina."Ngawur!"Dina duduk di meja Eric, memamerkan paha mulusnya. Dengan gerakan sensual, jemarinya menyusuri kaki jenjangnya sendiri sampai ke pangkal paha, lalu menarik sedikit ke atas rok mininya."Mau bikin film panas denganku, Bos?"Eric memukul paha Dina menggunakan map plastik. "Kerjakan ini semua, cepat keluar!""Aku nggak bisa keluar kalau kamu nggak bantuin aku," desah Dina.Dina berperawakan tinggi, kulit putih mulus dan bentuk tubuh seperti gitar Spanyol. Wajahnya pun cantik dan cukup populer di kalangan pria sejak dulu.Bukan hanya sekali dua kali Dina datang menggoda di sela-sela jam kerja. Tapi Eric tidak pernah sekali pun tergoda. Bahkan barangnya tidak menegang ketika melihat keelokan tubuh wanita yang sering nyaris telanjang di hadapannya."Keluar sekarang!" geram Eric."Huh! Dasar pria dingin! Kalau seperti itu terus sikapmu, kamu nggak akan pernah punya pacar," gerutu Dina.***Yudha Kristian dan Diana Volker tengah menginterogasi anak sulungnya. Hampir seminggu Emilia tidak mau pulang ke rumah sang suami."Aldo tadi menghubungiku," ujar Yudha, "Kamu ada masalah dengannya?""Nggak ada, aku cuma kangen tinggal sama Papa dan Mama.""Jangan bohong, Emil! Aldo bilang kalau kamu ingin bercerai!"Minah yang membawa minuman hampir menjatuhkan nampan. Ia buru-buru meletakkan gelas minuman lalu kabur secepat kilat."Iya, Papa. Aku mau cerai. Aku nggak mau hidup dengannya lagi!"Diana menghela napas, "Dulu aku nggak setuju kamu menikah dengannya. Sekarang setelah Aldo membuktikan kehebatannya mengelola perusahaan, kamu bilang mau bercerai?""Jangan banyak tingkah dan kembalilah ke rumah suamimu," ketus Yudha."Aku nggak mau, Pa!"Emilia menumpahkan air mata yang ditahan-tahan. Ia tahu orang tuanya tidak akan peduli meskipun ia menangis dan bersedih. Orang tuanya hanya butuh menjaga nama baik agar tidak mempermalukan nama Volker."Orang pasti pernah berbuat salah, Emil. Begitu juga dengan suamimu. Seiring berjalannya waktu, kalian akan terbiasa dan saling mengerti satu sama lain," tutur Diana."Memang Mama tahu apa salah Mas Aldo? Dia sudah melakukan hal yang fatal, Ma!""Aku tahu, suamimu datang ke Hotel Laisa dan menyewa seorang pelacur, bukan? Dia sudah mengakui dan menyesali semua. Dia juga bilang kalau dia belum menyentuh wanita itu!" tegas Yudha.Emilia ternganga tidak percaya, orang tuanya tidak peduli menantunya selingkuh!"Aku lihat dengan kedua mataku sendiri, Pa! Mereka berdua sedang melakukan hubungan badan di kamar!""Terus kamu mau bercerai karena masalah sepele seperti itu?!" bentak Yudha."Sepele?" gumam Emilia."Papa bilang selingkuh itu sepele?!" pekik Emilia."Kalau kamu bercerai dengannya, kamu mau mengurusi perusahaan yang Papa bangun untuk suamimu? Seenggaknya tahan sakit hatimu, dan ganti kepemilikan perusahaannya dengan namamu sebelum kamu minta cerai!""Jadi, lagi-lagi cuma karena masalah perusahaan! Papa sama sekali nggak peduli dengan perasaanku!"Eric datang di saat yang tepat. Tatapan Emilia mengiba padanya."Jangan khawatir, Pa. Aku sudah mengurus semua." Eric melempar map ke atas meja di depan Yudha.Yudha dan Diana sibuk meneliti tulisan di setiap lembar kertas. "Bagus, kamu selalu bisa kami andalkan," Yudha tersenyum puas."Sekarang kamu bebas mau bercerai atau berbuat sesuka hatimu, Emil," sambungnya.Emilia merasa sakit hati, kedua orang tuanya sama sekali tidak peduli dengannya. Ia berlari masuk ke kamar sambil menangis sesenggukan. Dan Eric yang melihatnya semakin geram dan marah kepada Aldo dan Yuna."Eric, aku melihat kamu membawa perempuan masuk ke rumah. Apa yang mau kamu lakukan padanya?" tanya Diana."Oh, dia akan menjadi asisten pribadiku. Mama nggak perlu ikut campur.""Ckckck, asisten pribadi di tempat tidur? Terserah, asal jangan mempermalukan kami di depan umum."Eric tidak kalah kesal dari Emilia. Tiap kali bertemu dengan ayah dan ibunya, rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu. Dan sampai kamar, ia melampiaskannya kepada pelacur kecil yang merusak rumah tangga kakaknya."Bangun!" Eric menendang sofa yang ditiduri Yuna."Maaf aku ketiduran.""Nggak apa. Capeknya sudah hilang, bukan?""Iya, kamu mau minta jatahmu?" tanya Yuna polos."Aku ingin melakukannya di kolam renang belakang rumah. Tapi sebelumnya, aku ingin kamu membersihkan kolam itu.""T-tapi itu terlalu besar."Eric meraih punggung tangan Yuna lalu mengecupnya. "Aku ingin menikmati sesuatu yang kamu persiapkan dengan tanganmu sendiri, Sayang.""Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga