Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”
Degh! Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini? “Bu? Bu Dinara?” Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.” Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana bunganya? Mana yang paling Bu Dinara suka? Atau mungkin yang paling berkesan?”
Ludah kutelan dengan sedikit susah saat memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. “Semuanya berkesan kok, Bu. Bunga-bunga dari toko Bu Aura tidak pernah mengecewakan saya.” Terpaksa aku membuat kebohongan itu. Tapi, aku merasa lega saat Bu Aura tersenyum dan merasa bersyukur setelah mendengar pujianku. Lalu aku pun kembali melontarkan pertanyaan untuk menemukan bukti-bukti akurat terkait kecurigaanku terhadap Mas Evan. “Ngomong-ngomong, jam berapa biasanya Mas Evan datang untuk membeli bunga? Apakah dia membuat janji lebih dulu atau memesannya melalui telepon?” “Paling sering setelah dia pulang kerja. Mungkin sekitar jam lima biasanya dia sampai di sini,” jawab Bu Aura tanpa berpikir. Seolah menunjukkan bahwa ia sudah hafal dengan kebiasaan Mas Evan datang. Aku mengangguk paham. “Apa Mas Evan pernah mengatakan sesuatu saat membeli bunga-bunga itu, Bu?” “Emm… apa ya?” Sejenak Bu Aura tampak berpikir. “Seingat saya tidak ada hal-hal yang menonjol. Dia hanya mengatakan jika Anda pasti suka dengan hadiah bunga yang diberikan. Terakhir dia beli kemarin katanya dia sedang menyiapkan kejutan makan malam romantis untuk Anda.” Aku terdiam. Jantungku tak hanya berdetak kencang. Tapi hatiku bagai disayat sembilu tajam. Perih dan sesak datang bersamaan. Tapi aku tak bisa menunjukkan itu di hadapan orang. “Maaf, Bu Dinara, apa ada masalah?” Wajah Bu Aura mulai terlihat berbeda. Ada kebingungan dan juga rasa penasaran di wajah wanita itu. Segera kuukir senyum terbaik agar tak membuat Bu Aura bertanya semakin jauh. “Oh, tidak apa-apa, Bu. Saya hanya tidak menyangka jika dia menyiapkan semuanya sendiri. Padahal dia bisa saja menyuruh orang.” Setelah kupikir informasi ini cukup, aku berterima kasih dan segera pamit dari sana. Namun, tak lupa aku meminta Bu Aura agar tak memberi tahu Mas Evan tentang kedatanganku, dengan alasan tak ingin membuat usaha Mas Evan terasa tidak berkesan. Beruntung Bu Aura mengerti dan dia pun mengangguk setuju. *** Aku melangkah masuk ke dalam perusahaan tanpa lebih dulu memberi tahu Mas Evan. Seperti biasa aku melangkah dengan tenang. Kupasang senyum tipis pada setiap staf yang menyapa. Bahkan mata elangku memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan para staf demi memastikan tidak ada masalah. Tentu saja tak akan ada yang aneh dari caraku berada di sana. Padahal yang sebenarnya kulakukan saat ini adalah mengamati setiap staf wanita dan memperhatikan warna lipstick di bibir mereka. Sungguh, lipstick dengan warna merah menyala itu membuatku gundah gulana. Bruk! “Ma-maaf Bu Dinara, saya tidak sengaja,” ujar salah seorang staf bernama Mia. Salah satu anggota di divisi keuangan. Aku terdiam. Terpaku melihat penampilannya yang tampak sedikit sexy dari biasa yang kulihat saat datang. Dan lagi, warna lipstick yang memoles bibirnya, seakan memberiku petunjuk akan siapa pemilik lipstick itu. Mungkinkah? “Bu, saya sungguh minta maaf,” ulangnya lagi saat aku tak kunjung menjawab ucapannya. “Apa kamu biasa memakai lipstick dengan warna seperti itu?” tanyaku, membuat Mia sedikit terkejut. “Emm, maaf kalau terlihat mencolok, Bu. Ini pacar saya yang membelikannya. Karena tadi dia mengantar saya, jadi saya memakainya,” tuturnya. Aku terkesiap. Pacar? Apa mungkin pacarnya adalah Mas Evan? Apakah Mas Evan menjemput Mia sebelum berangkat ke kantor? Jujur hatiku semakin kalut memikirkan hal itu. Jika benar demikian, bukankah artinya Mia adalah selingkuhan Mas Evan? Buru-buru aku membuka tas dan mengeluarkan lipstick, lalu kutunjukkan pada Mia. “Apa ini milikmu?” Mia memperhatikan lipstick di tanganku tanpa mengambilnya. “Bukan, Bu. Lipstick punya saya harganya sangat murah, sedangkan yang itu sepertinya sangat mahal,” jawabnya. Aku terdiam. Mencari kebohongan di matanya. Tapi tak dipungkiri jika lipstick di tanganku memang salah satu merk lipstick mahal. Jadi sepertinya dia tidak berbohong. Lagi pula warna merahnya juga sedikit berbeda. Mia hendak pergi, namun aku segera menahannya. “Apakah ada staf lain yang suka memakai lipstick berwarna merah selain kamu?”Hujan baru saja reda. Sisa-sisa rintiknya masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah menggantung di udara. Suasana malam begitu sunyi ketika bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan. Siapa yang datang malam-malam begini?Langkahku pelan menapaki lorong menuju pintu utama. Begitu kubuka, sosok tinggi berbalut jaket hitam berdiri di bawah teras, cahaya lampu kuning mengguratkan garis-garis letih di wajahnya."Kak Rafael?"Dia mengangguk pelan. Matanya menatapku, tenang namun penuh kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.“Aku nggak ganggu, 'kan?” tanyanya.Aku membuka pintu lebih lebar. “Nggak. Masuklah.”Tapi Kak Rafael menggeleng. “Aku nggak akan lama. Boleh kalau kita ngobrol di teras saja?”Aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecil di dada yang tiba-tiba muncul. Kami duduk berseberangan, hanya dipisahkan meja kecil dan dua cangkir teh yang baru saja kubuat.“Aku datang bukan untuk membuat segalanya lebih rumit,” katanya memulai. “Aku cu
Pagi itu masih menyisakan jejak dari pesan semalam. Aku menatap layar ponselku yang kosong, berharap pesan ancaman itu masuk ke nomorku. Meski Kak Rafael sudah memintaku untuk tenang karena dia akan menyelidikinya, tapi rasa penasaranku tak bisa diredam begitu saja.Aku juga berharap bahwa pesan itu hanyalah mimpi buruk yang kebetulan terasa nyata. Tapi tidak. Ancaman itu nyata, dan entah siapa yang mengirimnya.Revan duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon warna-warni. Tangannya kecil, tapi imajinasinya besar. Aku berusaha tersenyum, meski mataku menyimpan gelisah yang sulit disembunyikan."Mama, lihat!" serunya riang sambil menunjukkan gambar. Sebuah lingkaran dengan beberapa kotak di bagian kelilingnya."Apa ini bianglala yang kita naiki kemarin?" tanyaku, berusaha menebak gambarnya sekaligus mengalihkan pikiranku untuk fokus pada keluarga.Revan mengangguk dengan senyum lebar. Lalu melanjutkan lagi menggambar permainan lain yang ada dalam imajinasinya.Sejujurnya aku
Dan itu pukulan telak.Aku tak bisa menolak Revan. Anak itu terlalu manis, terlalu polos untuk jadi korban dalam sandiwara orang dewasa. Maka, meski batinku berkecamuk, aku mengangguk perlahan."Baiklah," jawabku akhirnya.Kak Rafael tersenyum lega. Membuatku ikut merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya masih ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaanku, yaitu Amelia.***Akhir pekan datang dengan langit cerah dan tawa anak-anak yang riuh di sekitar taman hiburan. Aku berdiri di samping Kak Rafael dan Revan yang sedang mengantre untuk naik komidi putar. Revan melompat-lompat kecil, menggenggam tangan Kak Rafael, lalu menarikku agar ikut bersama mereka."Aku mau duduk di kereta!" katanya ceria.Aku tersenyum, mengangguk, lalu mengikuti mereka. Di sepanjang wahana, Kak Rafael tak henti-hentinya menunjukkan perhatian—menawarkan air minum, memakaikan topi Revan, bahkan beberapa kali dengan sengaja menyentuh pundakku saat berjalan terlalu dekat.Aku mencoba menjauh, menjaga jarak. Tapi Rev
"Halo, Ra."Suaranya terdengar, tapi kegugupanku masih belum sepenuhnya hilang.Kuhembus napas panjang lalu dengan nada pelan aku bertanya, "Halo, Kak Rafael. Apa bisa kita bertemu hari ini? Sepertinya ada masalah kecil yang harus kita selesaikan bersama."Aku menggigit bibir ragu. Masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan padanya. Padahal aku berusaha keras menghindar agar tidak lagi melibatkannya dalam masalahku. Tapi tetap saja, aku memang tak punya pilihan untuk menyelesaikannya sendiri. Aku butuh pendapatnya untuk masalah ini."Masalah kecil?" tanyanya dengan nada penasaran di seberang telepon."Aku akan jelaskan saat kita bertemu," jawabku dengan suara bergetar ragu.Entahlah, setelah berusaha keras menghindar dan kini harus kembali mendekat, aku merasa sulit mengontrol debaran jantungku yang terus berdegup kencang. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya butuh bantuannya saat terdesak."Baiklah, di cafe seperti biasa siang ini. Bagaimana?" tanyanya."Tidak masalah
Kupeluk dan kuusap lembut punggung Revan saat tangannya melingkar erat di kakiku.Bu Maureen tampak terpaku. Matanya membelalak kecil, lalu mengalihkan pandangannya padaku, lalu Revan, lalu kembali lagi padaku."Dia… anak kamu?" tanyanya dengan suara lembut.Aku hanya mengangguk kecil tanpa menjelaskan. Tapi sebelum Bu Maureen sempat bertanya lebih jauh, suara Mas Evan terdengar menyahuti."Seperti yang sudah Evan bilang, Ma. Dinara sudah menikah. Dia Revan, putra Dinara yang usianya hampir sama dengan Vano."Bu Maureen tak bereaksi atas pernyataan itu. Tatapannya justru tetap terpaku pada Revan yang kini berdiri sambil memegang jariku.Senyum lembut muncul di wajah Bu Maureen, entah karena haru atau kenangan. Yang jelas jantungku masih terus berdegup kencang. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjalar. Mungkinkah Bu Maureen akan mengenali Revan sebagai cucunya?Bu Maureen berjongkok perlahan di depan Revan, penuh kehangatan. "Namamu siapa, Nak?" tanyanya lembut."Revan," jawabnya polos. T
Aku memutar tubuhku menghadap tepat ke arahnya. Tatapanku tajam, penuh emosi. "Apa aku yang harus mengingatnya? Lalu bagaimana saat kamu memutuskan bersenang-senang bersama Vania? Kamu bahkan lupa bahwa aku adalah istrimu yamg menunggu di rumah. Aku yang mengkhawatirkanmu saat kamu justru meraih kenikmatan bersama Vania. Dan sekarang kamu masih ingin aku mengingat semua kebersamaan dan cinta yang pernah ada di antara kita? Cih! Aku lebih ingin menghapusnya daripada mengingatnya.""Tapi itu hanya kesalahan kecil saja, Dinara. Kenapa kamu tidak bisa memaafkannya?""Apa! Kesalahan kecil kamu bilang? Lama-lama nggak waras ya otak kamu, Mas!" Aku menatap tak percaya dengan ucapannya, yang begitu mudah menganggap masalah itu hanyalah masalah kecil yang pantas untuk dimaafkan."Mungkin bagi kamu itu hanya masalah kecil, Mas. Tapi bagiku, itu masalah serius yang tidak mudah untuk dimaafkan begitu saja. Tidak mudah bagi aku menghapus semua pengkhianatan yang sudah jelas di mataku. Bahkan serib