Share

Kurelakan Surga Untuk Maduku
Kurelakan Surga Untuk Maduku
Author: Athalaz

Permintaan Mama Mertua

“Istrimu kok nggak hamil-hamil, Wan?” tanya seorang kerabat kepada mas Ridwan suamiku.

Mas Ridwan tak menjawab, bahkan senyum yang biasa menghiasi bibir tipisnya sirna entah kemana.

Aku yang tadinya berniat menghampiri dan menyapa mereka, akhirnya tak jadi. Memilih mundur pelan-pelan lalu berbalik.

“Rahma, mau kemana?!” tanya sebuah suara dari belakang. Saat menoleh, ternyata ibu mertua.

“Mau ke mana? Masa nggak menyapa tamu, mereka ini kan keluarga Mama, kamu jadi mantu kok nggak ada sopan-sopannya,” omel ibu mertua di depan keluarganya.

Hari ini ulang tahun mama mertua yang ke lima puluh lima tahun, walaupun umurnya sudah lebih dari setengah abad, tapi penampilannya masih seperti umur empat puluhan, sangat modis. Hampir tiap tahun selama aku menjadi menantu di keluarga mas Ridwan, Mama mertua selalu membuat acara yang mewah di saat hari lahirnya.

“Mau ke kamar mandi sebentar, Ma!” jawabku berbohong.

“Nanti saja, tahan saja dulu, ” larang Mama Anita.

Dia menarik tanganku kemudian bergabung dengan mas Ridwan dan beberapa keluarga mama.

“Ehh, Rahma. Apa kabar?” ucap tante Ani, saudara sepupu mama.

“Alhamdulillah baik, tante,” jawabku sambil tersenyum.

“Kamu belum hamil juga? Kamu nggak mandul kan?” tanya tante Ani bertubi-tubi.

Wajahku yang tadinya tersenyum, kini berubah masam, bisa ku pastikan mukaku pun telah memerah menahan amarah. Ku palingkan muka tak ingin melihat wajah tante Ani.

“Tentu tidaklah tante, kami berdua sehat kok,” sela mas Ridwan. Terlihat wajahnya pun memerah menahan kesal.

“Jangan marah dulu, Wan. Tante Cuma bertanya, kamu menikah kan sudah sepuluh tahun, tapi kok istrimu belum hamil, Rika anak tante saja sudah lagi hamil anak ke tiga.” Tante Ani mulai lagi membandingkan antara kami dan anaknya. Sejak cucu pertamanya sampai cucunya yang masih dalam kandungan.

“Nit, coba degh kamu bawa menantumu ini ke dokter spesialis supaya di cek kesuburan nya lagi, kasian loh. Ridwan itu anak tunggal, kalau sampai dia tak punya anak, bisa putus silsilah keluarga Adi Brata.” Mulut tante Ani tak berhenti berbicara.

“Aduh, An. Sudah berkali-kali aku mengajak Rahma untuk ke dokter kandungan, tapi dasar anaknya aja yang nggak mau menurut, dia nggak pernah mau ikut kata-kata,” keluh mama kepada sepupunya itu.

“Atau kamu nikahkan Ridwan lagi, aku punya calonnya. Anaknya baik, cantik, pintar, dari keluarga terpandang dan yang pasti dia bakalan bisa ngasih kamu cucu,” ucap tante Ani.

“Tante, Stop! Kalau tante masih sibuk dengan urusan rumah tangga saya, lebih baik tante pulang saja,” usir mas Ridwan.

Wajah tante Ani berubah pucat, dia tak menyangka kalau mas Ridwan akan berkata seperti itu kepadanya.

“Wan, kamu ngomong apa? Dia itu tante kamu, masa kamu usir.” Mama menegur mas Ridwan.

Beberapa keluarga yang tadinya cuek, kini mulai memperhatikan kami, ku dekati mas Ridwan dan memegang lengannya.

“Mas, sudah! nggak enak di liat banyak orang,” bisikku.

“Ma, ingetin sama sepupu Mama itu, kalau nggak usah urusin rumah tangga aku, urusin saja rumah tangga Rika, masa suaminya sudah hampir setahun nggak pulang tapi kok bisa hamil lagi,” ucap mas Ridwan.

Aku mencubit lengan mas Ridwan, supaya dia diam tak memperpanjang masalah. Muka tante Ani berganti menjadi merah, entah menahan amarah atau malu.

“Sudah, kalian ini apa-apaan sih! Ayo, lebih baik acaranya segera di mulai,” perintah papa Adi.

Ayah mas Ridwan memang orang yang bijak, tak suka ikut campur urusan orang lain, biasanya jika aku di pojokkan oleh keluarga suami, maka dia yang akan menengahi. Beda dengan mas Ridwan yang akan cepat sekali tersulut emosinya.

Mama mengikuti kemauan papa, dia segera menarik tante Ani menuju ruang tamu, sedangkan aku menarik mas Ridwan agar ke dapur, ku dudukan dia di kursi makan, lalu ku ambilkan air putih dari dalam kulkas, ku sodorkan air es ke mulutnya. Awalnya dia menolak, tapi tetap saja ku paksa sampai dia meminumnya.

“Kamu kok sabar banget sih di bully kayak gitu?” tanya mas Ridwan dengan suara bergetar.

Aku tahu dia masih menahan amarahnya, ku usap lembut rambutnya yang hitam legam, lalu mengecup pucuk kepala kekasih halalku itu. Dia melingkarkan tangan di pinggangku, menyandarkan kepala di perutku, lalu berbisik.

“Cepat hadir di perut ini yah, nak! Kami menantikanmu.”

Ku hapus air mata yang tiba-tiba saja lolos dari pelupuk mata, aku tau bagaimana usaha mas Ridwan merayu Allah untuk di beri amanah berupa anak. Namun, sepertinya Allah masih ingin mas Ridwan terus meminta, sehingga sampai sepuluh tahun usia pernikahan. Kami tak juga di beri amanah itu.

“Ayo, Mas. Kita keluar, nanti Mama nyariin.” Ku tarik tangan mas Ridwan yang enggan berdiri.

Kami melangkah ke halaman belakang, tempat pesta berlangsung, kami berkumpul menyanyikan lagu selamat ulang tahun, lalu ikut bergabung dengan para tamu, tak ada yang aneh, semua berjalan lancar, hanya tante Ani yang selalu membuang pandangannya ketika melihat kami. Pesta berlangsung dengan meriah, selama dua jam para tamu yang datang di suguhkan dengan berbagai acara, mulai dari potong kue, games, menyanyi sampai makan-makan. Pesta selesai tepat jam sepuluh malam, mama melarang kami pulang karena ada hal yang ingin di bicarakan katanya.

Aku dan mas Ridwan sedang menunggu mama yang sedang berganti pakaian, sedangkan papa Adi tengah sibuk dengan hapenya.

Tak lama, mama Anita keluar dari kamar dan berkumpul dengan kami di ruang keluarga.

“Selamat ulang tahun, Ma! Ini kado dari kami berdua,” ucap mas Ridwan, dia berdiri lalu berjalan ke arah mamanya, mereka berpelukan.

“Makasih, sayang,” ucap  mama dengan wajah tersenyum. Dia membuka kado dari kami, wajahnya kaget melihat sebuah jam merek Rokel kesukaannya. Langsung saja, jam itu di pakai dan dia foto untuk dia bagikan di akun media sosialnya. Papa mertua menggeleng melihat istrinya yang begitu narsis.

“Ma, nanti aja pamernya, sekarang Mama ngumpulin kami di sini untuk apa?” tanya papa.

“Baiklah, karena kita semua sudah kumpul, Mama mau membahas perkataan tante Ani yang tadi,” ucap mama.

“Ucapan yang mana, Ma?” tanya mas Ridwan.

“Yang soal cari istri lagi buat kamu,” ucap mama enteng.

Hape yang sedari tadi ku pegang terlepas, aku kaget mendengar ucapan mama Anita. Papa dan mas Ridwan menatapku, segera ku bungkukkan badan memungut hapeku kembali.

“Mama ini apa-apaan sih? kok sampai mau mendengar ide gila tante Ani,” sungut mas Ridwan.

“Ide gila dari mana? Tante Ani itu bener loh, Wan. Kalian kan sudah sepuluh tahun menikah, masa Rahma belum hamil juga,” ucap mama.

“Ridwan nggak akan mau nikah lagi, titik!”

“Apa kamu tidak kasihan sama mama dan papa? Kami ini sudah tua, sudah dari dulu merindukan cucu.”

“Tapi tidak harus dengan menikah lagi kan, Ma?!” ucap mas Ridwan frustasi.

Aku hanya terdiam, sudah lama ku persiapkan hati untuk adegan seperti ini. Aku tidak bisa memungkiri jika cepat atau lambat mama atau papa akan memberikan pilihan ini kepada mas Ridwan. Mengingat mas Ridwan anak tunggal.

“Mau cara apa? Adopsi?! Kita lagi bicara penerusnya keluarga Adi Brata, Mama tidak masalah kamu adopsi, tapi Mama tetap ingin darah daging kamu sendiri, apa salah?” ucap mama dengan suara bergetar.

Aku menunduk, tak berani menatap ke arah mereka, aku tau bagaimana Mama Anita. Dia sosok mertua yang baik, selama ini dia memperlakukan ku dengan lembut, tak pernah marah.

“Rahma, apa yang Mama minta ini berlebihan?” tanya mama padaku.

Aku yang tak siap dengan pertanyaan seperti itu, gelagapan. Tak tau harus menjawab apa.

“Sudah! Wan, fikirkanlah apa yang di sampaikan oleh Mamamu, Papa sebenarnya tidak keberatan kalau kamu mengadopsi anak, tapi kalau masih bisa punya anak sendiri, itu lebih bagus, untuk Rahma, tolong fikirkan juga ya, Nak! Dan terakhir untuk Mama, kasih mereka kesempatan, jangan mengambil keputusan yang gegabah apalagi jika itu pendapat dari orang lain,” ucap Papa. Seperti biasa, dia akan menjadi hakim, memutuskan sesuatu, dan tak boleh di bantah.

“Baik, Pa. Nanti kami diskusikan, untuk Mama, maaf kalau belum bisa memberi Mama cucu, do’akan semoga Rahma cepat hamil,” ucapku.

Mama berdiri, mendekat kepadaku dan kami saling berpelukan. Aku tau wanita di depanku ini berhati lembut, hanya saja ada orang-orang di sekitarnya yang selalu berusaha menghasut.

Setelah berbasa-basi sebentar, kami pamit pulang, jam sudah menunjukkan angka dua belas malam ketika sampai di rumah.

Sedari tadi menahan haus, aku langsung melangkah ke dapur setelah memasuki rumah, sedangkan mas Ridwan langsung masuk ke dalam kamar, untuk membersihkan badan.

Baru saja aku membuka kulkas, terdengar teriakan dari mas Ridwan.

“Rahma, ke sini sekarang!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status