Share

Tamu di rumah mertua

Author: Athalaz
last update Last Updated: 2021-10-14 22:36:00

Aku merosot dari kursi mendengar perkataan sang Dokter, Mas Ridwan membantuku kembali duduk. Lalu mengusap punggung, memberi kekuatan.

“Bisa di jelaskan, Dok?” tanya Mas Ridwan.

“Ini masih dugaan Pak, perlu di lakukan pemeriksaan lanjutan, seperti tes laboratorium, apakah ini tumor atau kanker. Supaya kita bisa ambil tindakan selanjutnya. Saya harap Bapak dan Ibu bisa memahami dan mau mengikuti prosedur, itu semua untuk kebaikan bersama,” terang Dokter kepada kami.

“Apa akan berpengaruh kepada bayi kami Dok?” tanyaku sambil mengusap perutku yang masih rata.

“Sedikit banyak akan berpengaruh, tapi untuk sekarang belum jelas, jadi lebih baik kita melakukan tes yang di perlukan, baru membicarakan tindakan yang akan di lakukan,” ucap Dokter yang bernama Aina.

“Baiklah, Dok. Kapan Istri saya bisa melakukan tes?” tanya mas Ridwan.

“Terserah Bapak, hari ini juga bisa, tapi hasil baru keluar tiga hari lagi.” Dokter kembali menjawab.

“Bagaimana?” tanya mas Ridwan padaku.

Aku mengangguk cepat, biasanya aku paling takut jika berhubungan dengan serangkaian prosedur kesehatan, tapi kali ini aku berani, ada bayi dalam perutku yang harus aku lindungi.

“Baiklah, kalau begitu Bapak/Ibu boleh isi form yang akan di berikan oleh perawat, nanti akan di arahkan,” jelas Dokter Aini.

Aku dan mas Ridwan mengangguk bersamaan, seorang perawat mendatangi kami, kemudian meminta ke bagian laboratorium.

Setelah dua jam semua rangkaian pemeriksaan telah selesai ku jalani, tinggal menunggu hasilnya tiga hari ke depan.

Dokter memberi vitamin, penguat kandungan dan anti mual. Setelahnya kami meninggalkan rumah sakit dengan sebuah harapan.

“Yank, kita ke rumah ibu dulu yah, kita beri tahu berita bahagia ini,” ajak mas Ridwan.

“Boleh nanti aja nggak Mas? Tunggu hasil pemeriksaan keluar dulu,” tawarku.

Mas Ridwan menatapku lekat, lalu tersenyum dan berkata. “Apa sih yang tidak untuk bidadari surgaku.”

“Gombal,” jawabku sambil memukul lembut lengan lelakiku itu. “Tapi, kalau mau singgah ke rumah mama, ayok!” lanjutku.

“Let’s go!” jawabnya.

Sepanjang jalan kami bernostalgia, membahas masa indah yang telah terlewati, sepuluh tahun bersama rasanya begitu cepat untuk kami. Tak terasa kami telah sampai di rumah mama, terlihat mobil tante Ani parkir.

“Hmmmm,” aku menghembuskan napas berat. “Alamat bakal terkena sindiran pedas level bon cabe nih,” gerutuku.

Mas Ridwan melirik, lalu terkekeh.

“Nggak perlu di masukin ke dalam hati, sudah tau kan kata-katanya tidak benar,” ucap suamiku.

Tak ku jawab, aku membuka seat belt lalu turun, langkahku kali ini terasa ringan. Berjalan lenggak lenggok bakal peragawati, gamisku bergoyang mengiringi langkah saking lembutnya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

Tante Ani, Rika dan seorang wanita tak membalas salamku, mereka hanya menatap sinis ke arahku. Aku langsung melangkah masuk, tak menyapa mereka. Tujuanku ke dapur, pasti mama mertua di sana.

Benar saja terlihat wanita paruh baya itu sedang membuat teh untuk tamu mereka, aku menggeleng, bisa-bisanya mama yang membuat minuman, sementara Rika ada. Biasanya juga langsung ambil minum sendiri di dapur.

“Hay, Ma. Boleh Rahma bantu,” ucapku ketika sampai di belakang mama mertua.

“Eh, Rahma. Boleh sayang,” ucap mama lalu bergeser, memberiku ruang untuk menyelesaikan membuat minuman.

“Sekalian angkatin ke luar yah,” ucap mama menepuk bahuku.

“Memang mbok, ke mana?” tanyaku.

“Ijin, pulang kampung. Ada saudaranya yang meninggal,” jawab mama.

Aku mengangguk, setelah mencicipi rasa teh, ku ambil nampan lalu menatanya satu persatu kemudian membawanya keluar, meletakkan di atas meja.

“Cemilannya mana Mbak?” tanya Rika.

“Dia bukan pembantu, kalau mau cemilan tinggal ke dapur lalu ambil di lemari kue, atau kalau mau langsung ke supermarket beli,” jawab mas Ridwan dari arah pintu masuk.

Nampak wajah Rika seketika memucat, entah kenapa dia sangat takut dengan sepupunya itu.

“Eh, Mas Ridwan,” ucapnya.

“Santai, Wan. Wajar Rika bertanya seperti itu, kami kan tamu di sini, tamu adalah raja, jadi kalau raja harus di layani,” sela tante Ani.

“Raja pasti tau adab bertamu, jadi kalau tante dan Rika merasa raja, maka bersikaplah selayaknya raja,” skak mas Ridwan.

Aku menahan senyum, menyaksikan perdebatan itu, hal inilah yang membuatku masih bertahan di sisi mas Ridwan, pewaris tunggal perusahaan Adi Brata. Dia sangat melindungi ku dari kejulidan orang-orang yang iri.

“Sudah! Malu di dengar Siska,” lerai mama.

Aku menatap gadis yang sedari tadi hanya diam dan mengamati adu mulut antara mas Ridwan dan tante Ani. Dia terlihat tersenyum saat mama mengucapkan namanya.

“Rahma, tolong ambilkan puding yang di dalam kulkas,” pintar mama, aku mengangguk. Belum sempat aku melangkah, mas Ridwan menahan tanganku.

“Duduk saja Dek, nanti Mas yang ambil,” ucap mas Ridwan.

Aku melirik mama, wajahnya sudah di tekuk terlihat sangat masam, tapi dia tak berkomentar apa-apa.

Aku duduk di sofa, lalu mas Ridwan ke dapur mengambil puding yang di maksud mama, lalu datang kembali dengan sebuah nampan yang berisi puding dan beberapa piring dan garpu. Aku kembali tersenyum, mas Ridwan terlihat profesional melakukan hal tersebut.

“Wan, kenalin ini Siska, teman Rika, dia ini baru pulang dari luar negeri, lulusan Oxford, dia anaknya pak Tanu Wijaya, pemilik perusahaan property terbesar di Indonesia, dia ini selebgram, foto model, pengusaha fashion dan dia ini sama seperti kamu, anak tinggal, jadi dia pewaris tinggal Arta group, dan masih banyak lagi,” ucap tante Ani, Dia memperkenalkan Siska sangat detail.

“Nggak sekalian tante sebutin nomor sepatu dan warna favoritnya?” tanya mas Ridwan setengah mengejek.

“Wan, yang sopan,” tegur mama.

“Nggak apa-apa tante, mungkin Mas Ridwan mau tau nomor telpon saya, tapi malu untuk meminta, jadi dia menyinggung nomor secara halus,” sela Siska.

Aku menganga, mendengar ucapan gadis itu. “Pede sekali dia,” batinku.

“Maaf, Mbak... memori kontak saya sudah full jadi nggak bisa nambah lagi,” ucap mas Ridwan.

Aku mengigit bibir bawah, supaya tawaku tak lolos.

Terlihat wajah Siska memerah menahan malu, dia mengalihkan tatapannya dari mas Ridwan ke hape, melirik jam lalu berkata.

“Maaf, saya pamit.”

“Logh, kok buru-buru?” tanya mama.

“Masih ada janji, Ma!” ucapnya. Dahulu mengkerut mendengar panggilannya untuk mertua. Tapi, aku pura-pura saja tak mendengar.

Setelah pamit dengan yang lain, Siska meninggalkan rumah. Sementara kedua benalu masih tinggal.

“Mbak, gimana dengan Siska? Cocok kan sama Ridwan?” tanya tante Ani dengan terang-terangan.

Mama Anita yang sedang fokus menatap hapenya tertegun di beri pertanyaan seperti itu, dia sepertinya ragu untuk menjawab. Mas Ridwan yang juga mendengar kata tantenya mengernyitkan dahi, aku melipat kedua tangan di dada, menunggu jawaban mas Ridwan.

“Tak ada yang pantas menjadi istriku selain Rahma, mau dulu, sekarang atau selamanya. Jadi, Tante tolong berhenti membawa wanita ke sini, itu tidak berpengaruh buat saya,” ucap mas Ridwan.

“Tante lebih baik pergi dari sini,” sambung mas Ridwan lagi.

“Ka— mu!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Jatuh dari tangga

    Rahma berdiri kaku di puncak tangga. Detik-detik bergulirnya tubuh Alana terasa lambat, seperti adegan film bisu yang diputar ulang dalam kecepatan rendah. Rahma melihat bagaimana Alana, dalam posisi jatuh yang terencana, memastikan benturan itu dramatis tanpa melukai dirinya secara fatal. Teriakan itu, melengking dan penuh kesakitan, terasa seperti nada sumbang yang menghancurkan keheningan rumah.Di bawah, Ridwan menjatuhkan tas kerjanya. Suara tas yang menghantam lantai marmer itu seperti tembakan pistol yang memulai sebuah drama. Ia bergegas mendekati Alana yang kini tergeletak di tiga anak tangga terbawah, tubuhnya meringkuk seperti daun kering yang rapuh.“Alana! Ya Tuhan, Alana! Apa yang terjadi?!” Ridwan berlutut, wajahnya pucat pasi, kedua tangannya gemetar saat menyentuh bahu Alana.Alana tidak segera menjawab. Ia hanya terisak, suaranya tercekat dan menahan napas, seolah rasa sakit fisik dan emosional mencekiknya. Ia memejamkan mata, membi

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Tersiram air panas

    Malam itu, sesuai jadwal bergilir, Ridwan berada di kamar Alana. Rahma tidur sendirian, memeluk bantal, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih memiliki tempat di hati suaminya.Keesokan paginya, Alana memulai aksinya. Waktu sarapan adalah waktu yang tepat, di mana Ridwan biasanya sedang membaca koran dan suasana masih tenang.Rahma sedang menuangkan teh panas ke dalam cangkir Ridwan. Uap panas mengepul di udara. Alana mendekati meja, wajahnya tampak cemas seolah ingin mengatakan sesuatu yang mendesak."Mas, boleh aku bicara sebentar?" panggil Alana, suaranya sedikit meninggi. Ia melangkah terlalu dekat ke tempat Rahma berdiri, seolah-olah ia tidak melihat keberadaan teko panas di tangan Rahma.Rahma yang terkejut, sedikit mundur untuk memberi ruang, tetapi Alana terus maju, gerakannya terlalu cepat.Tiba-tiba, Alana berteriak kecil. *Sret!* Air panas dari teko itu tumpah, bukan seluruhnya, hanya sedikit, namun cukup untuk membasahi punggung tang

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Meminta pulang ke rumah Rahma

    Alana menarik napas panjang, memasang wajah sedih dan terintimidasi. "Dia bilang, dia adalah tunangan Mas Ridwan. Dia bilang dia berhak atas Mas Ridwan, dan aku hanyalah penghalang. Dia bahkan bilang dia akan melakukan apa pun agar Mas Ridwan mau tidur dengannya di luar kota."Mama Anita tersentak. "Apa?! Siska bicara begitu?""Iya, Ma," kata Alana, air mata mengalir. "Aku tahu aku tidak boleh cemburu. Tapi dia terus menggodaku. Dia menumpahkan minuman ke kemeja Mas Ridwan, lalu dia membersihkannya dengan cara yang... tidak pantas. Aku panik, Ma. Aku takut Mas Ridwan tergoda, makanya aku menyusul. Aku hanya ingin melindungi suamiku, tapi malah berakhir begini."Alana tidak berbohong tentang adegan di restoran, tetapi ia memutarbalikan narasi. Ia menghilangkan fakta bahwa ia yang menyerang duluan, dan ia memposisikan Siska sebagai predator yang mengancam kehormatan Ridwan.Wajah Tante Ani berubah merah padam. Ia merasa malu dan marah. Siska adalah wanita y

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Awal rencana Alana

    Rahma menoleh. Alana tersenyum lagi, senyum yang kali ini terasa lebih palsu dari sebelumnya, seolah ia sedang menguji seberapa jauh ia bisa memanipulasi situasi."Aku tahu Mas Ridwan akan segera pulang ke rumah. Tapi biarkan aku di sini dulu, ya? Aku benar-benar butuh Mama Anita. Aku takut, Mas. Aku takut sendirian," pinta Alana, membuat Ridwan mengangguk setuju di sampingnya.Rahma mengerti. Itu adalah sebuah ultimatum yang manis: Ridwan akan tetap bersamanya, tetapi dia tidak akan pulang ke rumah mereka selama Alana masih membutuhkan 'perlindungan'.Rahma hanya bisa mengangguk pasrah. "Tentu, Alana. Kamu tinggal saja di sini sampai pulih."Ia keluar dari kamar, meninggalkan Alana yang sedang tersenyum kepada Ridwan. Tetapi, begitu Rahma menghilang, mata Alana kembali menajam, dan ia mengeratkan genggamannya pada tangan Ridwan.*Aku tidak akan kembali ke rumah itu,* janji Alana dalam hati, sementara Ridwan sibuk menenangkannya. *Aku akan memastik

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Wajah penuh kepalsuan

    Setelah diusir secara halus oleh Ridwan, Rahma kembali dalam keadaan hancur. Bukan karena ia cemburu melihat Ridwan merawat Alana, Ia sudah lama berjanji untuk ikhlas dengan takdir poligami, tetapi karena tatapan Ridwan. Tatapan yang menuduh, yang menjauh, seolah ia adalah sumber dari segala bencana.Rahma menghabiskan dua hari berikutnya dalam pusaran kebingungan dan kesedihan. Ridwan tidak menghubunginya, dan setiap kali Rahma mencoba menelepon, Ridwan hanya menjawab singkat, "Aku sedang sibuk mengurus Alana. Jangan ganggu dulu, Rahma."Rahma tahu, jika ia membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut, jarak di antara mereka akan semakin lebar. Ia harus bertindak. Ia harus menunjukkan ketulusannya, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kebencian sedikit pun kepada Alana.Pada hari ketiga, Rahma kembali ke rumah mertuanya. Kali ini, ia tidak datang tanpa pemberitahuan. Ia menghubungi Mama Anita lebih dulu, meminta izin untuk menjenguk Alana. Mama Anita, yang kini sangat protektif terhad

  • Kurelakan Surga Untuk Maduku   Target baru Alana

    Alana tersenyum tipis, senyum kemenangan yang hanya terlihat oleh langit-langit kamar rumah sakit. Ia kini memiliki dukungan mertua. Ia kini telah menciptakan garis pemisah antara dirinya dan Rahma, dan yang terpenting, ia telah berhasil menanamkan benih kebencian Ridwan terhadap Rahma. Kehancuran ini telah mengubahnya. Rasa sakitnya kini bermetamorfosis menjadi senjata. Ia adalah korban yang paling efektif.*Aku tidak bisa membiarkanmu menang, Rahma,* bisik suara di dalam kepala Alana, dingin dan tanpa emosi. *Anakku meninggal karena kecerobohan yang kau picu. Sekarang, giliranmu yang akan membayar.*Alana tahu, statusnya sebagai istri siri yang keguguran sangatlah rentan. Ridwan bisa saja menceraikannya setelah ini karena tidak ada lagi ikatan janin. Tetapi simpati Mama Anita dan rasa bersalah Ridwan memberinya waktu. Waktu yang ia butuhkan untuk merencanakan pembalasan, dan memastikan bahwa Ridwan akan menceraikan Rahma, bukan dirinya.Ia memejamkan mata lagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status