Share

Bab 7

Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya.

Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji.

“Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.”

Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.”

Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.”

Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar.

Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji.

“Runduih Ameh! Kuranji, ini … ini … sungguh Pedang Pusaka Runduih Ameh?”

“Puti … mengenali pedang ini?” tanya Kuranji heran.

Kakek Petapa mengatakan bahwa pedang itu telah disembunyikan selama ratusan tahun dan dijaga oleh keluarganya secara turun-temurun. Bagaimana bisa Puti Tan mengenalinya dalam sekelip mata?

“Aku pernah melihat gambarnya di ruang baca ayahku.”

Sejak kecil, Puti Tan sering menemani ayahnya di ruang baca ataupun menghabiskan waktu seorang diri di sana saat ia merasa bosan. Dengan ingatannya yang tajam, Puti Tan merekam dengan sangat baik semua informasi yang diserapnya. Ia tidak hanya mengenali bentuk pusaka langka, tetapi juga tokoh-tokoh yang berpengaruh di dunia persilatan.

Sret! Sreet!

Kuranji melompat bangkit begitu mendengar suara mencurigakan dari semak-semak, bergegas ia menutup jendela.

Saat kembali melintasi Puti Tan, Kuranji berkata pelan, “Tetaplah di sini dan jangan bersuara! Aku akan mengecek keluar.”

Dengan sekali lompatan, Kuranji mendarat di tanah. Matanya tajam mengawasi sekitar. Malam telah merangkak kelam, tetapi Kuranji sudah terbiasa memandang dalam gelap. Lima tahun tinggal di gua, matanya sangat terlatih tanpa cahaya, hanya mengandalkan bias sinar rembulan yang menerobos masuk melalui lubang pada langit-langit gua.

“Keluar kalian!”

Hening. Hanya desau angin malam yang menyahuti seruan Kuranji.

“Baiklah. Rupanya kalian ingin bermain-main denganku,” geram Kuranji, berkata pelan.

Tangannya bergerak mencabut Runduih Ameh dari sarungnya, kemudian melibas udara kosong dengan kibasan cepat. Seberkas cahaya pelangi menghantam semak-semak, diiringi jerit kesakitan. Beberapa bayangan hitam terlihat melompat ke udara, keluar dari tempat persembunyian mereka.

Bayangan tersebut serentak berkelebat cepat, menyerang Kuranji. Netra awas Kuranji menangkap kilatan cahaya pedang yang memantul tertimpa sinar rembulan.

Ting! Ting! Ting!

Denting pedang beradu memecah keheningan malam.

Suit! Suiiit!

Lengking suara siulan membentot komplotan bayangan hitam untuk segera meninggalkan Kuranji.

“Tolooong!”

“Puti!” Kuranji baru menyadari bahwa orang-orang yang menyerangnya hanya bertujuan untuk mengalihkan perhatiannya. Mereka mengincar Puti Tan.

“Berhenti!”

Kuranji memburu bayangan hitam yang membawa kabur Puti Tan. Namun, komplotan yang tadi pergi, kini kembali menyerang dirinya. Tentu saja aksi tersebut bertujuan menghambat usaha Kuranji untuk menyelamatkan Puti Tan.

Aku harus melumpuhkan mereka dalam waktu singkat.’ Kuranji membatin resah, kemudian memapas kerimbunan semak di dekatnya.

Ranting-ranting kecil berterbangan. Kuranji segera menyambar potongan ranting tersebut. Disertai dengan pengerahan tenaga dalam, dia melempar potongan ranting di genggamannya kepada orang-orang yang berkamuflase menyerupai gelapnya malam.

Suara bergedebuk terdengar beruntun sebanyak tiga kali. Tiga sosok tumbang sekaku kayu.

“Berengsek! Lepaskan kami!”

“Kau akan merasakan akibatnya karena berani mencelakai kami!”

Kuranji mengabaikan umpatan penuh kemarahan itu. Ia melompat memburu lelaki yang membawa kabur Puti Tan.

Lelaki itu memanggul Puti Tan di pundaknya, seperti sekarung pasir.

“Berhenti! Serahkan wanita itu!” Kuranji berseru lantang saat ia nyaris kehilangan jejak.

“Haha … ambil sendiri kalau engkau bisa!” balas gema sebuah suara, dengan sosok yang telah menghilang ditelan gelapnya malam.

Lelaki penculik itu pasti telah melakukan sesuatu pada Puti Tan hingga gadis tersebut tak bersuara sama sekali.

“Argh, sial! Ke mana dia membawa Puti Tan?” Kali ini Kuranji benar-benar kehilangan jejak.

Seketika Kuranji duduk bersila. Memejamkan mata dan mempertajam pendengarannya, Kuranji memusatkan pikiran untuk melacak jejak lelaki yang melarikan Puti Tan. Cuping telinga Kuranji berkedut. Selang beberapa waktu, sudut bibirnya melengkung naik seiring dengan kelopak matanya yang membuka perlahan.

Di sisi lain hutan nan kelam itu, lelaki yang menculik Puti Tan mengerem langkahnya. Ia menoleh ke segala arah. Setelah yakin suasana aman, ia mulai menurunkan Puti Tan dari pundaknya, membaringkan wanita itu di atas rerumputan. Seringai lapar tercetak nyata di bibirnya.

“Engkau cantik sekali, Nona. Terlalu bodoh jika aku menyerahkan dirimu kepada Kavland begitu saja,” gumam lelaki itu seraya membelai pipi Puti Tan dengan jemarinya. “Aku yang bekerja keras, mengapa dia yang harus menikmati hasilnya? Itu tidak adil, bukan?”

Puti Tan tentu saja tidak menyahut. Ia bahkan tidak dapat merasakan bahaya yang mengancam kehormatan dan keselamatan dirinya.

“Baiklah, Nona. Aku akan mengambil bagianku lebih dulu.” Lelaki itu mulai menarik lepas selendang yang membelit pinggang Puti Tan, lalu melemparnya ke sembarang arah.

Dinginnya malam memantik gairah lelaki itu untuk menunduk, mendekati wajah Puti Tan dengan deru napas yang mulai memburu.

Sedikit lagi bibir keduanya bertaut, Puti Tan tersadar, membeliak kaget. Refleks ia mendorong lelaki itu.

Tak menyangka mangsanya akan terjaga dan melancarkan serangan mendadak, lelaki itu terjengkang.

Puti Tan segera bangkit dan berusaha melarikan diri, tetapi gerakan lelaki itu lebih gesit. Begitu mampu menguasai situasi, lelaki itu melesat, menarik jatuh Puti Tan yang belum berdiri dengan sempurna.

“Engkau tidak akan bisa kabur dariku, Nona!” kata lelaki itu, tersenyum mengejek sembari mengunci Puti Tan dengan kedua tangannya ke tanah.

Puti Tan terus memberontak, tetapi tenaganya masih lemah.

“Haha … perlawananmu membuatku semakin bergairah, Nona!”

Puih!

“Kamu menjijikkan!” maki Puti Tan setelah meludahi wajah lelaki itu.

“Oooh, engkau suka bermain kasar rupanya,” sinis lelaki itu, menahan geram. “Baiklah. Akan kuturuti kemauanmu.”

Lelaki itu kemudian melancarkan serangan erotis secara paksa.

Puti Tan berpaling ke kiri dan ke kanan, berjuang menghindari serangan bibir dari penjahat kelamin yang telah diselimuti kabut nafsu.

Bugh!

Sebuah hantaman, dari potongan kayu sebesar lengan orang dewasa, melempar lelaki itu jatuh dari tubuh Puti Tan.

“Kurang ajar! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku, hah?!” Lelaki itu meledak marah, lalu tegak, mencabut pedangnya.

Matanya yang semula dipenuhi gairah kama sutera seketika mengobarkan api kemarahan dan dendam.

Puti Tan bergegas bangkit, bersembunyi di balik sebatang pohon. Cemas-cemas ia mengintip, menembus kegelapan yang diterangi oleh temaram pendar rembulan.

Shuuut!

Helaian daun berterbangan laksana kepingan logam tipis, menyasar tubuh lelaki itu, membuatnya sibuk mengayun pedang untuk merontokkan daun-daun yang mematikan tersebut.

“Pengecut! Tunjukkan wajahmu! Ayo bertarung secara jantan!”

“Aku di belakangmu.” Kuranji menyahut santai, tegak dengan kedua tangan terlipat ke belakang.

Lelaki itu berbalik. “Berani merusak kesenanganku, engkau akan berakhir di tanganku! Hiyaaa!”

“Kuranji, awas!”

Lathifah Nur

Hi, Sobat Readers ... Senang bisa bertemu dengan kalian lagi. Ini karya pertama Iffah yang berbau pendekar. Mohon dukungan review, bintang 5, dan gem-nya ya, Sobat Readers. I love y'all <3

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status