Share

bab 7

Sebentar lagi hari bahagia mereka akan tiba. Seharusnya Pras sangat bahagia karena calon mertua sudah menyetujui pernikahan mereka, bukan malah sebaliknya. Ia tampak begitu murung, dan cemberut.

Makanan yang sudah dihidangkan oleh ibunya, sama sekali tak disentuhnya. Semua masih utuh di atas meja. Ia seperti kehilangan selera untuk makan apa pun.

Dinta yang melihat perilaku tak biasa dari anaknya itu mencoba untuk bertanya, meski ia tau anak lelaki yang ia besarkan selama ini itu memiliki sifat yang tertutup.

Tapi apa salahnya ia mencoba menanyakan hal apa yang mengganggunya sehingga dia bersikap seperti orang gangguan mental.

"Ada masalah apa? Ayo cerita sama Mama," ujarnya mengusap lembut punggung lebar Pras.

"Ayah Nara sudah menyetujui pernikahan kami, Ma,"

"Terus? Harusnya kamu senang dong, sekarang kenapa malah murung seperti itu?" tukas wanita bersanggul mini itu.

"Oh mama tau, kamu tidak punya biaya ya, untuk melaksanakan itu semua?" tebak sang ibu.

"Makanya setiap mau mengerjakan apa-apa itu dipikir dulu, biar nggak menyesal seperti ini," lanjut wanita yang melahirkannya itu.

Pras menarik napas dalam. Ia tak ingin menceritakan hal yang telah terjadi saat bertemu dengan pengusaha kaya raya itu, tadi siang.

Kata-kata yang begitu melukai jiwanya. Rasanya ia belum bisa melupakan setiap huruf demi huruf kalimat yang nyelekit itu.

Dipikiran Pras saat ini, ayah Nara adalah seorang lelaki yang tak punya etika. Menghina orang secara terang-terangan. Percuma pebisnis namun menghargai sesamanya saja tak bisa. Apa ia pantas disebut calon mertua yang baik setelah penghinaan yang telah ia lakukan?

Pras terus mengerutu di dalam hati.

Dia berniat tak akan membuktikan apa pun pada lelaki setengah tua yang rambutnya sudah memiliki uban walau cuma satu-satu.

Ia akan meniti omongan Surya, bahwa Pras tak akan bisa ngasih makan putrinya dengan baik.

'Belum apa-apa kau sudah berani menjengkali aku, dasar kakek tua sialan! Aku masih muda, tenagaku masih kuat, kenapa dia menuduhku seolah tak bisa menafkahi Nara nantinya? Dia bukannya mendukungku untuk bangkit dan bekerja sama, ini malah menginjak harga diriku sampai remuk bak rempeyek. Kur4ng ajar!" makinya dengan sangat emosi. Tangannya terkepal kuat.

Ia mencoba menarik napas dalam agar bisa menghilangkan rasa sesak yang bersarang memenuhi rongga dadanya.

'Rasanya tak sudi untuk menyalami tangannya saat ijab kabul nanti. Dan jika aku telah sah menjadi suami Nara nanti, pasti setiap detiknya dia akan menyeragku dengan kata-kata kotor dari mulut busuknya, dan menghinaku habis-habisan. Mengkerdilkan semangatku.'

'Hidup cuma satu kali. Hari yang berlalu tak akan kembali. Bahagia itu adalah pilihan. Dan jika menikahi putrinya membuatku tidak bahagia karna ulah mertua, mengapa aku harus melanjutkan? Sebelum terlambat, sebaiknya aku mengambil keputusan besar dalam hidupku.'

'Nara, maaf , aku akan datang setelah menjadi sukses nanti, sehingga bisa membungkam mulut ayahmu itu dengan berlian berat satu kg. Kamu sabar ya, aku tau kamu wanita yang hebat dan juga kuat. Kamu pasti bisa melewati ini sendirian,"

Setitik butiran bening muncul di sudut matanya.

"Semoga kamu dan anak kita baik-baik aja, Nara. Maaf aku tak bisa melanjutkan rencana pernikahan kita."

Pras pun langsung mengambil tas besar di atas lemari. Lalu menyusun berbagai pakaian dan keperluan, meski ia belum tahu akan pergi kemana, tapi ia mengikuti saja kemana kaki akan membawanya.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status