Aku segera berlari menuju kamar, terlihat mas Ridwan sedang duduk di pinggir tempat tidur, di menutup matanya dengan kedua telapak tangan, terlihat bahunya berguncang. Aku tertegun.
“Apa yang membuat suamiku bisa menangis seperti ini?” tanyaku dalam hati.
Ku dekati dia, tanganku mengusap kepalanya dia semakin sesenggukan. Dia bangkit lalu memelukku dengan erat.
“Selamat sayang, penantian kita berbuah,” bisiknya di telingaku.
Aku tak mengerti maksudnya, ku dorong dia lalu menatapnya meminta penjelasan. Dia menunjuk ke tempat tidur, terlihat sebuah testpack. Aku teringat tadi pagi memang memakai testpack karena sudah telat tiga minggu, tapi karena buru-buru hendak ke rumah mama makannya aku tinggalkan saja testpack itu.
Kaki lemas, tak mampu menopang badanku yang memang terasa lebih berisi. Mas Ridwan segera menangkapku sebelum terjatuh, mebawaku ke tepi ranjang untuk berubah duduk.
Aku beberapa kali memukul dada, menjauhkan sesak akibat haru yang tiba-tiba muncul. Aku memeluk mas Ridwan, menyandarkan kepala di bahu, lalu menangis sepuasnya.
“Alhamdulillah, ya Allah. Engkau sangat baik, mengamanahkan kepadaku suami yang soleh dan baik serta penyayang, lalu kini engkau sempurnakan nikmat dengan mengaruniakan anak yang sedang tumbuh di rahimku, sungguh engkau Maha pemberi lagi maha menyayangi.” Aku mengusap muka dengan kedua tangan, mas Ridwan sujud syukur, sebagai bentuk kebahagiaan atas kabar yang baru saja kami ketahui.
“Sayang, ayo siap-siap, kita ke dokter untuk periksa.” Mas Ridwan menarik tanganku berdiri.
Aku tersenyum, lalu balas menarik tangannya agar duduk di sampingku. “Besok saja, Mas. Sudah hampir jam dua belas malam, dokter praktek sudah pada tutup,” ucapku menahan tawa.
Mas Ridwan menepuk jidatnya, saking semangatnya dia jadi lupa waktu.
“Hahahahahaha.” Kami tertawa bersama lalu kembali berpelukan, hingga tertidur.
Setelah shalat subuh, aku hendak melangkah ke dapur, namun tangan mas Ridwan mencegahku.
“Eh, istriku yang cantik mau ke mana?” tanyanya. Senyum tak lepas menghias wajah manisnya.
“Igh, genit degh! Mau ke dapur buat sarapan,” ucapku.
“Nggak usah, pokonya kamu di kamar aja. Istirahat! Nanti urusan rumah aku yang kerjakan,” larang mas Ridwan.
“Tapi, kamu kan mau kerja, lagian aku tak kenapa-kenapa,” ucapku keberatan.
“Ini perintah, dan tugas istri harus patuh pada perintah suami, selama suami taat kepada Allah,” ucap mas Ridwan tegas.
Aku hanya bisa pasrah ketika mas Ridwan membimbingku naik ke tempat tidur, lalu menyuruh kembali memejamkan mata. Dia lalu berlalu ke dapur, tak lama terdengar bunyi alat dapur yang saling beradu, bahkan beberapa kali terdengar bunyi tutup panci yang jatuh. Lama-lama aku tertidur juga akhirnya.
“Sayang, bangun!” suara mas Ridwan terdengar membangunkan ku, pipiku di usap lembut, tercium bau bawang goreng yang sangat harum, tiba-tiba, “Hoek... hoek... .” Aku tak bisa menahan mual, aku muntah di tempat tidur, perutku terasa di kocok-kocok, keringat dingin membasahi tubuh. Mas Ridwan panik, dia segera berlari ke dapur mengambil air hangat, lalu kembali lagi ke kamar, membantuku minum, lalu memijit tengkuk agar terasa lebih enakan.
Setelah itu membantuku membersihkan badan, mengganti seprei dan kembali menyuruhku istirahat.
Terlihat peluh membanjiri pelipis dan badan, baju kutang yang dia pake telah berubah basah. Berkali-kali aku mengucap syukur di beri lelaki yang sabar seperti dia.
“Kamu mau sarapan apa? Nanti, Mas beliin,” tanyanya.
Nasi goreng yang sedari tadi di masaknya susah payah, kini telah di makan. Aku menutup hidung selama dia makan.
“Aku ingin rujak,” jawabku. Air liur keluar saat membayangkan buah mangga yang mengkal, si cocol bumbu rujak yang manis dan pedas.
“Ndak ada rujak sepagi ini, sayang!” ucap Mas Ridwan.
“Pokonya mau rujak,” ucapku, entah kenapa pagi ini aku senang sekali menyusahkan lelaki halalku itu.
Dia menarik napas, kemudian kembali menghembuskannya. Lalu tersenyum kembali.
“Tunggu yah, Mas cari dulu.”
Mas Ridwan berlalu setelah sebelumnya berganti baju, dia mengambil dompet dan kunci mobil, entah ke mana tujuannya, yang jelas dia pulang harus membawa rujak pesananku.
Aku kembali membaringkan badan, kepala ku terasa berat setelah muntah tadi. Entah berapa lama aku tertidur, saat sayup-sayup terdengar suara mobil mas Ridwan memasuki halaman rumah.
Aku bangkit hendak menyambutnya namun pandangan ku berputar, aku kembali menutup mata. Derap langkah kaki memasuki kamar, mas Ridwan menyimpan rujak pesananku di atas meja.
“Mas, aku pusing,” rengekku. Dengan sigap dia naik ke tempat tidur, lalu mulai memijit kening, mengoleskan minyak herbal ke kening. Setengah jam, Berangsur-angsur perasaanku sudah agak mendingan.
“Tuh, rujaknya makan dulu,” suruh mas Ridwan.
“Aku sudah tak mau,” jawabku.
“Loh, tadi kan minta nya rujak, kok sekarang nggak mau, terus kamu maunya apa?!” tanya mas Ridwan. Dia terlihat sebal.
“Mau nasi goreng seperti yang tadi,” ucapku cepat.
“Allahu Rabbi, kenapa tidak bilang dari tadi!” Nada suara mas Ridwan mulai meninggi, tapi tetap juga dia melangkah ke dapur.
Baru sehari aku tau kalau aku hamil, sudah sekacau ini hidup mas Ridwan, entah kenapa pagi ini aku lebih sensitif dan banyak maunya padahal kemarin-kemarin enggak.
Mas Ridwan datang kembali membawa nasi goreng, Lagi-lagi aku muntah, membuat mas Ridwan takut, dia meminta ku segera berpakaian, lalu kami ke dokter.
Sepanjang jalan aku hanya bisa memejamkan mata, pusing kepala tak pernah hilang, sampai di Rumas sakit mas Ridwan pun masih harus menggendongku supaya sampai di poli, ternyata kami datangnya kepagian, masih setengah jam lagi sebelum poli kandungan di buka.
Mas Ridwan pamit ke kantin, katanya ingin membeli kopi. Setelah datang dia juga membawa beberapa cemilan, untung saja tak ada baunya jadi aku bisa sarapan dengan sepotong roti dan segelas air putih.
“Pasien atas nama Ibu Rahma,” panggil seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan. Mas Ridwan membantuku berdiri, lalu masuk ke ruangan.
“Selamat pagi,perkenalkan saya dokter Astri, ada yang bisa di bantu?” tanyanya, setelah sebelumnya dia menjabat tangan kami lalu menyuruh duduk di kursi di depannya.
“Saya mau periksakan istri saya, Dok. Sudah tiga minggu tidak datang bulan, kemarin testpack garisnya dua tapi masih samar,” ucap mas Ridwan menjelaskan.
Harusnya aku yang berbicara, tapi suamiku memang seperti itu jika sedang penasaran, dia tidak akan segan untuk mewakili.
“Baik, kalau begitu langsung USG saja, silahkan ke tempat tidur dan ikuti arahan perawat yang akan membantu Ibu,” suruh sang Dokter.
Tanganku dingin, mas Ridwan menuntun ke tempat tidur, seorang perawat membantu, aku di suruh melepaskan celana yang aku pakai, untungnya tadi aku memakai gamis. Dokter datang mendekat setelah memakai handscund.
“Bu, kita akan USG Transvaginal, jadi nanti alatnya akan di masukkan ke v*g*n* Ibu, gunanya supaya kita bisa jelas melihat kondisi rahim Ibu,” ucap Dokter. Aku hanya mengangguk.
Setelah berbaring, dokter mulai melakukan USG, tatapanku fokus di layar TV tempat gambar perutku terlihat.
“Alhamdulillah, sudah ada kantung bayinya yagh.”
Mas Ridwan meremas tanganku ketika dokter berkata seperti itu, beberapa kali dokter mengetik sesuatu, mulai dari besar kantong, usia kehamilan.
“Sudah yah, Bu!” ucap Dokter setelah selesai pemeriksaan.
Kembali suster membantuku mengenakan celana yang tadi ku lepas, mas Ridwan kembali menuntun aku duduk di depan dokter.
“Baiklah, Bapak dan Ibu sudah mendengar kabar bahagia, namun saya ingin menyampaikan sedikit kabar buruk, semoga saja kalian berdua bisa mengambil hikmahnya,” ucap dokter dengan wajah serius.
Aku meremas tangan mas Ridwan, begitupun sebaliknya.
“A— pa, itu Dok?” tanya mas Ridwan terbata.
“Dari hasil pemeriksaan sepertinya ada tumor di dalam rahim istri Bapak!”
Aku merosot dari kursi mendengar perkataan sang Dokter, Mas Ridwan membantuku kembali duduk. Lalu mengusap punggung, memberi kekuatan.“Bisa di jelaskan, Dok?” tanya Mas Ridwan.“Ini masih dugaan Pak, perlu di lakukan pemeriksaan lanjutan, seperti tes laboratorium, apakah ini tumor atau kanker. Supaya kita bisa ambil tindakan selanjutnya. Saya harap Bapak dan Ibu bisa memahami dan mau mengikuti prosedur, itu semua untuk kebaikan bersama,” terang Dokter kepada kami.“Apa akan berpengaruh kepada bayi kami Dok?” tanyaku sambil mengusap perutku yang masih rata.“Sedikit banyak akan berpengaruh, tapi untuk sekarang belum jelas, jadi lebih baik kita melakukan tes yang di perlukan, baru membicarakan tindakan yang akan di lakukan,” ucap Dokter yang bernama Aina.“Baiklah, Dok. Kapan Istri saya bisa melakukan tes?” tanya mas Ridwan.“Terserah Bapak, hari ini juga bisa, tapi hasil baru
“Saya kenapa? Harusnya tante yang menguatkan kami menjalani takdir yang telah Allah berikan, ini malah sebaliknya, menjadi gunting dalam lipatan. Ingat tante, dalam islam memang di perbolehkan beristri lebih dari satu, tapi jika mampu. Kalau tidak mampu cukup satu! Dan saat ini Ridwan belum mampu, jadi berhenti menyodorkan segala macam perempuan ke hadapan saya. Karena saya tidak TERTARIK!!” ucap Ridwan memotong ucapan tantenya itu.Mama Anita terlihat cemas melihat Ridwan yang biasanya sopan kepada yang lebih tua kini seperti tak ada sopan santunnya.“Nak, nggak boleh ngomong gitu. Biar bagaimanapun tante Ani bermaksud baik, dia cuma ingin melihat keluarga kita memiliki penerus.” Mama Anita membuka suara.“Tenang, Ma! Tanpa penerus pun, keluarga Adi Brata akan berjaya dan di kenang selamanya,” jawab Ridwan telak.Ku pegang tangan lelaki hal
Aku memacu mobil di kecepatan seratus kilometer perjam, hal yang tak pernah ku lakukan, untung saja mobil sport keluaran terbaru yang di belikan mama seminggu lalu sangat mendukung untuk dikendarai dengan kecepatan tinggi. Awalnya aku menolak mobil itu karena merasa tak butuh barang mewah seperti itu, tapi mama beralasan bahwa karena aku direktur sebuah perusahaan elite, transportasi yang aku pake harus mencerminkan siapa aku.Sesekali aku melirik ke arah Rahma, jantungku semakin cepat terpacu ketika kulihat wajah istriku semakin pucat, lantai mobil tempat kakinya berpijak hampir tertutupi darah.“Ya... Allah, selamatkan istri dan anakku, aku membutuhkan mereka, jangan kau ambil mereka secepat ini!” doaku dalam hati.Tangan kiriku mengelus lembut bahunya, tak ada reaksi, ku goncang bahu sambil memanggil namanya tapi tetap tak ada sahutan. Tanganku bergetar, keringat sebesar biji jagung mengalir di dahiku.Untung saja jalan yang ku lalui tak ma
Aku mengerjapkan mata, nampak bayangan plavon berwarna putih. Kembali ku tutup mata, sepertinya aku sedang bermimpi.Sayup-sayup ku dengar suara lantunan ayat suci Al-Quran, dari suaranya aku tersenyum, pasti mas Ridwan. Lelaki halalku itu memang paling suka mengaji, apalagi kalau sedang menunggu waktu shalat subuh.Aku tertegun, kembali ku buka mata, cahaya lampu yang teranang kembali membuatku harus mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya yang ada di ruangan itu.Berangsur-angsur penglihatanku telah kembali, aku mengedarkan pandangan.“Aku dimana?” tanyaku, sambil berusaha bangkit.“Auuuuu,” teriakku. Nyeri terasa menjalar dari perutku.Mas Ridwan berhenti memurojaah hafalan, dia gehas mendekat kearah ku.“Mau kemana sayang? Jangan bergerak dulu!” ujar mas Ridwan. Nampak dari caranya memandang terlihat rasa khawatir.“Mas, aku kenapa? Perutku kok sak
“Kamu ngapain?”Mas Ridwan menegur Siska yang tiba-tiba saja masuk ke mobil kami.“Uhuk... uhuk,” aku terbatuk karena menahan tawa.“A— nu, mama kamu nyuruh aku ikut di mobil kalian,” ucapnya dengan wajah tertekuk.“Ngapain ikut kami?” tanya mas Ridwan lagi.“Kan aku mau ke rumah kalian!”“Ngapain ke rumahku?” tanya mas Ridwan, dia tak memberi jeda untuk wanita itu berfikir.Karena tak mendapatkan jawaban, mas Ridwan mendekat ke pintu yang dekat dengan Siska, dia lalu membukanya.“Silahkan turun, atau mau aku seret!” tegas mas Ridwan.Dengan terpaksa Siska turun dari mobil, aku masih menutup mulut, tawa sudah menggelitik tenggorokan.Bum!!!Pintu mobil di banting dengan kencang, Siska nampak berlari mengejar mobil mama yang baru saja memutar haluan.“Huahahaha,” tawaku pecah, aku memegang perut yang
Prang!Mas Ridwan melempar botol parfum yang kebetulan ada di nakas samping pintu, kami semua melihat ke arahnya, aku begidik ngeri, melihat mata suamiku menatap nyalang ke arah tantenya.“Keluar kamu dari rumahku!” usir mas Ridwan.Aku menutup mulut, selama sepuluh tahun menikah, baru kali ini ku dengar mas Ridwan memanggil keluarganya dengan bsebutan KAMU, biasanya dia sangat sopan kepada orang lain.Aku berusaha bangkit dari posisi tidur, ingin menenangkan dia, namun kondisiku tak memungkinkan, perutku rasanya di sayat jika aku banyak bergerak.Tante Ani masih terpaku di tempatnya, dia berkacak pinggang seolah menantang mas Ridwan.“Wan, sadar kamu, Istrimu itu sudah memberimu minum darah h*id, jadi kamu menurut seperti ini,” ucap tante Ani.Mama Anita hanya menutup mulut, tak menyangka sepupunya akan berkata seperti itu.
“Kamu tidak perlu membayar uang yang tadi asal kamu mau mengabulkan permintaanku,” ucapku cepat.“A— pa, itu Bu?!” tanyanya ragu.“Kamu harus menikah dengan suamiku!”Mata gadis itu membulat, dia menutup mulut dengan kedua tangan, aku melipat tangan depan dada. Menunggu sampai rasa terkejutnya hilang, wajar jika dia syok mendengar perkataanku barusan.Wanita mana yang tak kaget jika di datangi seorang perempuan, lalu memintanya menjadi istri dari suaminya, tentu banyak yang menolak.“Bagaimana?” tanyaku akhirnya, gadis itu masih menunduk, tak berani menatap ke arahku, dari tangannya yang memilin ujung kemejanya, bisa ku pastikan dia sedang gelisah atau takut.“Tidak usah takut, aku bukan orang jahat,” lanjutku ketika sekian lama aku menunggu tapi dia tak menjawab.“Ke— napa, Ibu mau, saya menikah dengan suami Ibu?” tanyanya kemudian.“Aku
Baru saja kulipat mukenah yang kupakai shalat, tatkala terdengar ketukan di pintu depan. Ku lirik jam butut yang menggantung di dinding. Jam satu dini hari, kembali terdengar ketukan, kali ini suara perempuan sedang memberi salam.Aku melangkah cepat membuka pintu, takutnya tetangga ada yang butuh bantuan.Ceklek!Anak kunci ku putar dan membuka pintu, aku terkejut melihat orang yang baru saja datang. Hatiku sedikit takut, jangan sampai dia akan meminta uangnya sekarang.“Boleh saya masuk?” tanya wanita itu dengan sopan.Aku mengangguk lalu bergeser memberi jalan kepadanya. Setelah dia masuk dan duduk di kursi plastik, aku lalu berkata.“Aku belum punya uangnya, bukankah saya meminta Anda untuk kembali besok?” tanyaku langsung, tak ingin berbasa-basi.“Aku ke sini buk