Share

Part 5

Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat. 

Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. 

Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. 

"Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi  Va."

Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."

Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit  saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. 

Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. 

"Tapi, bukan begini caranya, Va." 

"Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mustahil, Mas! Loyalitas kamu ke temanmu itu bakal menghambat hidup kita!"

Ava tahu bagaimana Ziyan. Suaminya itu bukan hanya jujur dan baik hati, tetapi juga berjiwa setia kawan. Jujur, memang itu adalah kelebihan dari sekian banyak hal yang mengesankan di diri suaminya. Namun, itu dulu, saat masih pacaran. Kehidupan setelah menikah sangat, sangat jauh realistis.

"Aku bisa mengurus dengan caraku sendiri! Kamu yang gegabah kayak gini  justru bakal nimbulin masalah baru, Va." Ziyan hanya ingin dimengerti. Situasi seperti ini hanya akan melukai harga dirinya dan membuat Ava dipandang buruk oleh rekan kerjanya, mantan rekan kerja lebih tepatnya.

"Nggak! Aku harus bikin bos kamu menyesesali perbuatannya dan jadiin kamu karyawannya lagi." Tekad wanita itu masih tetap kukuh. Menyerah tidak pernah ada di dalam kamusnya. 

"Va... astaga, please." Entah harus dengan cara apa lagi Ziyan harus menyadarkan istrinya. Dia baru akan melanjutkan ucapannya, sampai kedatangan Jema mengambil atensi mereka.

Jema paham denga situasi ini. Awalnya dia juga tidak ingin ikut campur lebih jauh lagi. Hanya saja, dari dulu memang seperti ini. Ava yang keras kepala dan Ziyan engga  berterusterang karena memikirkan perasaan istrinya. 

"Aku tahu mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi Va, yang dibilang suamimu ada benernya juga." Sebisa mungkin Jema menjelaskan dengan nada lembut, tanpa memberi kesan menghakimi. "Coba kamu bayangin, kalau kamu ada di posisi Ziyan. Dia udah difitnah sama temannya sendiri, kehilangan kepercayaa  dari bosnya, nama baik di kalangan rekan kerja juga udah tercoret. Apa kamu masih mau bekerja di tempat kayak gini?"

Sesaat ada senyuman kecil di bibir Ziyan. Sungguh beruntung dirinya dan Ava memiliki teman seperti Jema. 

"Aku cuma mau kamu pikirin lagi soal ini. Bukan berarti tindakan kamu sepenuhnya salah, kok. Ziyan emang difitnah, dan kamu menuntut keadilan pada bosnya. Kita bisa melakukannya dengan  cara yang damai. Aku udah sedikit bicarakan ini ke Pak Kemal." 

Ava tidak membalas ucapan sahabatnya. Dia menatap Ziyan dengan sorot mata lembut. 

Hal itu juga disadari oleh Jema. Dalam hati dia bersyukur Ava kembali menjadi sosok wanita yang pengertian kepada suami.

"Lebih baik kita pulang dulu. Biar aku yang akan bicara sama Pak Kemal," ucap Ziyan. Kini dia beralih pada Jema dan tersenyum. "Makasih, ya, karena udah menenangkan situasi. Juga, aku minta maaf karena udah nyeret kamu ke dalam masalah ini." Mengusap belakang kepalanya, dia melanjutkan, "Aku berhutang budi sama kamu." 

"Kalian sahabatku, udah hal yang wajar." Jema mengangkat bahu dengan santai.

Akhirnya Ziyan memutuskan untuk menemui Pak Kemal di ruangannga. Ternyata di sana juga masih ada Vino.

"Maaf, Pak. Boleh saya bicara sebentar?" 

Setelab dipersilakan duduk, Ziyan  memulai pembicaraan. Sedikit pun dia tidak melirik pada sosok di sampingnya. 

Vino mengendus sinis melihat temannya itu berpura-pura tidak peduli. "Setelah ngadu ke istri, sekarang apa lagi?" gumamnya sepelan mungkin. Namun, dia tidak sadar bahwa ucapan  itu didengar Ziyan.

"Sebelumnya,  saya minta maaf atas keributan yang dibuat istri saya, Pak. Kejadian hari ini benar-benar di luar kendali saya." Lelaki itu menghela napas. "Saya mohon dengan setulus hati untuk Bapak memaafkan istri saya dan--" Dia menjeda kalimatnya, kemudian menatap Vino. "Untuk masalah penggelapan dana, sampai saat ini pun saya tetap pada  pernyataan  bahwa saya tidak melakukan hal itu. Sama sekali." Lalu, kembali menghadap Pak Kemal. "Terlepas bagaimana Bapak menilai saya, itu bukan urusan saya lagi."

Ziyan berusaha untuk ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Bahkan jika dirinya diberi kesempatan untuk kembali, Ziyan tidak akan mau. Bukan karena harga dirinya, tetapi dia sudah tahu kualitas orang-orang yang ada di kantor ini. 

Persaingan di dunia kerja bukanlah hal baru, tetapi menjadi korban dari segala drama yang dibuat-buat itu membuatnya sadar. Tidak memandang siapa yang bekerja bersamamu, jika memang pada dasarnya hubungan itu dilandari iri dan dengki, tidak ada yang bisa bertahan lama. Yang Ziyan maksud di sini adalah kepercayaan. 

"Saya lupa untuk mengatakan ini saat hari terakhir bekerja kemarin. Terima kasih atas waktu yang sudah Anda habiskan bersama saya di kantor ini. Semoga beruntung untuk posisi atau apa pun yang menjadi ambisimu. Saran saja, jangan lakukan itu lagi di kemudian hari atau pada orang lain."

Vino yang mendengarnya sontak saja menatap Ziyan. Meski tatapan mata tertuju pada Pak Kemal, jelas bahwa ucapan lelaki itu merujuk padanya. Vino mengeratkan rahang, kedua tangannya terkepal kuat di atas paha. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak berbicara. 

"Kalau begitu, saya permisi, Pak."

Ziyan pergi setelah berpamitan, dan sampai pintu kembali tertutup pun dia tidak melirik lagi pada temannya.

Belum lama keluar dari ruangan Pak Kemal, dia mendapat pesan dari Ava. Katanya, mereka menunggu Ziyan di parkiran. 

Langkah kaki pria itu menuju ke tempat yabg disebutkan, tetapi mendadak seseorang memanggilnya. Dari suaranya saja Ziyan sudah tahu. Agak malas memang, tetapi dia penasaran apa yang akan dilakukan orang itu.

Ziyan berbalik. "Apa?" 

Vino tersenyum miring. "Lo menyerah secepat itu?" Disusul dengan tawa ringan yang mengejek. "Nggak gue sangka, ternyata lo sepengecut itu sampai bawa-bawa istri lo."

Lelaki itu tidak menjawab.

"Pak Kemal udah memutuskan kalau gue yang bakal jadi asistennya." Belum lama ini Pak Kemal mendapat promosi, memang belum resmi, tapi semua karyawan sudah tahu akan perubahan posisi jabatan pria paruh baya itu. "Baru tadi pagi juga beliau nyuruh gue jadi asistennya." Senyum penuh kemenangan itu sudah menjelaskan semuanya.

Ziyan tidak tampak terkejut sama sekali, seakan-akan sudah menduga hal itu. "Selamat."

"Sorry, tapi lo emang baiknya nggak di sini, Yan."

"Gue nggak masalah soal itu. Yang kayak udah dibilang tadi. Gue nggak mau terpuruk sama masalah yang bukan dari gue asalnya. Vin, cara lo emang menjijikkan, kotor, dan itu pantas aja dilakuin sama orang kayak lo." Ziya  mengatakannya dengan santai.

Wajah Vino sudah memerah, tangannya terkepal hingga urat di sekitarnya menonjol. 

"Nasihat terakhir gue sebagai teman lo," sambung Ziyan. "Tujuan yang dilakukan dengan cara yang salah, itu nggak bertahan lama. Gue nggak percaya karma, yang gue tahu Tuhan itu nggak pernah tidur." 

Setelah mengatakan itu, Ziyan meninggalkan Vino yang masih diliputi oleh kemarahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status