Share

Tamu di rumah mertua

Aku merosot dari kursi mendengar perkataan sang Dokter, Mas Ridwan membantuku kembali duduk. Lalu mengusap punggung, memberi kekuatan.

“Bisa di jelaskan, Dok?” tanya Mas Ridwan.

“Ini masih dugaan Pak, perlu di lakukan pemeriksaan lanjutan, seperti tes laboratorium, apakah ini tumor atau kanker. Supaya kita bisa ambil tindakan selanjutnya. Saya harap Bapak dan Ibu bisa memahami dan mau mengikuti prosedur, itu semua untuk kebaikan bersama,” terang Dokter kepada kami.

“Apa akan berpengaruh kepada bayi kami Dok?” tanyaku sambil mengusap perutku yang masih rata.

“Sedikit banyak akan berpengaruh, tapi untuk sekarang belum jelas, jadi lebih baik kita melakukan tes yang di perlukan, baru membicarakan tindakan yang akan di lakukan,” ucap Dokter yang bernama Aina.

“Baiklah, Dok. Kapan Istri saya bisa melakukan tes?” tanya mas Ridwan.

“Terserah Bapak, hari ini juga bisa, tapi hasil baru keluar tiga hari lagi.” Dokter kembali menjawab.

“Bagaimana?” tanya mas Ridwan padaku.

Aku mengangguk cepat, biasanya aku paling takut jika berhubungan dengan serangkaian prosedur kesehatan, tapi kali ini aku berani, ada bayi dalam perutku yang harus aku lindungi.

“Baiklah, kalau begitu Bapak/Ibu boleh isi form yang akan di berikan oleh perawat, nanti akan di arahkan,” jelas Dokter Aini.

Aku dan mas Ridwan mengangguk bersamaan, seorang perawat mendatangi kami, kemudian meminta ke bagian laboratorium.

Setelah dua jam semua rangkaian pemeriksaan telah selesai ku jalani, tinggal menunggu hasilnya tiga hari ke depan.

Dokter memberi vitamin, penguat kandungan dan anti mual. Setelahnya kami meninggalkan rumah sakit dengan sebuah harapan.

“Yank, kita ke rumah ibu dulu yah, kita beri tahu berita bahagia ini,” ajak mas Ridwan.

“Boleh nanti aja nggak Mas? Tunggu hasil pemeriksaan keluar dulu,” tawarku.

Mas Ridwan menatapku lekat, lalu tersenyum dan berkata. “Apa sih yang tidak untuk bidadari surgaku.”

“Gombal,” jawabku sambil memukul lembut lengan lelakiku itu. “Tapi, kalau mau singgah ke rumah mama, ayok!” lanjutku.

“Let’s go!” jawabnya.

Sepanjang jalan kami bernostalgia, membahas masa indah yang telah terlewati, sepuluh tahun bersama rasanya begitu cepat untuk kami. Tak terasa kami telah sampai di rumah mama, terlihat mobil tante Ani parkir.

“Hmmmm,” aku menghembuskan napas berat. “Alamat bakal terkena sindiran pedas level bon cabe nih,” gerutuku.

Mas Ridwan melirik, lalu terkekeh.

“Nggak perlu di masukin ke dalam hati, sudah tau kan kata-katanya tidak benar,” ucap suamiku.

Tak ku jawab, aku membuka seat belt lalu turun, langkahku kali ini terasa ringan. Berjalan lenggak lenggok bakal peragawati, gamisku bergoyang mengiringi langkah saking lembutnya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

Tante Ani, Rika dan seorang wanita tak membalas salamku, mereka hanya menatap sinis ke arahku. Aku langsung melangkah masuk, tak menyapa mereka. Tujuanku ke dapur, pasti mama mertua di sana.

Benar saja terlihat wanita paruh baya itu sedang membuat teh untuk tamu mereka, aku menggeleng, bisa-bisanya mama yang membuat minuman, sementara Rika ada. Biasanya juga langsung ambil minum sendiri di dapur.

“Hay, Ma. Boleh Rahma bantu,” ucapku ketika sampai di belakang mama mertua.

“Eh, Rahma. Boleh sayang,” ucap mama lalu bergeser, memberiku ruang untuk menyelesaikan membuat minuman.

“Sekalian angkatin ke luar yah,” ucap mama menepuk bahuku.

“Memang mbok, ke mana?” tanyaku.

“Ijin, pulang kampung. Ada saudaranya yang meninggal,” jawab mama.

Aku mengangguk, setelah mencicipi rasa teh, ku ambil nampan lalu menatanya satu persatu kemudian membawanya keluar, meletakkan di atas meja.

“Cemilannya mana Mbak?” tanya Rika.

“Dia bukan pembantu, kalau mau cemilan tinggal ke dapur lalu ambil di lemari kue, atau kalau mau langsung ke supermarket beli,” jawab mas Ridwan dari arah pintu masuk.

Nampak wajah Rika seketika memucat, entah kenapa dia sangat takut dengan sepupunya itu.

“Eh, Mas Ridwan,” ucapnya.

“Santai, Wan. Wajar Rika bertanya seperti itu, kami kan tamu di sini, tamu adalah raja, jadi kalau raja harus di layani,” sela tante Ani.

“Raja pasti tau adab bertamu, jadi kalau tante dan Rika merasa raja, maka bersikaplah selayaknya raja,” skak mas Ridwan.

Aku menahan senyum, menyaksikan perdebatan itu, hal inilah yang membuatku masih bertahan di sisi mas Ridwan, pewaris tunggal perusahaan Adi Brata. Dia sangat melindungi ku dari kejulidan orang-orang yang iri.

“Sudah! Malu di dengar Siska,” lerai mama.

Aku menatap gadis yang sedari tadi hanya diam dan mengamati adu mulut antara mas Ridwan dan tante Ani. Dia terlihat tersenyum saat mama mengucapkan namanya.

“Rahma, tolong ambilkan puding yang di dalam kulkas,” pintar mama, aku mengangguk. Belum sempat aku melangkah, mas Ridwan menahan tanganku.

“Duduk saja Dek, nanti Mas yang ambil,” ucap mas Ridwan.

Aku melirik mama, wajahnya sudah di tekuk terlihat sangat masam, tapi dia tak berkomentar apa-apa.

Aku duduk di sofa, lalu mas Ridwan ke dapur mengambil puding yang di maksud mama, lalu datang kembali dengan sebuah nampan yang berisi puding dan beberapa piring dan garpu. Aku kembali tersenyum, mas Ridwan terlihat profesional melakukan hal tersebut.

“Wan, kenalin ini Siska, teman Rika, dia ini baru pulang dari luar negeri, lulusan Oxford, dia anaknya pak Tanu Wijaya, pemilik perusahaan property terbesar di Indonesia, dia ini selebgram, foto model, pengusaha fashion dan dia ini sama seperti kamu, anak tinggal, jadi dia pewaris tinggal Arta group, dan masih banyak lagi,” ucap tante Ani, Dia memperkenalkan Siska sangat detail.

“Nggak sekalian tante sebutin nomor sepatu dan warna favoritnya?” tanya mas Ridwan setengah mengejek.

“Wan, yang sopan,” tegur mama.

“Nggak apa-apa tante, mungkin Mas Ridwan mau tau nomor telpon saya, tapi malu untuk meminta, jadi dia menyinggung nomor secara halus,” sela Siska.

Aku menganga, mendengar ucapan gadis itu. “Pede sekali dia,” batinku.

“Maaf, Mbak... memori kontak saya sudah full jadi nggak bisa nambah lagi,” ucap mas Ridwan.

Aku mengigit bibir bawah, supaya tawaku tak lolos.

Terlihat wajah Siska memerah menahan malu, dia mengalihkan tatapannya dari mas Ridwan ke hape, melirik jam lalu berkata.

“Maaf, saya pamit.”

“Logh, kok buru-buru?” tanya mama.

“Masih ada janji, Ma!” ucapnya. Dahulu mengkerut mendengar panggilannya untuk mertua. Tapi, aku pura-pura saja tak mendengar.

Setelah pamit dengan yang lain, Siska meninggalkan rumah. Sementara kedua benalu masih tinggal.

“Mbak, gimana dengan Siska? Cocok kan sama Ridwan?” tanya tante Ani dengan terang-terangan.

Mama Anita yang sedang fokus menatap hapenya tertegun di beri pertanyaan seperti itu, dia sepertinya ragu untuk menjawab. Mas Ridwan yang juga mendengar kata tantenya mengernyitkan dahi, aku melipat kedua tangan di dada, menunggu jawaban mas Ridwan.

“Tak ada yang pantas menjadi istriku selain Rahma, mau dulu, sekarang atau selamanya. Jadi, Tante tolong berhenti membawa wanita ke sini, itu tidak berpengaruh buat saya,” ucap mas Ridwan.

“Tante lebih baik pergi dari sini,” sambung mas Ridwan lagi.

“Ka— mu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status