Jihan mulai melancarkan aksinya.
Dia tak menyerah untuk membuat Keenan terus bertemu dengan dirinya dan mengabaikan Nilam, sang istri.
"Mas Keenan, temenin belanja."
Suatu siang, dia tiba-tiba menelepon dan mengajak Keenan berbelanja di hari minggu, hari di mana seharusnya dihabiskan Keenan dengan Nilam.
"Maas, aku takut tidur sendirian, temenin ngobrol sampai tertidur, ya."
Pada hari berikutnya, dia meminta tolong hal lain.
"Mas, Mas! Ada tikus di kamar! Aku takuuut."
Dia juga meminta tolong kepada Keenan untuk datang ke rumah karena hal hal yang sepele.
Keenan yang terbawa efek guna-guna Jihan, tidak pernah bisa menolak dan selalu datang kapan pun dipanggil Jihan.
Keenan mengira ke tidak sanggupannya menolak semua permintaan Jihan, karena wanita itu adalah teman masa kecilnya yang baru saja tertimpa musibah, dia sama sekali tak pernah menduga bahwa sang teman, memiliki niat tidak baik pada rumah tangganya.
Sementara itu, Jihan merasa sangat senang karena dia kini lebih sering menghabiskan waktu dengan Keenan daripada Nilam.
Apalagi Jihan sekarang bekerja di tempat yang sama dengan Keenan, membuat dirinya bisa tahu sebagian besar kegiatan Keenan.
"Aku nyesel banget ngelepas dia pas nikah dulu. Siapa yang tahu kalau dia jadi sesukses ini sekarang hanya dalam waktu dekat?"
Jihan bicara sendiri sambil menopang dagu.
Setahun yang lalu, Keenan hanya pegawai kantor biasa seperti dirinya, tapi sekarang karier Keenan semakin naik dan naik.
Bisa saja suatu hari Keenan akan ditunjuk sebagai salah satu direktur di perusahaan tempat mereka bekerja.
Jihan merasa ngeri membayangkan jika wanita kampung yang menjadi istri Keenan sekarang, akan menikmati semua kesuksesan itu.
"Nggak boleh. Kapan lagi aku bisa dapat cowok baik dan loyal kayak Keenan, aku llnggak bakal nyerah membikin Keenan sering bertemu denganku dan suka sama aku lagi," tekad Jihan.
Dulu dia kabur dari pernikahan dengan Keenan, karena takut seumur hidup akan menjalani kehidupan yang irit dan tidak bisa berfoya-foya karena gaji suaminya yang kecil, karena itu sebelum Keenan berhasil mengambil keperawanannya di malam pertama pernikahan mereka, Jihan memutuskan kabur.
Dia lalu bertemu dengan pria yang jauh lebih mapan daripada Keenan, seorang direktur di salah satu perusahaan asing.
Jihan merasa sangat senang karena telah menemukan pria yang bisa menanggung kehidupan hedonnya.
Mereka pun menjalin kasih.
"Kekayaan yang dimiliki Keenan bahkan nggak ada sepertiganya dari kekasih baruku, untung aku nggak jadi nikah dengan Keenan dan mertahanin keperawanan aku, jadi nilai jual ku pasti masih tinggi."
Dengan pikiran seperti itu, Jihan benar-benar membuang Keenan dari pikirannya.
Jihan bahkan tidak peduli apakah Keenan saat ini hancur atau trauma karena tindakan tak bertanggungjawab yang dia lakukan. Dia sibuk mengejar kebahagiaannya sendiri.
Kekasih baru Jihan yang seorang direktur, juga tampak sangat senang saat mendengar dari Jihan bahwa dia masih perawan ting ting.
Jihan diperlakukan lebih istimewa oleh sang kekasih semenjak dia mengakui dirinya sebagai perawan.
Awalnya Jihan merasa sangat bahagia karena seluruh keinginannya dikabulkan oleh sang direktur.
Meski wajahnya tidak begitu tampan, tapi kantong sang kekasih begitu tebal. Jihan merasa menemukan orang yang tepat yang menjadikan dirinya seorang ratu.
Jihan pun keluar dari pekerjaan lama dan ikut sang kekasih pindah ke ibu kota tempat, Will, nama kekasihnya, pindah.
Dia sudah membayangkan bahwa akan menjadi seorang nyonya besar begitu Jihan ikut pergi ke ibu ota bersama Will.
Namun, kenyataan yang begitu buruk datang padanya, dari pengakuan Will.
"Jihan, aku mau jujur sama kamu," ucap Will saat mereka makan malam di sebuah restoran mahal di ibu kota.
Ini hari ketiga setelah dia mulai tinggal di apartemen Will yang mewah, semenjak hari pertama, Jihan sampai melayang karena terus dihujani Will berbagai macam kemewahan yang tak pernah dia bayangkan.
Pada hari pertama pindah, Jihan memberikan keperawanannya kepada Will, karena yakin akan dinikahi pria itu.
"Iya, Will. Jujur aja, emangnya ada apa?" tanya Jihan sambil menyesap anggur di gelasnya.
Jihan tersenyum dengan sangat elegan di depan Will, merasa sangat yakin bahwa Will akan melamarnya malam ini karena mereka telah memadu kasih dengan begitu panas beberapa hari yang lalu.
Jihan telah memberikan keperawanannya yang berharga untuk Will, jadi Will pasti akan menikahi dirinya, kan?
Will menggenggam tangan Jihan, meremas nya sedikit sehingga membuat Jihan tersenyum malu-malu, jantungnya berdebar karena tak sabar menunggu Will mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cincin yang akan digunakan pria itu untuk melamarnya.
"Jihan, jadi sebenarnya.... "
Will tidak melanjutkan ucapannya, terlihat begitu ragu-ragu.
"Iya, Will? Katakan aja, nggak usah sungkan," desak Jihan, tak sabar.
"Kamu tahu sendiri kan aku bakal pindah dari sini beberapa saat lagi karena akan dikirim ke pusat perusahaan aku yang ada di luar negeri, jadi, hmmm.... "
Jihan menunggu Will menyelesaikan ucapan dengan semangat. Menebak apa kira-kira yang akan dikatakan oleh Will sampai membuat dirinya tampak kesulitan bicara seperti itu.
Ayolah, apa susahnya mengatakan 'Will you marry me?' gumam Jihan dalam hati dengan tak sabar.
Dia sendiri tahu bahwa Will tidak lama lagi akan pindah ke luar negeri karena akan naik pangkat dan berada di kantor pusat, Jihan sendiri merasa tak keberatan ikut pindah dengan Will ke luar negeri. Bukankah keren jika dia menjadi seorang nyonya besar yang akan tinggal di luar negeri?
Membayangkan kehidupan mewah dan glamour yang akan dia dapatkan begitu dinikahi oleh Will, membuat Jihan tersenyum senyum sendiri.
Benar-benar keputusan yang tepat kabur dari pernikahan dengan Keenan yang mungkin seumur hidupnya hanya akan menjadi pegawai kantor dengan gaji tidak seberapa.
"Jihan, kamu tau aku selama ini benar-benar tulus suka kamu, kan?"
Will tiba-tiba menanyakan hal itu, yang dibawa Jihan dengan anggukan.
"Iya, Will. Aku tahu. Kamu pria paling tulus yang pernah aku temui," jawab Jihan yang membuat raut tegang di wajah Will perlahan rileks.
"Ya, kamu benar. Aku benar-benar tulus saat bilang suka sama kamu, Jihan. Aku juga sangat suka dengan wajahmu, ini benar-benar seleraku, yang nggak mudah aku temukan di mana pun, Sayang," ucap Will, membelai lembut punggung tangan Jihan.
"Kamu terlalu melebih-lebihkan, Will. Aku nggak secantik itu," jawab Jihan, menyisipkan sedikit rambutnya ke telinga dengan senyum malu-malu.
Sebenarnya Jihan sendiri sangat percaya diri dengan wajahnya, jadi dia tak menampik secara terang terangan bahwa ucapan Will salah.
Wajah Jihan adalah tipe wajah wanita yang terlihat lemah lembut sehingga membuat seseorang yang melihatnya, secara naluriah memiliki keinginan untuk memilikinya.
Dia juga menghabiskan banyak uang untuk merawat aset yang berharga miliknya ini, sehingga saat kenal dengan Will, Jihan merasa jika perjuangannya merawat tubuh terbayar lunas.
"Aku nggak melebih lebihkan, Han. Aku benar-benar suka wajahmu, aku nggak ingin pisah sama kamu apalagi setelah hari di mana aku mengambil keperawananmu, kenangan itu terus tersimpan di kepalaku meski kita sudah melakukannya beberapa hari yang lalu. Aku benar-benar tidak ingin pisah sama kamu, Jihan."
Jihan tersenyum mendengar ucapan Will, diam-diam melirik ke saku Will, menunggu cincin lamaran keluar dari sana.
"Aku juga nggak ingin pisah sama kamu, Will. Jadi, apa yang tadi mau kamu bicarakan tentang akan jujur itu?" tanya Jihan dengan lembut, menyembunyikan keserakahan di matanya karena membayangkan akan memiliki semua harta Will.
Ditanya seperti itu, Will mengusap keningnya dengan sapu tangan yang dia bawa, menatap Jihan dengan pandangan goyah.
"Jadi, Jihan. Sebenarnya... ehm, aku... aku bukan perjaka."
Ucapan Will membuat mata Jihan langsung terbelalak lebar.
Namun, kejutan yang sebenarnya belum datang. Will tidak berhenti di pengakuan tidak perjaka, kata-kata yang seperti bom Hiroshima di telinga Jihan, meluncur dari mulut Will.
"Aku... aku sebenarnya sudah memiliki istri dan 4 orang anak."
Setahun kemudian...Kota Jakarta tetap sibuk. Gedung-gedung baru menjulang, bisnis-bisnis silih berganti, dan waktu berjalan seperti biasa. Tapi ada satu sudut kota—di sebuah lantai atas gedung kecil lima lantai, dengan logo sederhana bertuliskan RE:VIVE—yang menyimpan cerita tak biasa.Gallen membuka pintu kantor pagi itu, mengenakan hoodie dan celana jeans biasa. Ia bukan lagi direktur gelap, bukan kaki tangan mafia korporat, bukan bayangan dari masa lalu siapa pun. Ia hanya pria yang memulai ulang hidupnya... pelan-pelan.“Pagi, Bos Gallen,” sapa seorang staf muda yang lewat.“Udah berapa kali kubilang, jangan panggil aku bos,” sahut Gallen sambil menyeruput kopi instan.Staf itu hanya tertawa dan pergi.Gallen masuk ke ruangan kecilnya yang lebih mirip studio kerja dibanding kantor. Di dinding, beberapa blueprint dan peta bisnis digital terpampang. Di meja, ada dua laptop terbuka, dan di tengah ruangan, duduk Nilam... dengan rambut diikat tinggi dan ekspresi kusut.“Kamu nggak tid
Tiga hari setelah insiden di rooftop, Jakarta kembali terlihat normal dari luar. Tapi di balik keheningan itu, gelombang baru mulai bergerak. Berkas-berkas kejahatan Jason sudah diproses. Media mulai mengendus skandal besar Mahendra Corp, dan nama Nilam—yang dulunya hanya bayangan—kini muncul di berbagai artikel utama sebagai “pemegang kunci kebangkitan.”Namun, di ruang rawat rumah sakit tempat Gallen terbaring, suasana jauh dari sorotan. Tidak ada wartawan. Tidak ada keramaian. Hanya sunyi... dan rasa lelah yang belum tuntas.“Udah kubilang, aku nggak perlu dirawat inap,” gerutu Gallen pelan, meski bahunya masih diperban.“Kamu pingsan dua kali sejak kemarin. Dan kamu pikir kamu bisa pulang?” sahut Nilam ketus dari kursi sebelah tempat tidur.Gallen tersenyum. “Kamu marah ya?”“Bukan marah. Kesel.”“Beda tipis,” Gallen tertawa kecil. “Tapi tetap aja, kamu di sini.”Nilam melipat tangan di dada. “Karena aku belum selesai sama kamu.”Gallen menatapnya lekat. “Kalau soal masa lalu... k
Sirene digital berdengung dari layar laptop, diikuti deretan kode merah yang berkedip di monitor utama Mahendra Corp. Di ruang pusat keamanan, staf mulai panik.“Semua sistem diretas!”“Ini bukan sekadar pembobolan. Ini… pembekuan otoritas!”Keenan berdiri di balkon ruang VIP gedung utama, sedang bersiap untuk konferensi pers merger.Salah satu asistennya datang tergesa. “Pak! Ada gangguan besar di server pusat. Saham Anda—dibekukan.”“Apa?!” Keenan menoleh tajam.“Asal pembekuan... dari akun lama. Atas nama Nilam Anggraini.”“Dia?” Keenan mencengkeram pagar besi balkon.**Di tempat lain, Jason menatap monitor dengan wajah gelap.“Dia menekan tombol itu,” desisnya. “Gallen benar-benar sudah berubah haluan.”Elisa menelan ludah. “Apa kita langsung serang balik?”Jason mengambil jasnya, berdiri, lalu meraih pistol kecil dari laci. “Tidak. Kita datangi langsung.”**Di rooftop, Gallen dan Nilam masih duduk menatap layar laptop. Notifikasi masuk satu demi satu. Data pengalihan saham berh
Langit Jakarta tampak mendung siang itu, seolah ikut menyerap kekacauan dalam hati Nilam. Ia berdiri di pelataran parkir Mahendra Corp, menarik napas panjang sambil menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Gallen. Tidak juga dari Keenan. Semuanya hening… setelah ledakan emosi barusan. “Kalau kamu benar-benar tulus… buktikan.” Kata-katanya sendiri terus menggema di kepala. Tapi sekarang, ia justru bertanya dalam hati—siapa yang akan benar-benar membuktikan sesuatu? Atau tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dipercaya? Brak! Pintu mobil terbuka kasar dari sisi kanan. Nilam menoleh cepat, waspada. “Naik,” kata suara yang sangat ia kenal. Gallen. “Terlalu banyak mata kalau kita ngobrol di sini.” “Aku nggak mau ikut kamu.” Gallen tidak menjawab. Hanya menatapnya—dan untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak penuh kemarahan atau dominasi. Melainkan... kesedihan. “Kamu bener. Aku salah karena nutupin semuanya. Tapi aku di sini bukan buat bela diri. Aku di sini buat nganter ka
Ruang kerja Keenan Mahendra tidak berubah sejak terakhir Nilam datang ke sini. Meja kaca besar, sofa abu di sudut, dan aroma kayu cendana yang dulu selalu membuatnya nyaman—kini malah menyesakkan.“Miss Nilam,” suara asisten Keenan terdengar lembut. “Silakan masuk. Beliau sedang menunggu.”Menunggu?Nilam melangkah pelan, dan begitu pintu terbuka, pria itu berdiri dari kursinya.Keenan.Dengan setelan jas hitam dan ekspresi yang tak bisa ditebak. Tatapannya langsung menelusuri wajah Nilam seolah ingin memastikan wanita di depannya bukan ilusi.“Kamu datang,” katanya pelan.Nilam mengangguk. “Kita perlu bicara.”Keenan menyilakan duduk, tapi tak satupun dari mereka menyentuh kursi.“Langsung saja,” ucap Nilam, suaranya lebih tenang dari hatinya. “Kamu lagi selidiki sesuatu... soal Gallen?”Keenan menyipitkan mata. “Jadi kamu udah tahu.”Nilam tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup sebagai konfirmasi.Keenan menarik napas berat. “Aku dapat laporan dia berhubungan dengan seseorang yang j
Pintu penthouse tertutup rapat. Tapi di dalam sana, dada Nilam masih bergemuruh tak karuan.Jason.Nama itu seperti hantu dari masa lalu, atau mungkin... awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ponsel Gallen masih di meja. Layar sudah gelap, tapi isi pesannya tadi seperti terus berputar di kepala Nilam."Keenan mulai curiga...""Semua masih sesuai rencana...""Instruksi selanjutnya..."Tangannya terulur, hampir menyentuh ponsel itu lagi. Tapi detik berikutnya ia menariknya kembali."Apa aku... cuma pion?" bisiknya nyaris tanpa suara.Seketika, suara ketukan di pintu menggema.“Miss Nilam? Saya dari layanan kamar, membawakan sarapan,” ucap seorang wanita dari luar.Nilam buru-buru bangkit, menyembunyikan keresahan di balik senyum palsu. “Ya, silakan taruh di meja.”Pelayan itu masuk, meletakkan nampan makanan dan dua cangkir kopi hangat. “Tuan Gallen minta agar Anda menikmati sarapannya di dalam kamar.”Nilam mengangguk singkat. “Terima kasih.”Begitu pin