Aku kini berada di tempat ini, menemui gadis yang dulu mengisi masa kecil yang indah bersamaku. Aku, Bapak dan Emak, duduk di ruang tunggu yang tak terlalu besar. Saat pintu terbuka, gadis itu perlahan berjalan mendekat.Aku memandangnya, dia tampak tak percaya pada dirinya sendiri. Ya Allah, mengapa tubuh itu kini terlihat begitu kurus. Aku berdiri, mendekatinya, dia nampak bimbang dalam ketakutan. Kulihat tangannya saling meremas, sepertinya dia dalam kebimbangan.Kupandang lekat wajah kecil itu, bulir bening membasahi pipinya. Rambut pendeknya terlihat tak tersisir rapi, perutnya kini terlihat semakin membuncit, dia masih terus menundukkan kepala."Kamu jahat Mala! Kamu jahat pada mbakmu ini."Aku guncang pundaknya pelan, dia hanya terisak. Aku tarik dia dalam pelukanku. Ya Allah, adik kecilku telah kembali.Dia juga menangis kini, tubuhnya beeguncang dalam dekapanku."Teganya kamu menyimpan semuanya sendiri Mala, Kenapa kamu begitu jahat denganku!"Aku berteriak meminta penjelasa
Pov Banyu"Sudah lama sekali Bapak tidak kepantai le."Bapak berucap saat melihat pantai di sebelah kanan kami. "Nyaman ya pak, melihat birunya laut. Bapak dulu sering ke pantai?"Bapak hanya tersenyum. "Iya, Bapak besar di pesisir pantai.""Bapak bukan asli orang Solo?""Bukan, Bapak tinggal di pesisir pantai. Orang tua Bapak nelayan, kami hidup dalam banyak kesulitan le."Aku terkejut, kisah ini tak pernah Dina ceritakan. Dan aku memang tak pernah bertanya asal usul orang tua Dina."Saya juga pernah hidup sulit pak."Bapak tertawa."Kesulitan apa yang bisa di dapat putra mahkota sepertimu le? Bapak tau, kamu pewaris tunggal Amarta Group kan?""Bapak baca di mana?""Di artikel, wajahmu tampan sekali di sana"Kami tertawa, meski aku jadi sedikit tersinggung. Memangnya wajah asliku tak setampan foto artikel itu?"Yang Bapak lihat hanya foto dewasa saya. Tidak akan ada foto remaja saya di artikel"Bapak terdiam, seperti sedang menginggat kembali."Iyaa, semua hanya foto dewasamu. Meman
King mengajakku berjalan menyusuri pantai, aku menikmati sore kami di sini. Nyaman sekali, merasakan kaki menginjak pasir dan wajah diterpa air laut yang lembut, angin bahkan membelai jilbab panjangku."Bagaimana keadaan Mala?"Aku menghela nafas. Membayangkan kembali keadaan gadis itu. Dadaku terasa sesak."Dia baik, hanya kurus dan terlihat seperti bukan Mala""Dia sudah melalui banyak hal ya, Aku terkejut mendengar ceritamu subuh tadi."Aku tersenyum, serasa ada luka mengagga dalam dada ini. Ia, dia melalui banyak hal karenaku. "Aku tak pernah membayangkan, kehidupan Mala ternyata begitu perih. Jika saja aku tau lebih awal, mungkin aku tak akan membalasnya Banyu.""Tidak apa Dina, kamu dan Mala bisa memperbaiki semuanya kan?"Aku menganggukkan kepala."Iya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan merawat anak Mala untuk menebus rasa bersalahku juga padanya."King terlihat tersenyum, dia memandang laut yang biru, lalu kembali menatapku."Aku tak keberatan, aku juga akan me
"Ndok, eneng dayoh"(Ndok, ada Tamu)Aku sedang asyik memberi makan semua ikan di belakang saat Emak tiba-tiba memanggil."Sinten Mak?"(Siapa Mak?)"Ibune Haris, koe ndang salin kelambi."(Ibunya Haris. Kamu cepat ganti baju)"Ngeten mawon Mak."(Begini saja mak)"Ora apek ndok, arep kepie-kepie, ibu e Haris kui tetep wong tuomu."(Tidak bagus ndok. Bagaimanapun, ibunya Haris itu tetap orang tuamu)"Njeh Mak, Dina gantos riyen."(Njeh Mak, Dina ganti dulu)"Iya wes ndang kono, emak nyelok Bapakmu neng kandang sapi disek."(Iya sudah sana, Emak panggil Bapakmu di kandang sapi dulu)Bergegas saja aku mengganti bajuku di kamar. Sebenarnya bajuku tadi tak buruk, hanya bagi Emak, menemui orang yang lebih tua dengan daster itu tak sopan.Aku ke depan, hanya ibu mas Haris dan seorang lelaki duduk di ruang tamu. Sepertinya Emak dan Bapak belum kembali.Aku menyalami Ibu mas Haris, dia menerima tanganku meski enggan menatap. Aku hanya tersenyum tipis, melihat tingkahnya yang tak menunjukkan k
Hari berganti bulan, tak terasa sudah tiga bulan setelah putusan sidang datang. Aku sering mengunjungi Mala. Perutnya semakin membesar. Hubungan kami juga semakin membaik, dia jadi terbuka padaku.Bulek Ningrum tak pernah terlihat sejak terakhir menemui Mala. Beberapa kali aku coba hubungi. Bahkan dua kali aku kerumahnya. Namun rumah itu nampak kosong. Daun kering bahkan menyebar di pelataran. Menjadi jawaban bahwa bulek tak pernah pulang.Menginggat watak bulek yang sangat perfeksionis, rasanya tak mungkin membiarkan halamanya, bahkan terlihat seperti tempat penampungan sampah."Mak, hari ini bawa masakan apa?"Aku membuka tempat makan dimeja. Capcay hati ampela, sambal goreng kerni dan ipor ayam suwir dan acar, terlihat didalam kotak makanan."Kemarin Mala pengen nasi rames. Nasi seperti di tempat orang nikahan katanya. Jadi meruput pagi tadi Emak sama mbak Warsi masak besar""Iyoo mbak Din, gawene wae sek nyicil kawet wingi""Nggak apa mbak. Yang penting rasanya" kuberikan dua jemp
"Maafkan bulek ndok" Emak mengiba menatapku.Aku masih tertegun menatap langit yang terlihat menjingga dari dalam mobil. Aku belum sanggup memberinya maaf. Bahkan hingga kami pulang dari rumah Bulek Tri, Bulek Ningrum masih meraung memanggilku."Sudah mak, jangan memaksa. Biarkan Dina memikirkan apa yang menurutnya baik"Aku menatap Bapak didepan. Maafkan Dina Emak dan Bapak, Dina masih merasa tak sanggup berlapang dada memaafkan Bulek Ningrum.***" Sepertinya aku datang disaat yang salah"Ucapan Banyu membuyarkan lamunanku. Aku memang sedang tak disini. Sejak kedatanganku kerumah Bulek Tri, rasanya jiwaku tertinggal disana. Aku merasa pulang membawa sejuta beban didalam dadaku. Sesak dan nyaris tak dapat menikmati hariku."Aku yang sedang tak disini. Maaf"Aku berucap tulus. Sejak tadi banyu mencoba memancingku untuk fokus pada, tapi entahlah. Rasaku tak d
Hari lamaran tiba, rumahku begitu ramai. Bapak sibuk dengan dekorasi rumah. Ibu dan para tetanggu sibuk didapur. Bapak menyembelih seekor sapi,memasaknya dan dibagikan kepada warga sekitar. Sisanua diolah untuk jamuan nanti malam.Hanya lamaran, tak banyak yang di undang. Hanya tetangga sekitar dan keluarga besar saja. Emak sudah sibuk sejak beberapa hari ini. Melebihi acara lamaranku yang pertama dulu."Dina bantu apa ini mak?"Aku melihat kedapur yang dipenuhi tetangga dan juru masak ditempat kami tinggal."Nggak usah bantu apa-apa. Sudah, duduk saja mbak Dina.""Iya, sudah sana didalam saja."Para tetanggaku hampir bersamaan melarang. Aku merasa bosan tak melakukan apapun. Sejak beberapa hari tugasku hanya makan dan tidur."Mbak Din, ngapain disitu? Ayo masuk kamar!"Anik yang sudah sehat kini bertambah cerewet dan menggatur. Aku bahkan sering mengusirnya keluar kamar.
Ijab Qobul berjalan lancar, tamu para tetangga dan keluarga Banyu sudah pulang. Tinggal Mak Rum dan mbak Warsi, Anik dan beberapa tetangga perempuan di dapur belakang. Aku sudah masuk ke kamar beberapa menit lalu, menghapus riasan yang menepel di wajah. Pantas saja aku begitu pantang masuk ke dapur, mereka semua ternyata menjebakku! Tapi aku suka, eh!Lah, wajahku bersemu merah sendiri, mengingat Ijab Qobul singkat beberapa saat lalu.Tok..tok..tok..Aku terkejut sendiri saat pintu di buka, ternyata Anik, jantungku sudah berpacu saja karena kukira...Ah sudahlah! Aku menepuk jidatku sendiri."Mbak Din, nggak ada niat bantu aku?"Aku memandang Anik yang nampak menahan berat bawaannya."Apa sih Nik?"Aku melihat kotak Kayu besar di tangannya, aku baru ingat, Banyu memberiku mahar satu kilo gram emas. Akan aku apakan emas yang bergerumpul di dalam kotak ini?"Mbak, malah melamun. Ini berat mbak!"Aku tersenyum sendiri, membuka lebih lebar pintu kamar, aku justeru terkejut di belakang An