“Datuk, tidak baik menakut-nakuti tamu yang singgah di kampung kita,” tegur lelaki berkopiah. “Nanti tidak ada lagi yang berani datang ke sini. Kita juga yang rugi.”“Siapa yang menakut-nakuti? Tadi kau sendiri yang mengatakan kampung kita sedang tidak aman. Kau menjilat ludah yang terbuang? Tidak jijik?”“Ehem!” Kuranji mendeham untuk menengahi perdebatan dua pengunjung kedai itu. “Kalau boleh tahu, ada kasus apa sampai warga di kampung ini merasa terancam?”Lelaki berkopiah menggerakkan jari telunjuk. Kuranji pun mencondongkan badan ke depan.“Apa kalian berdua tidak mendengar kejadian tragis sore ini?”“Ah, itu ….”“Kalian tahu?”“Sekilas. Tidak tahu pasti detailnya.”“Lelaki yang tewas itu adalah korban keempat dalam dua minggu terakhir. Sementara yang dilaporkan hilang, tidak tahu pasti berapa jumlahnya.” Ekspresi lelaki berkopiah itu tampak lebih serius saat melanjutkan ceritanya. “Dan tetua kampung kami, dia … pemimpin yang jujur dan setia menapak di jalan yang lurus. Tak disan
Krieeet!Daun jendela perlahan menyibak. Dua sosok pria berpakaian serba hitam melompat masuk, dengan tubuh seringan kapas. Mereka mendarat di lantai papan tanpa menimbulkan suara.Keduanya mengendap-endap menuju dipan, tempat di mana Kuranji berbaring. Salah satu dari mereka memberi kode dengan anggukan kepala. Gerakan tersebut samar terlihat berkat bantuan pendar rembulan. Lantas, keduanya serempak menyergap Kuranji.Grep!Kuranji menyambar tangan mereka yang terulur. Gesit ia memelintir tangan kedua orang itu, lalu menerjang mereka hingga keduanya terempas ke dinding.“Bagaimana bisa?”“T–tidak mungkin!”Kedua pria itu tak percaya Kuranji masih terjaga dan sanggup memberikan perlawanan kepada mereka.“Di atas langit, masih ada langit,” balas Kuranji dengan nada dingin.“Walau kau kebal dari pengaruh asap itu, kau tidak akan bisa lolos dari seranganku.”Hop!Lelaki pertama melompat bangkit, langsung membombardir Kuranji dengan jurus jitu. Gerakan tangan dan kakinya sangat cepat, mem
Gedebuk!“Ampun! Ampun! T–tolong … lepaskan saya ….”Menutupi wajahnya dengan topeng macan berwarna hitam pekat, Kardit Masiak yang duduk di atas kursi kebesarannya mengusap dagu, memindai sekilas sosok pria berusia empat puluhan yang tersungkur di lantai, setelah didorong keras.Sekujur tubuh lelaki itu gemetar. Keringat dingin membasahi pakaian yang dikenakannya.“Maaf, Ketua. Kami gagal menjalankan misi. Sebagai gantinya, kami membawa lelaki ini.”Puk!Kardit Masiak menepis kuat lengan kursi yang didudukinya. Ia bangkit dengan wajah merah padam.“Pendekar Sabuk Maut, Pendekar Pedang Kilat. Ck! Nama besar kalian telah kehilangan pamor?”“Ampun, Ketua. Kami mengaku salah. Kami terlalu meremehkan lawan.” Lelaki yang berjuluk Pendekar Pedang Kilat menunduk takzim dengan tangan menyatu di depan dada.Lirikan tajam dari balik topeng Kardit Masiak memaksa Pendekar Sabuk Maut untuk ikut bicara.“Kali ini, yang menyewa rumah itu sepertinya bukan saudagar kaya, Ketua. Tidak ada barang berhar
“Masih memikirkan kematian nenek itu?” tanya Kuranji sembari terus membolak-balik ikan yang sedang dipanggangnya. Puti Tan duduk di atas sebongkah batu besar di tepian sungai. Ia mengawasi gerak-gerik Kuranji dengan sebatang rumput kering terselip di bibir. Selang beberapa detik, rumput itu telah berpindah ke jarinya. “Eh, Kuranji, aku merasa kematian nenek itu tidak wajar. Terlalu mendadak. Selain itu, masa iya sih nenek itu bunuh diri? Menurutmu … ada hubungannya tidak dengan kematian tetua kampung?” Kuranji menyodorkan seekor ikan yang sudah matang kepada Puti Tan, lalu kembali ke dekat perapian, menikmati jatahnya sendiri. “Dilihat dari cara nenek itu meninggal, memang sangat mirip dengan tewasnya tetua kampung,” jawab Kuranji. “Bisa jadi karena penyakit yang sama atau—” “Dibunuh oleh orang yang sama. Begitu ‘kan maksudmu?” potong Puti Tan. “Tidak bisa dipastikan, orang yang sama atau bukan, yang jelas, kemungkinan besar oleh komplotan yang sama.” “Tanpa dihabisi pun, nenek
Si Kumis Berantakan menyibak hamparan rumput dan dedaunan kering yang menutupi lantai pondok. Tampak sebuah pintu papan berukuran kecil. Saat pintu diangkat, sebuah tangga mengarah ke bawah terpampang di depan mata. Lelaki itu kembali memanggul Puti Tan, lalu membawanya turun. Tanpa mengeluarkan Puti Tan dari dalam karung, si Kumis Berantakan membaringkan gadis tersebut di atas tanah keras yang dibentuk menyerupai ranjang. Tak lama kemudian ia kembali ke atas dan menutupi lubang itu seperti semula. Setelah memastikan semuanya tampak wajar, si Kumis Panjang dan si Kumis Berantakan meninggalkan pondok itu. Bola mata Puti Tan perlahan bergerak-gerak. Selang beberapa detik, kelopak matanya pun terbuka. Merasakan sesuatu yang kasar menggores dagunya, Puti Tan menyadari bahwa dirinya berada di dalam karung. Beruntung kedua tangan dan kakinya tidak terikat. Tiba-tiba Puti Tan menyesali keputusannya yang menolak niat baik Kuranji untuk mengantarnya pulang. Sayang nasi sudah menjadi bubur.
“Itu dia! Dalang di balik hilangnya warga kampung kita.”“Tangkap lelaki bertopeng itu!”Segerombolan warga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba mengepung Kuranji yang baru saja berhasil merampas kembali Puti Tan dari tangan si Kumis Berantakan. Mereka bahkan belum keluar dari hutan.Kuranji dan Puti Tan saling pandang, kemudian beradu punggung, melindungi satu sama lain.“Dijelaskan juga percuma. Mereka tidak akan percaya,” bisik Kuranji. “Begitu ada kesempatan, Puti kaburlah! Kembali ke perguruan.”“Hm.” Puti Tan mengangguk.Kali ini ia tidak ingin berdebat dengan Kuranji. Pengalaman sebelumnya telah memberinya sebuah pelajaran berharga.Puluhan pasang mata merah karena dikuasai amarah itu bergerak liar, menebar renjana pembalasan dendam.“Seraaang!”Dengan satu komando, beragam senjata berlomba-lomba ingin mencincang Kuranji dan Puti Tan. Pergerakan mereka laksana gelombang tsunami yang siap meluluhlantakkan daratan dan segala sesuatu yang mengadang kecepatan lajunya.Melihat dari
Pancaran netra Kuranji tajam menusuk. Sementara jari-jari kokohnya mencengkeram dan memelintir pergelangan tangan lelaki yang bersikap kurang ajar terhadap Puti Tan.“Akh!”“Aakh!”“Aaakh!”Semakin kuat pelintiran Kuranji, bertambah keras pula raung kesakitan yang meledak dari mulut nakal lelaki itu.Tiga temannya lekas menghambur, menyerang Kuranji. Mereka melompat dan menerjang Kuranji.Kuranji berputar tanpa melepas cengkeramannya seraya menyongsong terjangan lawan dengan tendangan pula. Ketika dua telapak kaki beradu, lawan Kuranji terbang sejauh lima meter. Dua lainnya terpaksa menarik mundur serangan, lantaran Kuranji menjadikan rekan mereka sebagai tameng, dengan memelintir tangan lelaki itu ke belakang sembari menempelkan punggung sang pengganggu ke dadanya.“Saudara-saudara, dengarkan aku!” ujar lelaki yang dilempar terbang oleh Kuranji. “Tangkap mereka! Kalian akan kaya jika berhasil menangkap mereka.”Namun, orang-orang yang berada di ruangan itu tidak mudah untuk diprovoka
“Hahaha … kita kaya! Kaya!” “Hahaha ….” Tawa kemenangan saling bersambut melihat penderitaan Kuranji. Sekali lagi Kuranji menjadi korban bulan-bulanan. Kali ini bukan oleh saudara seperguruannya, melainkan sekelompok masyarakat yang silau akan kilau gulden. Empat utas tali membelit pinggangnya dan menariknya dari arah yang saling berlawanan. Kuranji menahan tarikan tali dari dua sisi. Sungguh pinggangnya terasa mau putus. Namun, tak peduli sekuat apa pun Kuranji melilitkan tali itu pada kedua lengannya serta menariknya, dua lelaki yang berada di ujung tali itu juga mati-matian mempertahankan senjata mereka. Drap! Drap! Entakan kaki berlari kencang gegas menderap ke arah Kuranji. Lelaki yang berada paling depan, menunjuk tepat ke wajah Kuranji, berkata lantang dengan nada geram, “Ini dia orangnya! Tidak salah lagi. Aku ingat betul pakaian yang dikenakannya saat melarikan kuda milikku.” “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dia harus membayar tunai perbuatan buruknya.” “Seret dia!”