"Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel."
"Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek.
"Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?"
"Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini."
"Oooo," sahut Rosa.
Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya.
"Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek.
Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa kesana-kemari melihat-lihat motor apa yang akan dibawanya pulang siang ini.
"Selamat datang, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa wanita cantik yang menyambut kedatangan Rosa ketika ia memasuki area dealer motor ini.
"Saya ingin motor keluaran terbaru yang paling mahal di tempat ini," ucap Rosa.
"Ohhh, ada. Mari ikut saya."
Wanita itu mengajak Rosa berkeliling, dan menunjukan beberapa koleksi terbaru yang mereka punya. "Ini, Bu. Ini yang termahal, dan terbaru. Di sini hanya ada,--"
"Saya ambil ini," ucap Rosa tanpa mau mendengar penjelasan lebih lanjut dari wanita itu.
"Baik. Akan saya urus. Tunggu sebentar Ibu. Oh ya, untuk pembayaran, mau ambil kredit yang berapa bulan?"
"Saya bayar Kes."
"Baik, Ibu. Mohon di tunggu sebentar ya."
"Hmm."
Wanita itu segera meninggalkan Rosa, dan mengurus surat serta total administrasi yang harus dibayar. Tak sampai 15 menit, motor dengan merek Honda ADV 160 CBS 2024, sudah bisa dibawa pulang.
"Berapa, Bang?" tanya Rosa pada si tukang ojek tadi, sebab pulang ini ia tak lagi menggunakan jasanya.
"25 ribu, Neng. Motornya sudah dapat, Neng?"
"Nih," ucap Rosa seraya mengulurkan selembar uang berwarna biru pada lelaki itu, "alhamdulillah, sudah."
"Motor apa, Neng?" tanyanya penasaran.
"Tuu," tunjuk Rosa pada petugas dealer yang sedang mengeluarkan motor pilihan Rosa dari tempatnya.
"Wow, gilak! Ini mah keren banget, Neng! Keluaran terbaru! Di kampung kita belum ada yang pake motor itu! Pasti harganya mahal ya, Neng?"
"Kamu ini rempong banget jadi lelaki," ucap Rosa lalu pergi meninggalkan lelaki itu.
Lelaki yang entah siapa namanya itu semakin dibuat kagum oleh sikap Rosa yang cuek dan tak banyak bicara. Beda sekali dengan dua iparnya. Setelah kepergian Rosa, ia baru tersadar jika uang yang diberikan Rosa masih ada sisanya, ia pun bergegas menyusul Rosa yang tengah mencoba motor barunya.
"Neng, tunggu. Ini kembaliannya!" teriak lelaki itu, pasalnya motor yang di kendarai Rosa mulai berjalan meninggalakn area dealer.
Gudang itu mendadak terasa sempit. Udara malam yang tadinya dingin kini berubah jadi beban yang menyesakkan dada Mia. Marco berdiri diam, tapi kehadirannya cukup untuk membuat semua rencana yang Mia susun selama berminggu-minggu terasa rapuh."Kau... seharusnya mati," gumam Mia, matanya masih belum bisa lepas dari wajah pria yang berdiri dalam gelap.Marco mengangkat alis. "Dan kau seharusnya tidak mengkhianati orang yang pernah menyelamatkanmu dari neraka."Kilatan kenangan menghantam Mia seperti ombak. Gambar-gambar samar tentang malam itu di Albania—api, darah, dan pelarian—melintas begitu cepat di kepalanya. Marco telah menyelamatkannya… dan dia, pada akhirnya, membiarkannya terbakar bersama rahasia yang terlalu berbahaya untuk diungkap."Apa yang kau inginkan?" suara Mia bergetar, tapi ia mencoba menyembunyikannya dengan sikap dingin.Marco mendekat, langkahnya tenang namun mengancam, hingga jarak mereka hanya tinggal satu meter. Dari dekat, luka-lukanya lebih jelas. Bekas bakar
Suara sepatu para petugas berseragam bergema di dalam apartemen kecil itu, menciptakan ketegangan yang semakin menyesakkan. Lampu gantung berayun pelan akibat pintu yang didobrak paksa beberapa detik sebelumnya. Hasan berdiri kaku, wajahnya penuh amarah, sementara Mia berusaha keras mempertahankan ketenangannya.Rosa melangkah masuk, senyumnya lebar, namun dingin. Tatapan matanya menyorot tajam, seolah mengukur setiap inci dari ekspresi Mia dan Hasan. Di belakangnya, dua petugas tetap siaga, senjata mereka mengarah tanpa goyah."Kau pikir bisa mengendalikanku, Mia?" Rosa berkata pelan, hampir berbisik, namun cukup jelas untuk membuat ruangan itu terasa lebih dingin.Mia mendongak, menatap Rosa tanpa gentar. "Aku tidak pernah mencoba mengendalikanmu, Rosa. Aku hanya memastikan kau tidak bisa mengendalikanku."Rosa tertawa pelan, langkahnya mendekat hingga berdiri hanya beberapa meter dari Mia. "Kau pintar. Itu yang membuatmu menarik. Tapi sayangnya, permainan ini bukan tentang siapa ya
Suasana di ruang kerja Hasan begitu tegang hingga udara pun terasa berat. Lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu dari pertemuan yang penuh intrik ini.Mia berdiri tegak di depan Rosa dan Hasan, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap menebas. Dengan penuh keyakinan, dia melempar flashdisk kecil ke atas meja. Bunyi benturan kecilnya terdengar nyaring di ruangan yang hening, membawa pesan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.“Di dalamnya ada semua bukti untuk menghancurkan kalian,” ucap Mia, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Tapi aku tidak datang untuk mengancam. Aku datang untuk membuat kesepakatan.”Rosa mengangkat alisnya, lalu tertawa pelan. Suaranya bergema lembut di ruangan itu, namun ada nada tajam yang tersembunyi di balik tawa itu. "Kesepakatan? Kau pikir kau masih bisa mengendalikan permainan ini, Mia?" Dia melangkah pelan mendekat, tatapan matanya menusuk. "Kau lupa siapa yang memegang kendali."Mia tak b
Mia menatap punggung Rosa dan Hasan yang perlahan menghilang di balik pintu gudang. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena beban pikiran yang menghimpit dadanya. Ruangan itu terasa semakin sempit, meski hanya dia dan dua pria berjas hitam yang masih berdiri di sana. Mereka mengawasinya seperti dua bayangan gelap tanpa emosi.Mia mengusap keringat di pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Ini belum selesai. pikirnya. Justru permainan baru saja dimulai.Keesokan harinya, Mia kembali ke rumah sakit tempat Farid dirawat. Aroma antiseptik menyambutnya saat ia melangkah di koridor yang sunyi. Langkah kakinya mantap, meski di dalam hatinya berkecamuk badai. Farid masih terbaring lemah di ruang perawatan VIP, infeksi alat kelaminnya membuatnya tak berdaya.Saat Mia membuka pintu kamar, Farid menoleh pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh kecurigaan.“Kau datang lagi,” gumam Farid dengan suara serak.Mia memaksakan senyum, mendekatinya sambil membawa nampan kecil
Pintu gudang terbuka lebar, dan di ambang pintu berdirilah Rosa, menatap mereka dengan ekspresi dingin namun penuh kemenangan. Dua pria berjas hitam berdiri di belakangnya, wajah mereka tanpa emosi."Lama tidak bertemu, Mia."Mia membeku. Jantungnya berdegup kencang saat ia mencoba membaca situasi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah perang.Hasan berdiri di sebelah Mia, ekspresinya tak terbaca. Dia tampak tenang, tapi Mia tahu otaknya pasti sedang bekerja keras mencari jalan keluar.Rosa melangkah masuk, suara sepatu hak tingginya menggema di dalam ruangan. “Aku sudah menunggumu, Mia. Aku tahu cepat atau lambat kau akan mencoba melarikan diri.”Mia mencoba tersenyum tipis, meski dalam hatinya dia tahu dia sedang dikepung. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Rosa.”Rosa terkekeh, matanya bersinar tajam. “Kau tidak perlu berpura-pura. Aku sudah menyelidikimu sejak awal.”Mia menelan ludah, tapi dia tetap menjaga ketenangannya. “Lalu kenapa kau tidak langsung bertindak?”R
Mia menatap Hasan dengan napas tertahan. Ruangan itu terasa semakin sempit, udara semakin berat. Hasan masih menggenggam ponselnya, suara di seberang menunggu jawabannya.“Serahkan Mia, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa perlu darah.”Mia menelan ludah. Ini adalah saat yang menentukan.Hasan menutup matanya sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tidak semudah itu.”Mia nyaris tidak bisa percaya. Dia… membelanya?Orang di seberang telepon tertawa pelan. “Kau masih terlalu lunak, Hasan. Ini bukan soal seberapa mudah atau sulitnya. Ini soal kepentingan. Kau tahu siapa yang ada di balik semua ini, kan?”Hasan tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan.Mia merasakan ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. Ini lebih besar dari yang dia bayangkan.Suara di telepon melanjutkan, lebih dingin dari sebelumnya. “Kau punya waktu sampai besok pagi. Jika kau tidak menyerahkannya, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian berdua.”Klik. Sambungan terputus.Mia mencoba m