Genggaman kasar di lenganku membuat tubuhku nyaris tak berdaya. Napasku sudah tidak beraturan, tapi mataku terus mencari celah. Hingga sebuah suara lain membuat darahku seakan berhenti mengalir.Klik.Pintu belakang mobilku terbuka. Aku menoleh cepat, jantungku mencelos. Dua pria lain—si perokok dan yang berperawakan ramping—bergerak ke arah kursi belakang mobilku.“Jangan!” suaraku pecah, panik.Terlambat. Tangan besar mereka meraih tubuh kecil Revan yang sedang tertidur pulas di kursi belakang. Satu orang mengangkatnya dengan gerakan cepat, seolah anak itu hanyalah boneka ringan.Revan sempat tergerak, kelopak matanya bergetar. Lalu, begitu tubuhnya berpindah dari kursi nyaman ke gendongan kasar orang asing, ia terbangun. Matanya melebar, bingung, sebelum akhirnya tangisan keras meledak dari mulut mungilnya.“Mamaaaa!” jeritnya, suara yang menghantam jantungku lebih keras daripada apa pun.Aku berteriak, histeris. “Lepaskan dia! Jangan sentuh anakku!”Tubuhku meronta liar, berusaha
Jalanan malam itu sunyi, hanya cahaya lampu jalan yang menyoroti aspal yang basah, entah sisa air dari mana. Jantungku berdentum begitu cepat, seperti berusaha melompat keluar dari dadaku, saat pintu mobil hitam itu terbuka dan satu bayangan besar turun dari dalamnya. Namun ternyata, bukan satu orang.Dua pria menyusul keluar hampir bersamaan. Wajah mereka keras, dingin, tanpa ekspresi ramah sedikit pun. Salah satunya memakai jaket kulit hitam lusuh, tatapannya tajam, sorot matanya seperti binatang buas yang sudah mengunci mangsanya. Yang lain berperawakan lebih ramping, tapi rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang tegas, seperti orang yang terbiasa memberi perintah. Satu lagi menyalakan rokok, kepulan asap putih keluar dari bibirnya, membuat suasana semakin mencekam.Aku tetap berada di dalam mobil. Tangan kiriku menggenggam erat setir, sementara tangan kanan bergetar di atas tombol kunci otomatis. Aku tahu satu hal: jangan panik.Salah satu dari mereka—pria berjaket kulit—mel
Kiano duduk di kursinya, condong ke arah Vania yang kini sedikit miring menghadapnya. Tangannya terulur, jemari panjangnya mengelus lembut kepala Vania, gerakannya perlahan, intim… terlalu intim. Lalu, tanpa jeda, tangannya bergeser ke pipi wanita itu. Sentuhan itu bukan sekadar sapaan keluarga—terlalu lembut, terlalu penuh makna.Darahku seperti berhenti mengalir saat melihat Vania menutup matanya sesaat, seolah menikmati sentuhan itu. Dan sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia bergerak maju, memagut bibir Kiano. Bukan ciuman singkat atau basa-basi. Tidak. Itu adalah ciuman yang sarat gairah—dengan kepala sedikit miring, bibirnya menekan milik Kiano dengan kesadaran penuh akan apa yang ia lakukan.Aku merasa seluruh udara di paru-paruku menguap. Tanganku refleks menggenggam sisi rak pajangan, mencoba menahan getaran di tubuhku. Suara di kepalaku bising—pertanyaan demi pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Bagaimana bisa? Di rumah ini? Di meja makan yang sama? Saat Mas Evan
Seketika aku berhenti mengunyah. Kuangkat sedikit wajah hingga sorot mataku jatuh tepat di mata Vania. Senyumnya menyeringai, jelas ia sedang memancing masalah denganku. Tapi, aku masih tak bisa menebak tujuannya berkata seperti itu. Apalagi harusnya ia tak senang jika tahu anak itu memang darah daging Mas Evan. Tapi kenapa ia justru tersenyum penuh misteri. Apa yang sebenarnya diinginkan Vania?Kulirik Mas Evan yang seketika mengamati wajah Revan dengan serius. Jujur saja hal itu membuat jantungku semakin berdebar kencang. Pikiranku mulai sibuk mencari alasan atau sekedar mengalihkan perhatian."Bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu?" ucapku dengan tenang. "Revan itu mirip denganku. Bukankah tidak aneh jika anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya ketimbang ayahnya? Pun sama dengan anak perempuan yang kebanyakan lebih mirip ayahnya ketimbang ibunya."Vania membuang napas kasar, tapi senyum seringai di bibirnya itu sama sekali tidak pudar."Memang itulah yang seharusnya. Sebab a
Di bagian sudut terjauh cafe, Vania duduk mesra dengan pria yang pernah menemaninya belanja. Pria yang dikenalkan sebagai sepupunya di hadapanku. Tapi kedekatan itu, terasa ganjil di mataku.Mereka tertawa bersama. Kadang kepala Vania bersandar sejenak di pundak pria itu. Bahkan ia juga disuapi dengan penuh kelembutan bak pasangan muda yang sedang kasmaran. Tapi, jelas itu bukan hal yang wajar. Mungkinkah pria itu sebenarnya adalah seorang selingkuhan?Ingin aku abaikan dan tak peduli urusan mereka. Tapi mataku seolah enggan berpaling dan terus mencuri pandang. Sampai akhirnya aku mengambil ponsel. Lalu dengan hati-hati aku merekam aktivitas mereka di kejauhan. Entah akan kuberikan pada Mas Evan atau tidak, tapi semoga ini akan berguna di kemudian hari.Setelah merekam dan kupastikan jika wajah keduanya cukup jelas di dalam layar, aku mengirim rekaman itu pada Selina. "Selidiki pria yang ada dalam video itu. Termasuk hubungannya dengan wanita di sampingnya," titahku d
Hembusan napas panjang keluar perlahan. Kucoba tenang meski ada ketakutan yang menjalar. Tapi rasa penasaran itu semakin membesar. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu dengannya?" tanyaku menyelidik. Selina semakin menautkan dua alisnya. Jelas dia curiga dari caraku bertanya. "Tidak dekat, Bu. Hanya sekedar tahu saja. Memangnya kenapa Anda menanyakan hal itu? Apa ada masalah?" "Tidak apa-apa. Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan Kak Rafael. Mungkin kamu tahu sesuatu tentang mereka? Aku sengaja tak langsung mengungkap niatku yang sebenarnya. Mencoba memancing seberapa jauh Selina mengenal Amelia. Kutatap dan kuperhatikan Selina dengan serius untuk membaca ekspresi di wajahnya. Namun, Selina justru tersenyum penuh arti menatapku. Seketika aku sadar akan apa yang saat ini dipikirkan Selina tentangku. "Sepertinya ada benih cemburu, nih!" godanya. Aku mendelik, lalu segera menyangkalnya. "Bukan itu maksudku. Jangan menuduh yang tidak-tidak," kataku sambil memalingkan wajah. Se