Share

Bab 6

“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman.

“Aku—”

“Kau terluka dan pingsan.”

“Siapa kamu? Di mana ini?”

“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan.

Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya.

“Aku ingin duduk.”

Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang.

Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas peristirahatan para pemburu. Walau mengalami kerusakan di sana-sini, setidaknya pondok tua itu masih cukup layak dijadikan tempat bermalam untuk sementara waktu. Kuranji hanya perlu mencari dedaunan hutan untuk menambal sela-sela dinding yang bolong serta sebagian atap yang bocor.

Setelah Puti Tan bersandar dengan nyaman, Kuranji melanjutkan niatnya mengobati luka gadis itu. Ia merobek lengan baju Puti Tan hingga ke siku.

“Lukanya lumayan lebar dan dalam. Butuh waktu beberapa hari untuk sembuh.”

Puti Tan mengamati gerakan Kuranji yang tengah mengobati luka-lukanya dengan sangat hati-hati.

“Ishsh,” desis Puti Tan, menahan perih. Tanpa sadar jemari kirinya mencekal pergelangan tangan Kuranji.

Saat netra cokelat terang milik Puti Tan tertumbuk pada bekas luka berbentuk bulan sabit pada punggung tangan Kuranji, sebuah bayangan berkelebat dalam ingatan Puti Tan.

“Ayah, lihat! Aku berhasil membuatnya,” seru Puti Tan kecil seraya tersenyum lebar, berlari membawa sebuah sendok berisi cairan karamel yang masih panas dan belum mengeras.

Puti Tan kecil senang sekali memakan permen karamel. Ia baru saja belajar membuat sendiri dan berniat memamerkan hasil kerja kerasnya kepada sang ayah.

“Puti, awas!” teriak Kuranji, melihat sebuah kayu bulat melintang di jalan yang akan dilewati oleh Puti Tan.

Sayang Puti Tan terlambat bereaksi. Gadis itu pun tersandung dan oleng.

Kuranji mengulurkan tangan, berusaha menangkap Puti Tan agar tidak jatuh, tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan bobot Puti Tan. Mereka akhirnya terjatuh. Sendok berisi karamel panas yang dipegang Puti Tan terlepas, lalu mendarat di punggung tangan Kuranji, meninggalkan bekas luka bakar berbentuk bulat sabit.

Puti Tan mendongak. Di saat bersamaan, Kuranji juga menoleh kepadanya. Tatapan keduanya saling mengunci selama beberapa waktu.

Merasa malu, Puti Tan menundukkan pandangan. Tatapannya mendarat pada sepasang tahi lalat yang berjajar secara diagonal pada lengan Kuranji yang masih dicekalnya.

“Kuranji ….” Tatapan Puti Tan kembali melekat pada sepasang netra kelam Kuranji.

Kuranji tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka Puti akan mengenaliku secepat ini.”

Jemari Puti Tan perlahan melonggar, meninggalkan pergelangan tangan Kuranji. Jemari lentik itu dengan bergetar menjangkau topeng yang menutupi sebagian wajah Kuranji.

Kuranji memiringkan kepala, menjauh dari jangkauan Puti Tan. “Biarkan aku mengobatimu lebih dulu.”

“Oh, maaf.” Semburat merah jambu merona pada pipi Puti Tan. Ia membuang pandang ke luar pondok, lewat jendela yang menganga lebar.

Hening. Tak ada yang bicara hingga Kuranji selesai membalur luka Puti Tan dengan ramuan herbal, lalu membalutnya dengan kulit batang talas. Terasa perih memang, tapi itu dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

“Terima kasih,” bisik Puti Tan, menarik lepas tangannya dari cekalan Kuranji.

“Itu cuma bantuan kecil,” timpal Kuranji, ikut duduk bersandar di sisi kanan Puti Tan. “Selama di Perguruan, Puti telah melakukan banyak hal untukku.”

“Aku tak pernah menghitungnya.”

Setelah lima tahun berpisah, begitu bertemu lagi, suasana canggung tercipta di antara keduanya.

Diam-diam Kuranji melirik Puti Tan dengan ekor matanya. ‘Puti Tan terlihat lebih kurus sekarang.

Puti Tan pun curi-curi pandang pada Kuranji. ‘Aku tak menyangka Kuranji bisa segagah ini setelah lima tahun menghilang.’

“Puti—”

“Kamu—”

Kuranji dan Puti Tan sama-sama tersenyum malu saat keduanya bicara secara bersamaan.

“Puti dulu!”

“Kamu dulu!”

Lagi-lagi mereka berkata serentak. Keduanya tertawa canggung.

Setelah cukup lama hening, akhirnya Puti Tan buka suara, “Apa hidupmu baik-baik saja lima tahun ini? Ke mana kamu menghilang?”

Kuranji menghela napas dalam-dalam. Binar matanya tiba-tiba saja diselimuti kabut sendu.

“Ceritanya panjang. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan Puti.”

“Aku ingin mendengarnya.”

Hari itu, setelah Kuranji tafakur selama beberapa waktu di pusara sang guru, ia kembali masuk ke gua.

Kuranji mengeluarkan kitab kuno dari balik baju dan meletakkan benda berharga itu di atas meja batu, di mana ia menemukan pedang pusaka Runduih Ameh. Dari sekian banyak lorong yang pernah ia masuki di Gua Pelangi, hanya lorong itu yang memiliki ruang bagian dalam paling luas. Setelah sebagian langit-langitnya runtuh akibat teriakan panik Kuranji begitu mencabut pedang, ruangan tersebut tampak lebih luas.

Kuranji duduk bersila. Jemarinya mulai membuka lembaran kitab kuno warisan sang guru. Kening Kuranji mengerut menyaksikan tulisan arab melayu. Jujur, ia tidak begitu pandai membaca tulisan tersebut. Anehnya, tulisan tersebut seakan bergerak merasuki jiwa Kuranji, memberikan pemahaman yang membuatnya terkagum-kagum.

“Wow, kelihatannya kitab tua ini berisi ilmu kanuragan yang luar biasa!”

Ketika halaman dalam kitab tersebut mulai memperlihat gambar berupa jurus bela diri, tubuh Kuranji bangkit dengan sendirinya, seakan ada kekuatan gaib yang menariknya untuk mempraktikkan jurus tersebut.

Entah berapa lama Kuranji menghabiskan waktu untuk melatih satu jurus pembuka itu. Tubuhnya telah bermandi peluh. Anehnya, ia merasa lebih bugar, walaupun napasnya sedikit tersengal.

Kuranji mengempaskan bokong di lantai tanah yang keras.

“Aku tak percaya, akhirnya aku bisa merasakan kekuatan spiritual dalam diriku,” oceh Kuranji seorang diri. “Tunggu! Bukankah ini hari ulang tahunku?”

Kuranji baru saja teringat bahwa hari itu adalah tanggal dua belas Agustus. Setiap kali meninggalkan padepokan, ia selalu mengingat tanggal dengan baik. Jadi, dia tidak mungkin salah hitung. Kuranji merasa bahwa kemampuannya saat ini merupakan sebuah hadiah ulang tahun yang indah. Bahkan, tahun ini adalah tahun terindah dalam hidupnya.

Hari demi hari terus berganti. Tak terasa, lima tahun sudah waktu berlalu. Selama itu, Kuranji menghabiskan waktu untuk berlatih seorang diri. Ketika ia membuka halaman terakhir kitab kuno warisan sang guru, Kuranji menemukan sehelai kertas dan sepucuk surat dengan sampul lusuh. Noda berwarna kecokelatan menghiasi beberapa sudut amplop surat itu.

Anak Moeda, saat kau membatja soerat ini, artinja akoe telah selesai menoenaiken toegaskoe oentoek mendjaga pedang poesaka Roendoeih Ameh dan kau telah mempeladjari semua djurus dalam kitab ini. Temoeken pasangannja agar ilmoemoe sampoerna. Djika kau telah menemukennja, beriken soerat dalam kitab itoe kepada orang toea atau wali pemegang pasangan pedang poesaka Roendoeih Ameh.

Kuranji melipat kertas itu. Jemarinya kemudian menarik amplop yang masih terselip dalam helaian kitab warisan sang guru.

Hati Kuranji tergelitik untuk mengintip isi surat itu, tetapi kemudian diurungkannya. Bagaimanapun, surat tersebut adalah amanah yang harus ia sampaikan kepada si penerima. Sungguh tidak pantas bila ia melanggar batas privasi orang lain. Kuranji lantas melipat surat lusuh itu dan menyelipkannya ke balik baju.

Hening.

Kuranji hanyut dalam kenangannya selama menyepi di dalam gua. Sungguh terlalu singkat waktu kebersamaannya dengan sang guru.

“Apakah itu … pedang pusaka yang kamu ceritakan?” tanya Puti Tan memecah hening, melirik sebilah pedang yang diletakkan Kuranji di sisi kanannya. “Boleh aku melihatnya?”

Kuranji tersentak. “Huh?”

“Pedang itu,” ulang Puti Tan.

“Oh.” Kuranji meraih pedangnya dan menyodorkan kepada Puti Tan.

Saat Puti Tan menarik pedang itu keluar dari sarungnya, sesuatu yang aneh terjadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status