Share

Part 4

“Ma, aku nggak bisa menghubungi Ava. Nomornya nggak aktif.” Ziyan bingung dan cemas. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi istrinya, tetapi bisa. Hari sudah mulai gelap, tidak biasanya Ava pergi tanpa mengabarinya dulu.

“Lho, bukannya kamu yang jemput dia, Mas?” Suara Jema dari seberang telepon menyahut. 

Ziyan memilih menepikan mobilnya, kemudian menjawab, “Aku udah sampai di tempat tujuan, tapi Ava nggak ada. Aku kirim pesan dan telepon juga nggak ada respons. Nomornya juga nggak aktif.” Suaranya terdengar gelisah. Beberapa kali dia mengibas rambut dengan frustrasi. 

“Oke, tenang dulu, Mas. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dan HP-nya mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.” Ava mencoba untuk menenangkan. 

“Salahku karena telat jemput dia. Aargh!” Dia tahu bahwa Ava sedang sensitif perasaannya. Memang sang istri bukan anak kecil yang harus 24 jam dalam pengawasan, tetapi jika pergi tanpa kabar, siapa juga yang tidak khawatir?

Jema yang saat ini sedang ada di rumah merasa bersalah. Seharusnya dia tidak pulang lebih dulu dan menemani perempuan itu dijemput. Namun, jika mengatakan demikian, pasti akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. 

“Kamu udah coba tanya ke ibunya? Atau siapa gitu yang sekiranya sering Ava datangi?”

“Udah, Ma. Tapi, mereka juga nggak tahu. Aku bahkan pulang ke rumah buat ngecek, barangkali dia pulang dulu. Ternyata nggak ada juga. Dia nggak biasanya pergi-pergi sendiri. Bahkan kalau belanja pun minta ditemenin.”

Jema sangat tahu akan hal itu, begitu juga dengan kekhawatiran Ziyan.  Jika sudah begini, dia juga tidak bisa tinggal diam. Karena itulah, Jema mengusulkan untuk ikut mencari Ava, dan Ziyan menawarkan agar mereka mencarinya bersama.

Ziyan menjemput Jema tepat di depan rumah, kemudian mereka langsung berangkat.

Di dalam mobil, mereka menerka-nerka ke mana perginya Ava. Tidak ada yang berbicara, sampai Ziyan yang memulainya dengan bertanya, “Maaf, ya, udah ngerepotin kamu terus.”

Wanita yang mengenakan kardigan rajut berwarna cokelat itu tersenyum maklum. “Nggak sama sekali. Udah seharusnya aku membantu kalian. Ava sahabat aku sejak lama, Mas.”

“Tapi, terus menerus melibatkan kamu di permasalahan kami, itu yang seharusnya nggak aku lakukan.” Ziyan jujur akan perasaannya saat ini.

Dibanding dengan rasa malu, dia justru merasa tidak enak—takut jika pertikaiannya dengan Ava membuat wanita di sampingnya ini tidak nyaman.

“Nggak, Mas. Kita fokus aja mencari Ava. Semoga dia baik-baik aja.”

Ziyan menyanggupi. Dia melajukan mobil dengan sangat lambat, sembari melihat sekeliling untuk mencari sosok istrinya. Sementara itu, Jema masih berusaha menghubungi Ava, teman-temannya dan siapa saja yang memiliki peluang bersama atau sekadar melihat wanita itu.

Sampai tiba-tiba dia teringat dengan percakapan mereka saat makan siang di kantin. “Dia pernah bilang mau nemuin teman kantor kamu, nggak?”

Seketika Ziyan menatapnya. “Dia juga bilang ke kamu?” Pertanyaan itu diangguki Jema. “Kalau begitu nggak salah lagi.”

Ziyan membanting setir mobil untuk putar balik, menancap gas dan mereka melaju cepat menuju kantor lelaki itu.

Di saat yang bersamaan, Jema melihat kesungguhan dan kecemasan lelaki di sampingnya yang menggebu-gebu. Ava salah, semua yang dikeluhkan sahabatnya itu tidak sebanding dengan kerja keras dan kegigihan Ziyan yang bertanggungjawab.

“Andai Ava bisa melihat suaminya sekarang,” batin Jema terkagum-kagum.

***

Suasana di ruang direktur tampak tegang.  Satu-satunya wanita di ruangan itu terlihat tidak menunjukkan sedikit pun keramahan. Di sampingnya, pria dengan dasi yang melorot itu berusaha untuk tenang, meski kegelisahan di dalam hatinya kian menggebu. Terlebih bosnya, Sang Manager Keuangan tidak menunjukkan adanya belas kasihan saat ini.

Keributan di kantor, terutama di bagian divisi keuangan, tepat di meja kerja Vino, membuat mereka berakhir di ruangan Direktur. 

“Siapa dari kalian yang ingin menjelaskan keributan ini?” Dingin dan menusuk. Tatapan pria yang berusia akhir tiga puluhan itu menyorot  tajam Ava dan Vino secara bergantian.  

Sesat tidak ada yang merespons, sampai akhirnya Ava yang lebih dulu angkat suara. “Saya datang ke sini untuk menuntut keadilan, Pak. Suami saya telah difitnah sama rekan kerjanya sendiri.” Lugas dan tidak bertele-tele.

Vino yang merasa sesak dari tadi, kini membuka mulut. “Itu tidak benar, Pak. Lagian, tidak masuk akal juga kenapa wanita ini tiba-tiba datang dan melabrak saya  dengan tuduhan tidak berdasar itu?Suaminya dipecat karena melakukan kesalahan. Itu di luar urusan istrinya, bukan?” Tidak mau terintimidasi di depan bosnya sendiri, lelaki itu enggan untuk membiarkan Ava mengungguli situasinya.

“Apa katamu? Nggak ada hubungannya? Jelas-jelas ada!” sentaknya tidak tanggung-tanggung, seraya melototi pria di samping kanannya. Lalu, dia beralih menatap Pak Kemal. “Jelas ada hubungannya, dong, Pak. Saya sebagai istri Ziyan tidak bisa membiarkan suami ditendang begitu saja dari pekerjaannya hanya karena kedengkian teman kerjanya.”

“Mamang, hal seperti ini tidak asing di dunia kerja, tetapi sikap rendahan dan pengecut seorang karyawan hingga menjatuhkan karir temannya—itu tidak bisa diterima, Pak.” Ava tidak segan menunjuk Vino yang sudah gelagapan.  

Kini, tatapan Pak Kemal menjurus pada karyawannya. Hal itu membuat Vino tidak terima. Lelaki tersebut mencoba untuk membela diri. “Itu tidak benar, Pak. Jangan percaya sama kata-kata perempuan ini! Seperti yang Bapak tahu, kecurangan Ziyan sudah ada buktinya. Bapak sendiri yang bilang bahwa itu valid. Ziyan memang menggelapkan dana proyek.”

Brakkk!

“Jaga mulutmu!” Ava hilang kendali. Dia mengabaikan situasi dan di mana dirinya saat ini berada. “Bukti bisa aja dipalsukan!”

“Terus, apa kamu punya bukti kalau bukti korupsi suamimu itu palsu?” Vino menyeringai penuh kemenangan.

Wanita itu sudah ancang-ancang untuk memukul Vino, tetapi Pak Kemal menginterupsi keduanya.

“Berhenti, Kalian!” 

Kepala pria tua itu berdenyut. Sejak pagi dirinya sudah pusing dengan kerjaan yang menumpuk, terlebih posisi Ziyan yang belum ada penggantinya. Memang, Vino mengerjakan sebagian tugas yang dulu diemban temannya itu, tetapi jelas kinerjanya tidak seefisien dulu. 

Istri dari mantan karyawannya itu memang  sulit dikendalikan. Sudah beberapa kali satpan mencoba untuk mengusir, tetapi berakhir gagal karena mengancam akan membuat keributan yang lebih gila di lain hari. Bahkan Ava secara terang-terangan tidak segan untuk melapor ke polisi.

Jujur saja, Ava sendiri tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Namun, siapa sangka bahwa hal itu justru membawanya ke ruangan  manager. Dia pikir dirinyalah yang akan berakhir di kantor polisi.

“Bagini, Bu,” jelas Pak Kemal. “Saya tahu bahwa rasanya tidak adil karena suami Anda di-PHK secara mendadak. Namun, bagaimana pun juga, ini sudah menjadi keputusan perusahaan. Semua jalan yang diambil jelas dengan pertimbangan yang matang. Saya menghargai usaha Anda untuk mendukung Pak Ziyan.”

Ava semakin meradang, sementara Vino diam-diam tersenyum licik. Sepertinya dunia sedang memihak padanya, pikir lelaki itu.

“Tidak bisa, Pak!” geram Ava. Dia beranjak dari duduknya dan dengan penuh emosi melanjutkan, “Suami saya tidak melakukan kesalahan apa pun! Yang seharusnya Anda pecat adalah dia!” Telunjuknya mengarah pada Vino. 

Pak Kemal menghela napas panjang, ternyata kebaikan hatinya untuk berbicara baik-baik dengan wanita ini sungguh sia-sia.

“Pokoknya, kalau Bapak tidak memberi keadilan pada suami saya, akan saya tuntut kantor ini!” 

“Ava!”

Teriakan itu berasal dari pintu. Ziyan dengan wajah terkejut sekaligus marah tengah berdiri dan di belakangnya ada Jema. 

Suasana menjadi semakin tegang. Ava yang terkejut dengan kehadiran suaminya hanya bisa membeku di tempat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status