共有

Golongan Orang Waras, Bukan?

作者: Perarenita
last update 最終更新日: 2024-12-16 16:07:33

"Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. 

Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu.  

"Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat Tiara meneguk ludahnya. Ayam goreng itu begitu menggoda. 

Perlahan tapi pasti tangan kanan Tiara menjulur dan mengambil sepotong ayam goreng yang ada di atas meja. Tiara langsung memakannya begitu saja saat ayam goreng itu sudah berada di tangannya. Tiara nampak rakus, wanita berkulit putih itu seperti orang yang tidak pernah makan ayam saja.  

"Ish, jorok banget sih, Kak," tegur Rosa seraya meletakkan sayur lodeh yang sudah matang di atas meja yang ada di hadapan Ibu Mertua serta Kakak Iparnya.  

"Kenapa?" tanya Tiara, mulutnya terus menggigit dan mengunyah bagian dari ayam goreng itu. 

"Bangun tidur, belum cuci muka, belum kumur-kumur langsung makan. Mending kalo makannya sambil duduk, lah ini sambil berdiri. Kelihatan banget kalo tidak pernah makan ayam," ungkap Rosa. 

Uhuk-uhuk. 

Mendengar penuturan adik iparnya, ayam yang hampir tertelan itu jadi tersangkut di tenggorokkan. Tiara tersedak dan tiba-tiba batuk, berusaha mengeluarkan sebingkah ayam yang tadi hampir masuk ke perutnya. "Uhuk-uhuk! Uhuk-uhuk!" Tiara tersedak ayam goreng, hal itu membuatnya jadi batuk tak henti. 

"Duh ... gimana Sih, Ra? Makan ayam kok sampe batuk-batuk. Ni minum dulu," ujar Bu Wati seraya menyodorkan satu gelas air putih kepada Tiara. 

Dengan cepat ia meminum air itu hingga habis tak tersisa. Setelah habis satu gelas, barulah tenggorokkannya terasa enakan. Tidak ada yang nyangkut dan tidak batuk lagi. "Ini ni! Gara-gara menantu Ibu aku jadi tersedak!" omel Tiara seraya menunjuk Rosa yang sekarang sedang mencuci piring dan beberapa peralatan yang habis ia pakai untuk memasak di wastafel yang ada di sebelah meja kompor.  

"Kok nyalahin aku? Salahin diri kamu sendiri, Kak. Makan tu ada adab, ada cara," sahut Rosa dengan kedua tangan yang sibuk menyabuni piring.  

"Berani jawab kamu, ya!" bentak Tiara seraya menghampiri Rosa, tetapi segera dicegah oleh Bu Wati.  

"Sudahlah, Tiara. Jangan kamu ladenin, dia itu tidak waras. Otaknya kurang secanting. Namanya juga Perawan Tua," ungkap Bu Wati dengan berbisik pelan. Meski begitu, sayup-sayup masih terdengar di telinga Rosa. 

Tak ada tanggapan dari Rosa. Wanita keturunan Sunda itu hanya mempercepat gerakan tangannya, berniat mengantarkan makanan untuk lelaki yang saat ini sudah menjadi imam untuknya. Bukan hanya itu, Rosa juga ingin pergi berbelanja atau sekedar refreshing untuk menghilangkan rasa penat di dalam dirinya sebab satu minggu menjadi menantu Bu Wati benar-benar menguras energi. 

"Ibu benar, yang ada malah aku jadi ikutan kurang secanting," sahut Tiara, lalu mereka tertawa pelan mengejek Rosa yang hanya diam saja.  

Merasa tak ada perlawanan dari adik iparnya, Tiara pun bergegas ke kamar mandi sebab ingin membuang air kecil yang sedari tadi sudah ditahan olehnya. Sambil melewati Rosa yang masih mencuci piring, Tiara melirik sekilas lalu masuk ke kamar mandi yang tempatnya tak jauh dari lokasi Rosa mencuci piring. Rumah ini sangat sederhana, dengan banyak penghuni dan hanya ada satu kamar mandi.  

"Habis cuci piring buatkan saya kopi susu," pinta Bu Wati yang masih setia duduk di meja makan menjadi mandor untuk Rosa, atau hanya ingin bersantai di sana, sebab bila dihari-hari sebelumnya atau sebelum Rosa masuk ke rumah itu, wanita tua itu tidak pernah bisa sesantai ini bila di pagi hari.  

"Hanya ada kopi, Bu. Susunya tidak ada," jawab Rosa sambil menyusuni piring-piring yang sudah di cuci bersih olehnya. 

"Ya kamu belikan di warung depan sana!" 

Sejenak Rosa menghentikan pergerakannya dan menatap tajam ke arah Ibu Mertuanya yang hanya duduk manis di sana sambil memperhatikan makanan yang sudah di masak oleh Rosa dengan aroma yang begitu menggoda. "Sudah aku katakan, Bu. Menantu Ibu bukan hanya aku. Di rumah ini ada banyak orang yang bisa Ibu suruh ke warung untuk membeli susu," sanggah Rosa. Bukan tak ingin ia menuruti permintaan wanita tua itu, hanya saja ia harus buru-buru sebab ingin mengantarkan nasi untuk suaminya. 

"Halah ... bilang saja kamu itu takut keluar uang! Dasar menantu pelit!" hardik Bu Wati, lalu beranjak dari sana dan meninggalkan Rosa yang masih menatapnya tajam. 

"Astagfirullah ... huhhhhh," Rosa menarik nafasnya dalam sambil beristighfar agar kondisinya tetap waras dalam menghadapi manusia bermulut tajam seperti ibu mertuanya.  

"Sabar-sabar," lirihnya lagi. 

Meski begitu, tidak ada rasa menyesal dalam diri Rosa menikah dengan lelaki yang bernama Hasan. Lelaki itu sederhana, tidak ada yang istimewa darinya. Hanya saja, perintah sang papah tidak bisa Rosa tolak. Tidak ada pilihan lain, bagi Rosa perintah papah adalah kewajiban untuknya dan pilihan sang papah adalah yang terbaik untuk hidupnya. Wanita itu percaya bahwa dibalik semua ini pasti ada hikmah untuk dirinya. Entah itu baik ataupun buruk. Dengan begini, ia mendapatkan pengalaman baru yang tidak bisa ia dapatkan dalam hidup yang serba mewah. 

"Mau dibawa ke mana tu nasi?" tanya Tiara yang ternyata sudah berdiri di belakang Rosa. 

"Buat Mas Hasan," jawab Rosa singkat. 

Dengan telaten wanita tiga pukuh lima tahun itu menata nasi, sayur, serta lauk yang sudah ia masak tadi di dalam satu wadah berbentuk kotak berukuran sedang. Melihat Rosa yang begitu cekatan dan penuh keterampilan dalam memasak, Tiara, wanita itu sedikit mengagumi adik iparnya. Bagaimana tidak, bertahun-tahun ia menjadi menantu di rumah ini, jarang sekali dirinya ikut turun tangan untuk sekedar memasak nasi atau membuatkan lauk untuk sang suami. Bila dibandingkan, Rosa terlihat jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan dirinya.  

"Eh ... Rosa, aku mau tanya." 

"Tanya apa?" 

"Kamu itu sebenarnya Perawan Tua atau Seorang Janda?"  

Pertanyaan macam apa itu, Rosa tak habis pikir dengan semuanya. Wanita itu memutar otak dan berpikir keras tentang keluarga suaminya. Dalam benak ia bertanya apakah anggota keluarga suaminya ini termasuk golongan orang-orang waras atau bukan.  

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Kedatangan Marco

    Suara sepatu para petugas berseragam bergema di dalam apartemen kecil itu, menciptakan ketegangan yang semakin menyesakkan. Lampu gantung berayun pelan akibat pintu yang didobrak paksa beberapa detik sebelumnya. Hasan berdiri kaku, wajahnya penuh amarah, sementara Mia berusaha keras mempertahankan ketenangannya.Rosa melangkah masuk, senyumnya lebar, namun dingin. Tatapan matanya menyorot tajam, seolah mengukur setiap inci dari ekspresi Mia dan Hasan. Di belakangnya, dua petugas tetap siaga, senjata mereka mengarah tanpa goyah."Kau pikir bisa mengendalikanku, Mia?" Rosa berkata pelan, hampir berbisik, namun cukup jelas untuk membuat ruangan itu terasa lebih dingin.Mia mendongak, menatap Rosa tanpa gentar. "Aku tidak pernah mencoba mengendalikanmu, Rosa. Aku hanya memastikan kau tidak bisa mengendalikanku."Rosa tertawa pelan, langkahnya mendekat hingga berdiri hanya beberapa meter dari Mia. "Kau pintar. Itu yang membuatmu menarik. Tapi sayangnya, permainan ini bukan tentang siapa ya

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Ini Belum Usai, Mia!

    Suasana di ruang kerja Hasan begitu tegang hingga udara pun terasa berat. Lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu dari pertemuan yang penuh intrik ini.Mia berdiri tegak di depan Rosa dan Hasan, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menebas. Dengan penuh keyakinan, dia melempar flashdisk kecil ke atas meja. Bunyi benturan kecilnya terdengar nyaring di ruangan yang hening, membawa pesan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.“Di dalamnya ada semua bukti untuk menghancurkan kalian,” ucap Mia, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Tapi aku tidak datang untuk mengancam. Aku datang untuk membuat kesepakatan.”Rosa mengangkat alisnya, lalu tertawa pelan. Suaranya bergema lembut di ruangan itu, namun ada nada tajam yang tersembunyi di balik tawa itu. "Kesepakatan? Kau pikir kau masih bisa mengendalikan permainan ini, Mia?" Dia melangkah pelan mendekat, tatapan matanya menusuk. "Kau lupa siapa yang memegang kendali."Mia tak b

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Pemenang yang Tak Terduga

    Mia menatap punggung Rosa dan Hasan yang perlahan menghilang di balik pintu gudang. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena beban pikiran yang menghimpit dadanya. Ruangan itu terasa semakin sempit, meski hanya dia dan dua pria berjas hitam yang masih berdiri di sana. Mereka mengawasinya seperti dua bayangan gelap tanpa emosi.Mia mengusap keringat di pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Ini belum selesai. pikirnya. Justru permainan baru saja dimulai.Keesokan harinya, Mia kembali ke rumah sakit tempat Farid dirawat. Aroma antiseptik menyambutnya saat ia melangkah di koridor yang sunyi. Langkah kakinya mantap, meski di dalam hatinya berkecamuk badai. Farid masih terbaring lemah di ruang perawatan VIP, infeksi alat kelaminnya membuatnya tak berdaya.Saat Mia membuka pintu kamar, Farid menoleh pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh kecurigaan.“Kau datang lagi,” gumam Farid dengan suara serak.Mia memaksakan senyum, mendekatinya sambil membawa nampan kecil

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Bukti Nyata

    Pintu gudang terbuka lebar, dan di ambang pintu berdirilah Rosa, menatap mereka dengan ekspresi dingin namun penuh kemenangan. Dua pria berjas hitam berdiri di belakangnya, wajah mereka tanpa emosi."Lama tidak bertemu, Mia."Mia membeku. Jantungnya berdegup kencang saat ia mencoba membaca situasi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah perang.Hasan berdiri di sebelah Mia, ekspresinya tak terbaca. Dia tampak tenang, tapi Mia tahu otaknya pasti sedang bekerja keras mencari jalan keluar.Rosa melangkah masuk, suara sepatu hak tingginya menggema di dalam ruangan. “Aku sudah menunggumu, Mia. Aku tahu cepat atau lambat kau akan mencoba melarikan diri.”Mia mencoba tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia tahu dia sedang dikepung. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Rosa.”Rosa terkekeh, matanya bersinar tajam. “Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah menyelidikimu sejak awal.”Mia menelan ludah, tapi dia tetap menjaga ketenangannya. “Lalu kenapa kau tidak langsung bertindak?”R

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Rosa Datang

    Mia menatap Hasan dengan napas tertahan. Ruangan itu terasa semakin sempit, udara semakin berat. Hasan masih menggenggam ponselnya, suara di seberang menunggu jawabannya.“Serahkan Mia, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa perlu darah.”Mia menelan ludah. Ini adalah saat yang menentukan.Hasan menutup matanya sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tidak semudah itu.”Mia nyaris tidak bisa percaya. Dia… membelanya?Orang di seberang telepon tertawa pelan. “Kau masih terlalu lunak, Hasan. Ini bukan soal seberapa mudah atau sulitnya. Ini soal kepentingan. Kau tahu siapa yang ada di balik semua ini, kan?”Hasan tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan.Mia merasakan ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. Ini lebih besar dari yang dia bayangkan.Suara di telepon melanjutkan, lebih dingin dari sebelumnya. “Kau punya waktu sampai besok pagi. Jika kau tidak menyerahkannya, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian berdua.”Klik. Sambungan terputus.Mia mencoba m

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Keputusan

    Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi wajah Mia saat dia berdiri di hadapan Hasan. Tangannya masih dalam cengkeraman kuat pria itu. Nafasnya berat, pikirannya berpacu mencari cara keluar dari situasi ini.Hasan menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan yang terpendam. “Katakan, Mia. Semua yang kau rencanakan.”Mia bisa saja berbohong. Dia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, dia tahu kebohongan tidak akan menyelamatkannya.“Aku…” Mia menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku memang mendekati Farid karena alasan tertentu. Tapi itu bukan karena aku ingin menyakitinya.”Hasan tersenyum sinis. “Benarkah? Kau ingin aku percaya bahwa kau mendekati kakakku dengan niat baik?”Mia menarik napas dalam. “Awalnya aku hanya ingin mendapatkan kepercayaan Farid… untuk bisa lebih dekat dengan keluargamu.”Hasan menggelengkan kepala, ekspresinya semakin mengeras. “Dan setelah itu? Apa kau berencana menipu kami? Mengambil uangku?”Mia tidak menjawab, tapi tatapan Hasan sem

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tertangkap

    Taksi melaju melewati jalanan kota yang diterangi lampu jalan remang-remang. Mia duduk di kursi belakang, jari-jarinya gemetar saat dia menggenggam ponselnya. Pesan yang baru saja dia terima terus berputar di pikirannya.“Kau sudah membuat pilihan yang salah, Mia. Sekarang giliran kami yang bermain.”Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah mereka sudah menemukan Marco?Mia menoleh ke luar jendela dan merasakan ketakutan merayapi tulangnya. Sebuah mobil hitam tampak mengikuti taksinya sejak tadi. Tidak ada sirene, tidak ada tanda-tanda mencolok, tetapi nalurinya tahu—mereka sedang diawasi.Sial.Dia tidak bisa langsung kembali ke rumah dan bertemu Marco. Jika dia membawa mereka ke sana, itu sama saja seperti menyeret Marco ke dalam bahaya.Dia harus berpikir cepat.Mia bersandar ke depan, berbicara dengan sopir taksi dengan suara tenang tapi mendesak. “Pak, bisa belok ke jalan kecil di depan sana? Saya harus turun di tempat lain.”Sopir itu menatap Mia sekilas melalui kaca spion, tampak

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Permainan Dimulai

    Mia tahu dia harus bertindak cepat. Situasi di restoran ini semakin berbahaya, dan Marco baru saja memperingatkannya tentang sesuatu yang lebih buruk. Tapi sebelum dia bisa berpikir jernih, Rosa sudah mengambil langkah lebih dulu.Dua pria berjas hitam memasuki restoran, wajah mereka datar dan serius. Keamanan restoran. Rosa melirik mereka dan memberi isyarat halus.“Mia,” Rosa berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati suamiku, tapi aku akan memastikan kau tidak bisa melakukan apa pun lagi.”Mia menatap Hasan, berharap pria itu akan membelanya. Tapi Hasan hanya diam, wajahnya penuh kebingungan. Mia tahu, kepercayaannya mulai runtuh.Sial.“Maaf, Bu,” salah satu petugas keamanan berkata sopan, “Kami mendapat laporan bahwa ada tamu yang mengganggu di sini. Kami harus meminta Anda pergi.”Mia menguatkan dirinya. Dia tidak bisa panik sekarang.Dia tersenyum kecil, menampilkan wajah polosnya. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya hanya sedang makan

  • Kusembunyikan Identitas dari Mertua   Tak-Tik yang Ketahuan

    Mia merasa kendali ada di tangannya. Hasan mulai terperangkap dalam pesonanya, dan Farid semakin bergantung padanya. Meski Rosa sudah mulai curiga, Mia yakin dia bisa mengatasinya. Namun, di balik rencana yang sempurna, ada sesuatu yang Mia tidak duga—sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.Dua hari setelah pertemuan dengan Rosa, Mia menerima pesan dari Hasan.(Mia, bisa kita bertemu di luar rumah sakit? Aku ingin mengobrol denganmu tanpa ada orang lain.)Mia tersenyum tipis. Ini lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan cepat, ia mengetik balasan.(Tentu, Pak Hasan. Kapan dan di mana?)(Besok malam, di restoran La Belle di pusat kota. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.)Restoran mewah. Tanda bahwa Hasan mulai melihatnya lebih dari sekadar suster kakaknya. Mia tidak bisa menahan rasa puas yang menjalar dalam dirinya.Namun, saat ia menutup ponselnya, suara dingin Marco terdengar dari belakang.“Kau mulai bermain di luar rencana.”Mia menoleh dengan malas. “Aku tidak be

無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status