Home / Rumah Tangga / Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor / 8. Spesialis Wanita Simpanan

Share

8. Spesialis Wanita Simpanan

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2023-02-22 14:59:03

Pengakuan yang keluar dari mulut Will, membuat kedua bola mata Jihan terbelalak lebar.

Dia tak pernah menyangka kalau Will ternyata pria yang sudah memiliki istri.

Gayanya yang perlente dan sedikit flamboyan membuat Will tidak terlihat seperti seorang bapak bapak. Jadi siapa yang mengira ternyata dia sudah menikah dan memiliki anak? Bukan hanya satu anak, bahkan 4?!

Jihan memandang ke arah Will yang masih diam, tersenyum canggung. Tepatnya, Jihan mencoba untuk tersenyum dan terlihat setenang mungkin.

Ayo tenang, tenang. Ini mungkin saja hanya tes yang dilakukan Will untuknya, apakah dia akan setia atau tidak. Begitulah keyakinan Jihan.

"M-mas? Kamu nggak sedang ngomong serius, kan? Kamu pasti sedang bercanda, kan? Kamu lagi nge prank aku. Iya kan, Mas?"

Jihan menanyakan hal itu dengan ekspresi yang dibuat setenang mungkin, meski jari-jarinya gemetar, dia terlalu ngeri membayangkan bahwa selama ini telah berpacaran dengan lelaki orang.

Dia bahkan telah memberikan keperawanannya pada orang itu!

Sayangnya, berbeda dengan jawaban yang diharapkan Jihan, Will dengan tampang sangat menyesal, menjawab.

"Jihan... aku, aku serius."

"Apa.... "

Jihan kehabisan kata-kata.

Dia bahkan tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana khayalan sekarang.

Melihat ekspresi kosong di wajah cantik Jihan yang seperti boneka, Will menghela napas panjang dan menggenggam tangan wanita itu di atas meja.

"Maafkan aku, aku bohong saat bilang ke kamu kalo aku perjaka. Karena pekerjaan, aku sering ke luar negeri, dan di sana, aku memiliki sebuah keluarga."

Will mengatakan hal itu dengan lancar, parahnya lagi, tak ada ekspresi penyesalan di wajahnya sama sekali.

"Mas.... "

Tenggorokan Jihan terasa kering sehingga dia tak bisa mengatakan apa pun. Will menggenggam tangan mulus wanita itu dengan lebih erat lagi dan melanjutkan ucapannya.

"Tapi aku beneran nggak mau pisah sama kamu, Jihan. Aku ngomong gini karena nggak mau ngebohongin kamu, makanya aku memilih jujur biar nggak nyakitin kamu."

Jihan memandang Will dengan tatapan kosong, setelah beberapa saat dia berhasil menguasai dirinya sendiri, dengan suara gemetar, Jihan bertanya.

"Jadi kamu bener bener seorang pria bersuami? M-maksudku, statusmu masih suami orang, bukan mantan suami?" tanya Jihan sekali lagi untuk memastikan kebenaran dari ucapan pria yang ada di hadapannya itu.

Bagaimana ini? Bagaimana dia bahkan tidak bisa membedakan mana pria bersuami dan bukan? Jihan merasa benar-benar ditipu oleh Will!

Bisa-bisanya Will baru mengaku saat Jihan sudah memberikan keperawanannya yang berharga pada pria itu? Kenapa tidak kemarin kemarin saat mereka baru saling mengenal dan kemudian menjalin cinta?

Jihan tiba-tiba merasa perutnya melilit, sakit. Dia langsung teringat pada Keenan, mantan suaminya. Berpikir bahwa saja ini mungkin karma yang diberikan Tuhan padanya karena meninggalkan Keenan begitu saja demi harta benda.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Jihan bahkan tak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang.

Karena terlalu percaya pada Will dan janji janji manisnya, Jihan pergi ke kota besar ini tanpa persiapan apa pun dan menggantungkan segalanya pada Will yang memang memenuhi semua kebutuhan Jihan.

Jihan awalnya merasa diratukan dan merasa menjadi wanita paling beruntung sedunia, tapi setelah mengetahui semua ini, khayalan itu hancur berkeping-keping.

Will menganggukkan kepala, dan menjawab lirih.

"Aku minta maaf. Itulah kebenarannya, Jihan. Dan... dan sebenarnya ada satu hal lagi yang kamu perlu tahu."

Ada satu hal lagi yang disembunyikan Will? Apalagi? Jihan merasa ingin pingsan pada saat itu juga.

"A-apa itu, Mas?"

Jihan merasa tak sanggup mendengar pengakuan yang lebih mengejutkan daripada apa yang telah dikatakan Will sebelumnya, tapi dia juga tak bisa membohongi diri sendiri dan pura-pura terus tidak tahu, sehingga bertanya dengan tergagap.

Will sendiri tidak segera menjawab, seperti mempersiapkan diri. Setelah diam beberapa detik, mulutnya mulai terbuka dan melancarkan kata-kata yang seperti sebuah bom di telinga Jihan.

"Ehm, itu, Han. Usiaku... bukan 35 tahun seperti yang kuceritakan padamu. Sebenarnya aku... 40 tahun lebih."

"A-apa?"

Jihan merasa jiwanya melayang dari tubuh saat mendengar hal itu.

"Aku terlihat awet muda, ya. Aku nggak berniat nipu kamu, Jihan. Serius. Aku cuma nggak mau kamu malu pacaran sama cowok yang jauh lebih tua dari kamu, karena itu... "

Jihan langsung berdiri dengan muka merah padam karena marah, saking emosinya, sampai nadanya meninggi saat berbicara dengan Will.

"Itu artinya selisih usia kita 15 tahun lebih, Mas?! Kamu sudah gila?! Gimana bisa kamu ngebohongin aku kayak gini!"

Jihan benar-benar kecewa. Selain berbohong sebagai perjaka saat dia merupakan pria beristri dan beranak lima, sekarang dia ternyata juga membohongi Jihan tentang usianya?!

Dulu saat awal bertemu, Will mengatakan bahwa wajahnya lebih tua dari usianya karena beban kerja yang berat. Jihan tak menyangka dirinya percaya saja dengan kebohongan serendah itu.

Dan sekarang, Will mengaku terlihat lebih muda daripada usia aslinya? Bajingan ini!

Melihat Jihan yang muntab, Will buru-buru meraih tangannya dan mencoba menenangkan Jihan.

"Jihan, Jihan tolong jangan marah. Aku benar-benar terlanjur suka sama kamu, aku nggak ingin pisah sama kamu, Jihan," mohon nya dengan nelangsa.

"Terus maunya mas Will apa? Bikin aku jadi pelakor, gitu? Aku nggak serendah itu, Mas!" geram Jihan dengan bibir terkatup.

Dia memang ingin memiliki pria kaya yang menunjang hidupnya, tapi tidak dengan menjadi seorang pelakor!

"Aku tahu, aku tahu, Jihan. Aku nggak nawarin kamu jadi pelakor, enggak. Aku cuma ingin bertanggung jawab karena kamu sudah memberikan keperawananmu padaku," jawab Will buru-buru.

"Lalu apa yang mau mas Will kasih ke aku? Apa mas Will akan jadiin aku istri kedua?"

Yah, sekarang semuanya sudah terlanjur. Jihan benci opsi ini, tapi dia harus mendapatkan status resmi. Setelah kehilangan keperawanannya, harga Jihan tentu tak semahal sebelumnya.

Sayang, jawaban Will benar-benar menyakitkan.

"Istri kedua... itu agak sulit. Kantorku melarang memiliki istri lebih dari satu."

"Astaga, berapa banyak kamu mau membohongi aku lagi, Mas?! Terus, kalo udah gini. Apa yang kamu lakukan buat tanggung jawab karena telah ngambil keperawanan aku? Kamu bahkan nggak mau jadiin aku istri kedua!"

Jihan benar-benar menjerit sekarang.

Sedangkan Will dengan tak tahu malunya, mengutarakan apa maksud dia membicarakan semua ini.

"Aku... aku berencana menjadikanmu wanita simpananku, Jihan."

"A-APA?! MAS SUDAH GILA?!"

Jihan rasanya ingin menampar wajah jelek pria berusia 40 tahun lebih itu dengan tas yang dia bawa.

Sudah berbohong begitu banyak, sekarang dia berencana menjadikan Jihan wanita simpanan?!

Apa namanya kalau bukan gila?

"Ini pilihan yang paling bagus dan efektif menurutku, Jihan. Bukankah kamu tertarik pacaran denganku karena aku bisa mengenyangkan keinginanmu untuk hidup bergelimang kemewahan?"

"Tapi... tapi nggak jadi wanita simpanan juga, Mas!"

"Aku janji bakal jadi sugar daddy yang bisa kamu andalkan, Jihan. Tempat tinggal terbaik dan termewah, mobil keluaran terbaru, semua perhiasan yang kamu mau, semuanya bisa kamu dapatkan kalo sama aku, Jihan. Kamu nggak bakal nyesel kalo sama aku, aku bisa janjikan hal ini."

Will mengatakan hal itu dengan percaya diri, karena dia sangat tahu apa kelemahan Jihan.

Mendengar itu, Jihan memang terlihat sedikit goyah.

"Tapi.... "

Will menggunakan kesempatan itu untuk memojokkan Jihan, meski dengan kata-kata lembut.

"Kamu pilih mana, kembali ke kotamu tanpa bawa apa-apa? Atau di sini bersamaku dan semua kebutuhanmu dari mulai yang terkecil sampai yang terbesar, semuanya aku tanggung? Kamu nggak harus ngapa-ngapain, kamu juga bebas ngabisin uang buat apa aja, pergi ke mana aja yang kamu suka. Yang perlu kamu lakukan cuma menghiburku saat lelah bekerja. Bukankah hidup seperti ini yang kamu inginkan, Jihan?"

Ucapan lembut Will seperti bisikan Iblis di telinga Jihan, semua yang dia janjikan sangat menggiurkan, Jihan tidak perlu susah payah bekerja dan bisa menikmati kemewahan sepuas mungkin.

Tawaran Will membuat Jihan yang tergoda dengan kehidupan mewah dan mudah, segera mengangguk pelan.

Saat itu Jihan yang polos tak tahu, bahwa dia telah masuk ke kandang buaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   56.

    Setahun kemudian...Kota Jakarta tetap sibuk. Gedung-gedung baru menjulang, bisnis-bisnis silih berganti, dan waktu berjalan seperti biasa. Tapi ada satu sudut kota—di sebuah lantai atas gedung kecil lima lantai, dengan logo sederhana bertuliskan RE:VIVE—yang menyimpan cerita tak biasa.Gallen membuka pintu kantor pagi itu, mengenakan hoodie dan celana jeans biasa. Ia bukan lagi direktur gelap, bukan kaki tangan mafia korporat, bukan bayangan dari masa lalu siapa pun. Ia hanya pria yang memulai ulang hidupnya... pelan-pelan.“Pagi, Bos Gallen,” sapa seorang staf muda yang lewat.“Udah berapa kali kubilang, jangan panggil aku bos,” sahut Gallen sambil menyeruput kopi instan.Staf itu hanya tertawa dan pergi.Gallen masuk ke ruangan kecilnya yang lebih mirip studio kerja dibanding kantor. Di dinding, beberapa blueprint dan peta bisnis digital terpampang. Di meja, ada dua laptop terbuka, dan di tengah ruangan, duduk Nilam... dengan rambut diikat tinggi dan ekspresi kusut.“Kamu nggak tid

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   55.

    Tiga hari setelah insiden di rooftop, Jakarta kembali terlihat normal dari luar. Tapi di balik keheningan itu, gelombang baru mulai bergerak. Berkas-berkas kejahatan Jason sudah diproses. Media mulai mengendus skandal besar Mahendra Corp, dan nama Nilam—yang dulunya hanya bayangan—kini muncul di berbagai artikel utama sebagai “pemegang kunci kebangkitan.”Namun, di ruang rawat rumah sakit tempat Gallen terbaring, suasana jauh dari sorotan. Tidak ada wartawan. Tidak ada keramaian. Hanya sunyi... dan rasa lelah yang belum tuntas.“Udah kubilang, aku nggak perlu dirawat inap,” gerutu Gallen pelan, meski bahunya masih diperban.“Kamu pingsan dua kali sejak kemarin. Dan kamu pikir kamu bisa pulang?” sahut Nilam ketus dari kursi sebelah tempat tidur.Gallen tersenyum. “Kamu marah ya?”“Bukan marah. Kesel.”“Beda tipis,” Gallen tertawa kecil. “Tapi tetap aja, kamu di sini.”Nilam melipat tangan di dada. “Karena aku belum selesai sama kamu.”Gallen menatapnya lekat. “Kalau soal masa lalu... k

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   54.

    Sirene digital berdengung dari layar laptop, diikuti deretan kode merah yang berkedip di monitor utama Mahendra Corp. Di ruang pusat keamanan, staf mulai panik.“Semua sistem diretas!”“Ini bukan sekadar pembobolan. Ini… pembekuan otoritas!”Keenan berdiri di balkon ruang VIP gedung utama, sedang bersiap untuk konferensi pers merger.Salah satu asistennya datang tergesa. “Pak! Ada gangguan besar di server pusat. Saham Anda—dibekukan.”“Apa?!” Keenan menoleh tajam.“Asal pembekuan... dari akun lama. Atas nama Nilam Anggraini.”“Dia?” Keenan mencengkeram pagar besi balkon.**Di tempat lain, Jason menatap monitor dengan wajah gelap.“Dia menekan tombol itu,” desisnya. “Gallen benar-benar sudah berubah haluan.”Elisa menelan ludah. “Apa kita langsung serang balik?”Jason mengambil jasnya, berdiri, lalu meraih pistol kecil dari laci. “Tidak. Kita datangi langsung.”**Di rooftop, Gallen dan Nilam masih duduk menatap layar laptop. Notifikasi masuk satu demi satu. Data pengalihan saham berh

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   53. Ilusi

    Langit Jakarta tampak mendung siang itu, seolah ikut menyerap kekacauan dalam hati Nilam. Ia berdiri di pelataran parkir Mahendra Corp, menarik napas panjang sambil menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Gallen. Tidak juga dari Keenan. Semuanya hening… setelah ledakan emosi barusan. “Kalau kamu benar-benar tulus… buktikan.” Kata-katanya sendiri terus menggema di kepala. Tapi sekarang, ia justru bertanya dalam hati—siapa yang akan benar-benar membuktikan sesuatu? Atau tidak ada satu pun dari mereka yang bisa dipercaya? Brak! Pintu mobil terbuka kasar dari sisi kanan. Nilam menoleh cepat, waspada. “Naik,” kata suara yang sangat ia kenal. Gallen. “Terlalu banyak mata kalau kita ngobrol di sini.” “Aku nggak mau ikut kamu.” Gallen tidak menjawab. Hanya menatapnya—dan untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak penuh kemarahan atau dominasi. Melainkan... kesedihan. “Kamu bener. Aku salah karena nutupin semuanya. Tapi aku di sini bukan buat bela diri. Aku di sini buat nganter ka

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   52. Antara 2 lelaki

    Ruang kerja Keenan Mahendra tidak berubah sejak terakhir Nilam datang ke sini. Meja kaca besar, sofa abu di sudut, dan aroma kayu cendana yang dulu selalu membuatnya nyaman—kini malah menyesakkan.“Miss Nilam,” suara asisten Keenan terdengar lembut. “Silakan masuk. Beliau sedang menunggu.”Menunggu?Nilam melangkah pelan, dan begitu pintu terbuka, pria itu berdiri dari kursinya.Keenan.Dengan setelan jas hitam dan ekspresi yang tak bisa ditebak. Tatapannya langsung menelusuri wajah Nilam seolah ingin memastikan wanita di depannya bukan ilusi.“Kamu datang,” katanya pelan.Nilam mengangguk. “Kita perlu bicara.”Keenan menyilakan duduk, tapi tak satupun dari mereka menyentuh kursi.“Langsung saja,” ucap Nilam, suaranya lebih tenang dari hatinya. “Kamu lagi selidiki sesuatu... soal Gallen?”Keenan menyipitkan mata. “Jadi kamu udah tahu.”Nilam tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup sebagai konfirmasi.Keenan menarik napas berat. “Aku dapat laporan dia berhubungan dengan seseorang yang j

  • Kuserahkan Suamiku Untuk Pelakor   51. Kendali

    Pintu penthouse tertutup rapat. Tapi di dalam sana, dada Nilam masih bergemuruh tak karuan.Jason.Nama itu seperti hantu dari masa lalu, atau mungkin... awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ponsel Gallen masih di meja. Layar sudah gelap, tapi isi pesannya tadi seperti terus berputar di kepala Nilam."Keenan mulai curiga...""Semua masih sesuai rencana...""Instruksi selanjutnya..."Tangannya terulur, hampir menyentuh ponsel itu lagi. Tapi detik berikutnya ia menariknya kembali."Apa aku... cuma pion?" bisiknya nyaris tanpa suara.Seketika, suara ketukan di pintu menggema.“Miss Nilam? Saya dari layanan kamar, membawakan sarapan,” ucap seorang wanita dari luar.Nilam buru-buru bangkit, menyembunyikan keresahan di balik senyum palsu. “Ya, silakan taruh di meja.”Pelayan itu masuk, meletakkan nampan makanan dan dua cangkir kopi hangat. “Tuan Gallen minta agar Anda menikmati sarapannya di dalam kamar.”Nilam mengangguk singkat. “Terima kasih.”Begitu pin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status