Tentang Rosa

"Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. 

"Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" 

"Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." 

"Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" 

"Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...."  

Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan.  

Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjadi pendamping hidupnya. "Apa?" tanyanya lembut. 

"Nasinya dimakan, ini sudah siang, Mas. Kamu pasti belum sarapan, 'kan?" 

Hasan tersenyum, lalu membuka tutup kotak nasi itu. "Makan bareng yuk, aku suapi," ajak Hasan seraya mengaduk sayur, dan nasi hingga menjadi satu. 

"Malu ih, Mas. Masa suap-suapan di sini." 

"Memangnya kenapa? Tidak ada siapa-siapa di sini, karyawan lain masih sibuk dengan pekerjaan mereka," bujuk Hasan. 

Memang benar, suasana kantor saat ini begitu sepi, jam baru menunjukkan pukul 10:35, masih ada waktu satu setengah jam sebelum jam makan siang tiba. 

"Aaaaa ...," Hasan mengarahkan satu sendok ke mulut istrinya. 

Dengan malu-malu Rosa menerima suapan itu, lalu berganti Hasan mengarahkan sendok ke mulutnya sendiri. Hingga nasi yang dibawa Rosa tadi, mereka habiskan berdua. 

"Masakan kamu enak, Sa." Puji Hasan ketika sesi makan telah selesai. 

Rosa pun membereskan kotak nasi itu, dan memasukkan ke dalam tas bekal miliknya. "Seumur hidup,aku belajar untuk bisa masak seenak ini, Mas," sahutnya tanpa melihat lawan bicaranya. 

Tanpa Rosa sadari, Hasan terus memandangi wajahnya yang ayu, nan berseri. Sungguh ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meski usia mereka tak begitu terpaut jauh, tetapi Hasan sangat bersyukur bisa mempersunting perempuan seperti Rosa.  

"Kamu sempurna ... sungguh bersyukur aku bisa menjadi suamimu, Sa," ungkap Hasan, ia sudah tak tahan untuk tidak mengungkapkan rasa kagumnya pada wanita ini. 

Sejak pertama kali bertemu, tidak pernah seberani ini Hasan menatap wajah istrinya. Dan hari ini, tepat satu minggu usia pernikahan mereka, Hasan, lelaki itu mencoba untuk memberanikan diri menatap wajah istrinya. Bahkan, saat menyuapi Rosa tadi, jantung Hasan berdegup tak karuan. 

"Kamu menyatakan cinta, Mas?" Ingin rasanya Rosa tertawa, dan menari ria seperti film india mendengar penuturan suaminya. 

Hasan menatap lekat manik mata itu, "entah ini sebatas kagum, atau aku sudah jatuh cinta padamu, Rosa, tapi sungguh, aku tidak mau membohongi perasaanku. Aku ... aku ... tidak bisa terus-terusan berpura-pura. Dipernikahan ini, aku benar-benar jatuh cinta padamu, Rosa," ungkap Hasan, entah ada keberanian dari mana, lelaki itu menarik wajah istrinya dan melabuhkan satu kecupan pada bibir nan ranum itu. 

Rosa terdiam, ia sungguh tak berkutik. Sentuhan di wajahnya, dan kecupan lembut  di bibirnya sungguh membuat dirinya bagaikan terhipnotis. Rosa terharu mendengar ungkapan cinta itu. Meski terlambat, tapi tidak ada kata terlambat untuk memulai. Pernikahan mereka bukanlah atas dasar cinta. Keduanya dipaksa menikah oleh Erik, Papah Rosa. Usia Erik sudah tak muda lagi, ia ingin putri satu-satunya yang ia miliki menikah dengan lelaki baik, jujur, dan bertanggung jawab seperti Hasan, meski status mereka beda, Erik sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk putrinya, Rosa. 

"Baiklah, Ros mau menikah, tapi ... asalkan tidak ada yang tahu tentang asal-usul Ros, selain calon suami Ros. Termasuk keluarga calon suami Ros. Mereka tidak perlu tahu siapa, Rosa, Pah," ucap Rosa di kala itu. 

"Tapi kenapa, Nak?" 

"Papah lupa bagaimana Tante Melinda memperlakukan Papah? Dia cuma ingin harta Papah! Dia juga ingin menyingkirkan Ros, Pah! Semua karena apa? Karena harta, karena jabatan, Pah. Manusia di dunia ini bisa gelap mata hanya karena harta. Jadi, Ros tidak mau ada yang tahu tentang siapa Rosa, Pah." 

"Calon kamu ini lelaki baik, Nak. Papah tidak meragukannya lagi. Meski hanya seorang Security, tapi dia sudah mengabdi pada perusahaan kita selama bertahun-tahun. Papah kenal dekat dengannya, dari awal perusahaan kita dibangun, hingga sekarang dia,--" 

"Iya dia baik, Pah, tapi belum tentu keluarganya juga baik."

***