"Rumah siapa yang mau dijual, Mbak?" tanyaku, saat keluar dari dapur dengan membawa minuman. "Diminum dulu, Bu," Aku mengulurkan satu gelas air putih untuk ibu, agar beliau bisa melepaskan dahaga. Nampak sekali keterkejutan Mbak Naura, yang melihat kedatanganku. kemudian dia membenarkan posisi duduknya dan berdehem. Aku kembali mengulurkan segelas air putih untuknya dan di sambut hingga tandas. "Mbak Naura kenapa?" tanyaku selidik, sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu dariku. "Eee ... enggak apa-apa," elaknya, tapi aku rasa dia sedang bingung, karena melirik ke arah mantan Ibu mertuaku. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, menatap mantan ibu mertua yang terlihat sangat kurus. "Ibu sehat?" tanyaku lirih. "Bagaimana ibu bisa sehat, jika anak, menantu dan cucu semua pergi dariku!" Dom! Seperti ledakan yang sangat besar di hatiku. Ibu terdengar sangat kecewa. "Ibu masih mempunyai anak dan menantu, sebentar lagi mereka juga memiliki anak." Aku hanya bi
"Iya, itu uang!" jawab mantan mertuaku dengan santai. "Kamu carikan ibu rumah kecil yang sederhana dan nyaman di sekitar sini," imbuhnya, dengan memandang kosong ke arah lain."Ini uang dari mana, Bu?" Bukan curiga, tapi aku tahu mantan mertuaku memiliki berapa uang di rekeningnya. "Apa ibu menjual rumah ibu?" Aku baru sadar dengan apa yang ditanyakaan oleh Mbak Naura tadi."Sepertinya, ibu akan lebih baik tinggal di sini. Aku pun bisa setiap saat ke sini!" Mbak Naura yang menjawab kebingunganku.Entah ada apa dengannya sehingga ingin tinggal di dekatku, tapi aku rasa ada hubungannya dengan Mas Attar dan istri barunya. Ingin bertanya lebih, sepertinya tidak mungkin karena ibu sejak tadi memilih diam."Mbak," Aku menatap Mbak Naura, dan bertanya dengan menaikkan alis."Kamu keberatan enggak, kalau ibu berada di sekitarmu?" tanya Mbak Naura, yang sepertinya tahu aku sedang bingung dan gelisah.Aku diam, sedang sangat bingung dengan permintaan dari mantan mertuaku. Aku tidak ingin lagi b
Tubuhku gemetar, melihat banyak dara yang mengalir dari hidung mantan mertuaku. Rasanya tubuhku kaku, saat meliat tubuhnya melayang di bawa oleh Radit yang baru saja sampai, ke kamar."Na, sadar!" ibu mengguncang tubuhku, dan memapah untuk masuk mengikuti langkah ibu."Bu, ada apa dengan dia?" tanyaku pada ibu."Sudah ... sudah, jangan dipikirkan dulu. Kita bawa ibu mertuamu ke rumah sakit," ujar bapak yang tadi sempat mengurungkan niatnya ke kebun. "Bapak mau pinjam mobil Pak Rt dulu," Bapak meninggalkanku yang masih bingung.'Dia sakit? Sejak kapan?' ocehku.Suara mobil terdengar di depan rumah, akau berpikir, jika bapak sudah mendapatkan pinjaman kendaraan itu. Namun, suara seseorang membuatku ragu, "Apa yang terjadi?" Mbak Naura bertanya padaku, matanya penuh selidik dan tangannya mencengkram lenganku erat.Aku hanya menggelengkan kepalaku, karena aku pun tidak tahu apa yang terjadi pada wanita yang menyayangiku, meskipun hubunganku dan anaknya sudah berakhir.Mbak Naura mengempa
Rombongan itu mendekat, dan terlihat kaget dengan pemandangan yang ada di depan mereka. Lelaki yang tidak kukenal mendekat dan bertanya nama seseorang, betapa lemasnya lututku ketika pertanyaan itu meluncur."Rumahnya masih dua kilometer lagi dari sini, Pak," Radit yang menjawabnya.Tadi, aku dan Mbak Naura yang sedang bersedih, mendadak menjadi terpana dan jantung berdetak kencang. Telinga kami seperti menangkap perkataan yang sama, yaitu 'Di mana rumah Attar'. ternyata yang ditanyakan, 'Di mana rumah Ratar!'Setelah rombongan yang salah tempat, pergi. Aku kembali menatap Mbak Naura yang sempat tersenyum kikuk, kemudian menajaknya bicara dari hati ke hati."Biarkan di sisa umur ibu mendapatkan kebahagian yang sangat dia inginkan, Mbak mohon bantu mbak untuk memenuhin apa yang ibu harapkan," Mbak Naura mengatupkan kedua tangannya, dengan mata yang berkaca-kaca."Mbak," lirihku dengan mengenggam tangannya erat. "Ibu pasti akan sembuh," Aku mencoba meyakinkan Mbak Naura, jika mukjizat i
Wajah Mbak Naura bersemu merah, tapi seketika berubah masam. Menatap layar ponsel dengan mata berkaca-kaca. aku tahu hatinya saat ini sedang bimbang. "Siapa yang akan menikahkanku nantinya?" ucapnya lirih, dan aku baru tersadar akan hal itu. Semua terdiam, dan bergelut dengan pikirannya masing-masing. [Untuk itu, aku akan usahakan yang terbaik. insyaaAllah,] Tegas Ustadz Idris, aku dan ibu lega mendengarnya. "Baiklah, aku terima." Mbak Naura berkata dengan lirih dan aku bisa melihat kebahagian terpancar di wajahnya. Meski yang kutahu, hanya Mas Attar dan bapaknya saja yang bisa menjadi wali nikah untuknya, semoga Mbak Naura mendapatkan yang terbaik. [Baiklah, aku dan keluarga akan ke sana malam ini dan meminta ijin pada ibu untuk menikahimu dalam dua hari ke depan. Terima kasih sudah mengijinkan aku mendampingimu,] Ustadz Idris mengakhiri pangilan, setelah Mbak Naura memberikan anggukan kepala. Ya, hanya anggukkan kepala, tidak ada yang lain. Bahkan salam yang dilontarkan oleh
Hari berganti begitu cepat, hingga datang hari ini. Di mana, Mbak Naura terlihat sangat cantik, dengan kebaya putihnya. Matanya terus berkaca-kaca, memikirkan siapa yang akan menjadi wali nikahnya. Meski aku ada di sampingnya, tidak mengurangi rasa khawatirnya."Na, ini yang kutakutkan," Mbak Yumna memgang tanganku. Aku pun sempat berpikir, siapa yang akan menjadi wali nikah Mbak Naura, yang ada hanya Mas Attar, dan ayah mereka yang entah ada di mana. Tidak ada lagi yang bisa menjadi wali nikahnya selain mereka berdua.Di depan rumah terdengar suara berisik yang memancing keingin tahuan kami. Aku meminta Mbak Naura untuk tetap di dalam kamar, dan aku bergegas melihat ada apa sampai suara mereka menggelegar."Rombongan besan, Bu?" tanyaku pada ibu, terasa geli di telinga mengatakan kata besan pada ibu."Iya," Ibu yang terpaku karena mendengar ucapanku, pandangannya langsung di alihkan ke arah rombongan di depan sana.Ustadz Idris yang didampingi oleh kedua orang tuanya terlihat tampan
Kursi yang kuminta pun sudah ada di depan kami, pandanganku tidak beralih. Masih memandang wanita hamil yang terlihat sangat pongah."Duduk!" pintaku dengan suara tinggi, menyerupai perintah.Seseorang dari rombongan Ustadz Idris, mengambil kursi itu, dan meletakkannya di belakang Shanum dan Mas Attar. Lalu, beberapa orang membawakan kursi lainnya untuk rombongan yang masih berdiri di belakang dua orang yang tidak pernah ingin aku temui."Jangan bergerak, apalagi berniat maju satu langkah. Aku tidak segan-segan mematahkan kaki kalian," tunjukku pada dua orang yang sudah duduk di depanku, bukan saatnya kau mengunakan emosi yang sudah hampir memuncak."Yumna adalah wanita lembut dan penyayang," Satu kalimat meluncur dari bibir Mas Attar, membuat istrinya mencebik kesal."Yumna siapa yang kamu maksud?1" tanyaku dengan nada tinggi, kemudian aku beralih pada mantan ibu mertua. Mengajaknya masuk, tanpa memperdulikan Mas Attar yang sepertinya ingin berkata sesuatu.Ibu dan bapak mengajak Ust
Mbak Naura mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah ibu, matanya sudah terlihat sembab."Maksud ibu, apa kamu sudah siap menerima dan mendengar sumpah Ikrar yang akan diucapkan oleh Ustadz Idris?" Ibu mendekat, dan menggenggam tangan Mbak Naura.Wanita di depanku ini langsung menunduk dan kembali terisak, kemudian menole ke arahku. Menatap mataku dengan lekat."Apa boleh aku tidak melanjutkan pernikahan ini?" tanya Mbak Naura dengan suara serak dan berat.Aku dan ibu saling tatap, saat pertanyaan Mbak Naura meluncur begitu saja. Jantungku terasa berdebar kencang, aku yakin ini ada hubungannya dengan kedatangan Mas Attar dan istrinya."Kenapa?" tanya ibu dengan memiringkan kepalanya ke arah Mbak Naura.Mbak Naura menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan sangat perlahan, aku tahu dadanya sangat sesak saat ini. Kulihat Mbak Naura tidak menjawab pertanya ibu, dia memilih diam dan ibu yang makin penasaran, mengulang pertanyaannya lagi."Terlalu banyak yang terluka, apalagi ibu